Novel Twilight (New Moon), ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada orang
tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight (New Moon) Bab 96 yang dipersembahkan oleh Admin white novel. Semoga
bisa memberi hiburan, insipirasi dan solusi bagi setiap masalah yang kamu
hadapi.
Baca Novel Twilight – TAMU Bab 96
"Yeah," aku
sependapat, dan mengangkat bahu.
"Begitulah kalau habis
mengalami peristiwa yang nyaris menyebabkan kematian... Jadi, apa pendapat
Carlisle mengenai kedatanganmu ke sini?"
"Dia tidak tahu. Dia dan
Esme sedang pergi berburu. Beberapa hari lagi dia kembali."
"Kau tidak akan memberi
tahu dia, kan... kalau dia datang lagi nanti?'' tanyaku. Alice tahu yang
kumaksud kali ini bukan Carlisle.
"Tidak. Bisa-bisa dia ngamuk nanti," jawab
Alice muram. Aku tertawa, kemudian mendesah.
Aku tidak kepingin tidur. Aku
ingin berjaga sepanjang malam, mengobrol dengan Alice. Lagi pula, tidak masuk
akal bila aku lelah, karena seharian tadi aku tidur di sofa Jacob. Tapi
tenggelam benar-benar menguras habis tenagaku, tapi mataku tak mau diajak
kompromi.
Kuletakkan kepalaku bahunya
yang sekeras batu, dan terhanyut dalam tidur yang lebih tenang daripada yang
bisa kuharapkan.
Aku bangun pagi-pagi sekali,
dari tidur nyenyak tanpa mimpi, merasa segar bugar tapi kaku. Aku terbaring di
sofa, di bawah selimut yang kusiapkan untuk Alice, dan aku bisa mendengarnya
mengobrol dengan Charlie di dapur. Kedengarannya Charlie sedang membuatkan
sarapan untuknya.
"Seberapa parah
keadaannya, Charlie?" tanya Alice lirih, dan awalnya kukira mereka sedang
membicarakan keluarga Clearwater.
Charlie mendesah. "Parah
sekali."
"Ceritakan semua padaku.
Aku ingin tahu persis apa yang terjadi setelah kami pergi." Sejenak tidak
terdengar apa-apa kecuali pintu rak dapur ditutup dan pemantik api di kompor
dinyalakan. Aku menunggu, tegang.
"Aku tidak pernah merasa begitu tak
berdaya," Charlie memulai lambat-lambat.
"Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Minggu
pertama itu— aku sampai mengira mungkin dia perlu dirawat di rumah sakit. Dia
tidak mau makan atau minum, juga tidak mau bergerak. Dr. Gerandy bolak-balik
menyebut istilah 'katatonik’, tapi aku tidak mengizinkannya menemui Bella. Aku
takut itu akan membuatnya ketakutan.”
“Tapi akhirnya dia normal
lagi?"
"Aku meminta Renee datang
dan membawanya ke Florida. Pokoknya aku tidak mau menjadi orang yang...
seandainya dia harus dirawat di rumah sakit atau sebangsanya. Aku berharap
tinggal dengan ibunya bisa membantu. Tapi waktu kami mulai mengemasi
pakaiannya, tiba-tiba saja dia bangun. Aku pernah melihat Bella mengamuk
seperti itu. Dia bukan anak pemarah, tapi, ya ampun, saat itu dia mengamuk
habis-habisan. Dia menghamburkan pakaiannya ke mana-mana dan berteriak-teriak,
tidak mau disuruh pergi— kemudian akhirnya dia mulai menangis. Menurutku,
itulah titik baliknya. Aku tidak membantah waktu dia bersikeras ingin tetap
tinggal di sini... dan awalnya dia benar-benar seperti sudah membaik..."
Suara Charlie menghilang. Sulit
mendengarnya mencurahkan isi hati seperti ini, tahu betapa aku sudah sangat
menyusahkannya.
"Tapi?” desak Alice.
"Dia kembali bersekolah
dan bekerja, makan, tidur, dan mengerjakan PR. Dia menjawab bila ditanya. Tapi
dia... kosong. Matanya hampa. Banyak hal kecil yang hilang—dia tidak mau
mendengarkan musik lagi; aku bahkan pernah menemukan setumpuk CD rusak di tong
sampah. Dia tidak membaca; dia tidak mau berada di ruangan yang sama bila TV
menyala, meskipun sejak dulu dia memang jarang nonton TV Akhirnya aku
mengerti—Bella sengaja menghindar dari segala sesuatu yang mengingatkannya
pada... dia. "Kami nyaris tak bisa berbicara; aku sangat khawatir akan
mengatakan hal-hal yang bisa membuatnya sedih—hal-hal kecil saja bisa membuatnya
kalut—dan dia tidak pernah memulai pembicaraan. Dia baru menjawab bila kutanya.
"Dia sendirian terus sepanjang waktu. Tidak pernah membalas telepon
teman-temannya, dan setelah beberapa saat, mereka berhenti menelepon.
"Pendek kata, rasanya
seperti tinggal dengan mayat hidup. Aku masih mendengar dia menjerit dalam
tidurnya...”
Aku nyaris bisa melihatnya
bergidik. Aku sendiri juga bergidik waktu ingat. Kemudian aku mendesah.
Ternyata aku tidak berhasil memperdaya Charlie dengan berpura-pura terlihat
baik-baik saja. Sedikit pun dia tidak terperdaya. "Aku sangat menyesal
mendengarnya, Charlie," ucap Alice, nadanya muram.
"Itu bukan salahmu."
Cara Charlie mengucapkan hal itu menunjukkan dengan jelas bahwa ia menganggap
ada orang yang bertanggung jawab dalam hal itu.
"Sejak dulu kau selalu
baik padanya."
"Sepertinya dia sudah lebih baik sekarang"
"Yeah. Sejak dia bergaul dengan Jacob Black, aku
melihat banyak kemajuan. Pipinya mulai merona lagi bila dia pulang, matanya
juga kembali bercahaya. Dia lebih bahagia." Charlie terdiam sejenak, dan
suaranya berbeda waktu berbicara lagi.
"Jacob satu atau dua tahun lebih muda daripada
Bella, dan aku tahu dia dulu menganggap Jacob sebagai teman, tapi kurasa
mungkin hubungan mereka sekarang lebih daripada itu, atau mengarah ke sana
paling tidak." Charlie mengucapkannya dengan nada yang nyaris seperti
mengajak perang. Itu peringatan, bukan bagi Alice, tapi agar Alice
meneruskannya ke pihak lain.
"Walaupun lebih muda, Jake sangat dewasa,"
sambung Charlie, nadanya masih defensif.
"Dia
mengurus ayahnya secara fisik seperti Bella mengurus ibunya secara emosional.
Itu mendewasakan dia. Anaknya juga tampan—mirip ibunya. Dia cocok dengan
Bella," Charlie menandaskan.
"Kalau begitu, untunglah
Bella memiliki dia," Alice sependapat.
Charlie mengembuskan napas
panjang, merasa tidak punya lawan lagi.
"Oke, kurasa itu terlalu
melebih-lebihkan. Entahlah... bahkan meskipun sudah ada Jacob, sesekali aku
masih melihat sesuatu di matanya, dan aku bertanya-tanya apakah bisa memahami
betapa sakit hatinya sesungguhnya. Itu tidak normal, Alice, dan itu... itu
membuatku takut. Sama sekali tidak normal. Tidak seperti... ditinggal
seseorang, tapi seolaholah seperti ada yang meninggal.” Suara Charlie pecah.
Memang seperti
ada yang meninggal—seolaholah akulah yang meninggal. Karena rasanya lebih
dari sekadar kehilangan
seseorang yang merupakan cinta paling sejati dalam hidupku. Tapi juga
kehilangan seluruh masa depan, seluruh keluarga— seluruh hidup yang telah
kupilih... Charlie melanjutkan ceritanya dengan nada tak berdaya.
"Aku tidak tahu apakah
Bella akan bisa melupakannya—aku tak yakin apakah dia bisa pulih dari sesuatu
seperti ini. Sejak dulu dia selalu konstan dalam segala hal. Dia bukan tipe
orang yang melupakan masa lalu, atau yang bisa berubah pikiran."
"Dia memang berbeda dari
yang lain," Alice membenarkan dengan suara kering.
"Dan Alice..."
Charlie ragu-ragu sejenak.
"Kau tahu aku sayang
padamu, dan bisa kulihat dia senang bisa bertemu lagi denganmu, tapi... aku
agak khawatir bagaimana kunjunganmu ini akan berakibat padanya."
“Aku juga begitu, Charlie, aku
juga begitu. Aku tidak akan datang seandainya tahu keadaannya seperti ini.
Maafkan aku."
“Jangan meminta maaf, Sayang. Siapa yang tahu? Mungkin
ini akan berdampak baik baginya."
"Mudah-mudahan kau benar." Lama tidak
terdengar suara apa-apa kecuali bunyi garpu menggesek piring dan suara Charlie
mengunyah.
Aku bertanya-tanya dalam hati di mana Alice
menyembunyikan makanannya.
“Alice, aku harus menanyakan sesuatu padamu,"
kata Charlie canggung.
Penutup Novel Twilight (New Moon) – TAMU Bab 96
Gimana Novel twilight (New Moon) – Port TAMU Bab 96 ?
keren kan ceritanya. Tentunya kamu penasaran apa yang akan terjadi di bab
berikutnya. Jangan khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan baca bab
berikutnya dengan mengklik tombol navigasi bab di bawah ini.
0 comments: