Novel Twilight (New Moon), ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada orang
tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight (New Moon) Bab 94 yang dipersembahkan oleh Admin white novel. Semoga
bisa memberi hiburan, insipirasi dan solusi bagi setiap masalah yang kamu
hadapi.
Baca Novel Twilight – TAMU Bab 94
Aku menggigit bibir sejenak.
Ini rahasia atau bukan? Dan kalau ini rahasia, kepada siapa aku lebih berpihak?
Jacob, atau Alice? Terlalu sulit menyimpan rahasia, aku memutuskan. Jacob tahu
semuanya, jadi mengapa Alice tidak?
"Begini, Well dia
itu... werewolf,” aku mengakui dengan
sikap buru-buru.
"Suku Quileute berubah menjadi serigala bila ada vampir
di sekitar mereka. Mereka sudah kenal Carlisle sejak dulu sekali. Apakah saat
itu kau sudah bersama Carlisle?” Alice ternganga sejenak, tapi sejurus kemudian
pulih dari kekagetannya, matanya mengerjap cepat.
"Well, kalau
begitu pantas ada bau itu,” gerutunya.
"Tapi apakah itu menjelaskan apa yang tidak
kulihat?" Ia berpikir, kening porselennya berkerut.
"Bau?" ulangku.
"Baumu tidak enak,"
cetus Alice sambil lalu, keningnya masih berkerut.
"Werewolf? Kau yakin soal itu?"
"Yakin sekali," aku
memastikan, meringis saat teringat bagaimana Paul dan Jacob bertarung di jalan.
"Kalau begitu kau masih belum bersama Carlisle waktu terakhir kali ada werewolf di Forks?"
"Belum. Aku belum
menemukannya." Alice masih tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Tibatiba matanya membelalak, dan
ia berpaling, menatapku dengan ekspresi shock.
"Sahabatmu werewolf?” Aku mengangguk malu-malu.
"Ini sudah berlangsung
berapa lama?"
"Belum lama,"
jawabku, suaraku terdengar defensif.
"Dia baru beberapa minggu
menjadi werewolf!”
Alice membelalak memandangiku.
"Werewolf yang
masih muda? Itu bahkan lebih parah! Edward benar—kau magnet yang menarik
bahaya. Bukankah kau seharusnya menghindari bahaya?"
"Tidak ada yang salah dengan werewolf!” gerutuku, tersinggung mendengar nadanya yang mengkritik.
"Sampai amarah mereka
meledak." Alice menggeleng kuat-kuat.
"Dasar kau, Bella. Orang
lain pasti bakal hidup lebih baik setelah para vampir meninggalkan kota. Tapi
kau langsung bergaul dengan monster-monster pertama yang bisa kautemukan."
Aku tidak ingin berdebat dengan
Alice—aku masih gemetaran saking gembira karena ia benarbenar, sungguh-sungguh
ada di sini, hingga aku bisa menyentuh kulit marmernya dan mendengar suaranya
yang seperti genta angin—tapi ia sangat keliru.
"Tidak, Alice, para vampir
tidak sepenuhnya pergi—tidak semuanya, paling tidak. Justru itulah masalahnya.
Kalau bukan karena para werewolf itu,
Victoria pasti sudah berhasil menemukanku sekarang. Well kalau bukan karena Jake dan teman-temannya, Laurent pasti
berhasil membunuhku sebelum Victoria, kurasa, jadi—"
"Victoria?" desis
Alice.
"Laurent?"
Aku mengangguk, sedikit waswas
melihat ekspresi yang terpancar dari mata hitamnya. Kutuding dadaku sendiri.
"Magnet yang menarik
bahaya, ingat?"
Alice menggeleng-geleng lagi.
"Ceritakan semua padaku—
dari awal."
Aku memoles awal kisahku, sengaja melewatkan cerita
tentang motor dan suara-suara itu, tapi membeberkan semua yang terjadi sampai
hari ini. Alice tidak menyukai penjelasan singkatku tentang kebosanan dan
lompat tebing, jadi aku buru-buru
menceritakan tentang api aneh
yang kulihat di air dan apa perkiraanku mengenainya. Matanya menyipit hingga
nyaris segaris di bagian itu. Aneh juga melihatnya begitu... begitu
berbahaya—seperti vampir. Aku menelan ludah dengan susah payah dan melanjutkan
kisahku tentang Harry.
Alice mendengarkan ceritaku
tanpa menyela. Sesekali, ia menggeleng, dan kerutan di keningnya semakin dalam
hingga tampak seperti terpahat secara permanen di kulit marmernya. Ia tidak
berbicara dan, akhirnya, aku terdiam, dicekam kesedihan karena kematian Harry.
Pikiranku melayang pada Charlie; sebentar lagi ia pulang.
Bagaimana kira-kira kondisinya?
"Kepergian kami sama sekali tidak membawa kebaikan bagimu, ya?" gumam
Alice.
Aku tertawa satu
kali—kedengarannya agak histeris.
"Memang tujuannya bukan
itu, kan? Kalian pergi bukan demi kebaikanku."
Alice merengut memandangi lantai beberapa saat.
"Well,
kurasa aku bertindak impulsif hari ini tadi. Mungkin seharusnya aku tidak ikut
campur." Bisa kurasakan darah surut dari wajahku. Perutku langsung mulas.
"Jangan pergi, Alice," bisikku. Jari-jariku
mencengkeram kerah kemeja putihnya dan aku mulai tak bisa bernapas.
"Kumohon, jangan tinggalkan aku." Mata Alice
membelalak semakin lebar,
"Baiklah," ia memberi penekanan pada setiap katanya.
"Aku tidak akan ke mana-mana malam ini. Tarik
napas dalam-dalam." Aku berusaha menuruti, meski rasanya itu mustahil.
Alice memandangi wajahku
sementara aku berkonsentrasi menarik napas. Ia menunggu sampai aku lebih tenang
untuk berkomentar.
"Kau kelihatan kacau
sekali, Bella."
"Aku kan tadi
tenggelam," aku mengingatkannya.
"Bukan itu maksudku. Kau
berantakan." Aku tersentak.
"Dengar, aku sudah berusaha
semampuku."
"Apa maksudmu?"
“Ini tidak mudah. Aku sedang
berjuang mengatasinya."
Kening Alice berkerut.
"Sudah kubilang pada Edward," katanya pada diri sendiri.
"Alice," aku mendesah.
"Kaukira kau bakal
menemukan apa tadi? Maksudku, selain aku mati? Apakah kau berharap akan
menemukanku dalam keadaan ceria dan bernyanyi-nyanyi gembira? Kau kan tahu
bagaimana aku."
"Memang. Tapi harapanku
begitu."
"Kalau begitu berarti aku
bukan orang paling tolol di dunia.” Telepon berdering.
“Itu pasti Charlie," kataku, berdiri dengan susah
payah. Kusambar tangan Alice yang sekeras batu dan kuseret ia bersamaku ke
dapur. Aku takkan melepaskannya dari pandanganku.
"Charlie?" seruku di
corong telepon.
"Bukan, ini aku,"
sahut Jacob.
"Jake!" Alice
mengamati ekspresiku.
"Hanya ingin memastikan
kau masih hidup," kata Jacob masam.
"Aku baik-baik saja. Sudah
kubilang itu bukan—"
"Yeah. Aku mengerti.
Bye," Jacob langsung menutup telepon.
Aku mendesah dan menengadahkan
kepala, menatap langit-langit.
"Gawat." Alice
meremas tanganku.
"Mereka tidak suka aku
datang."
"Memang tidak. Tapi itu
toh bukan urusan mereka."
Alice merangkul bahuku.
"Jadi apa yang kita
lakukan sekarang?" tanyanya. Sesaat ia seperti bicara pada dirinya
sendiri.
"Banyak yang harus
dilakukan. Membereskan yang belum selesai."
"Melakukan apa?"
Wajah Alice mendadak terlihat hati-hati.
"Aku tidak begitu yakin... aku harus menemui
Carlisle." Apakah dia harus pergi secepat ini? Perutku langsung mulas.
Penutup Novel Twilight (New Moon) – TAMU Bab 94
Gimana Novel twilight (New Moon) – Port TAMU Bab 94 ?
keren kan ceritanya. Tentunya kamu penasaran apa yang akan terjadi di bab
berikutnya. Jangan khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan baca bab
berikutnya dengan mengklik tombol navigasi bab di bawah ini.
0 comments: