Novel Twilight (New Moon), ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada orang
tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight (New Moon) Bab 90 yang dipersembahkan oleh Admin white novel. Semoga
bisa memberi hiburan, insipirasi dan solusi bagi setiap masalah yang kamu
hadapi.
Baca Novel Twilight – PARIS Bab 90
Seandainya Romeo benar-benar
pergi, tak pernah kembali lagi, adakah bedanya seandainya Juliet menerima
tawaran Paris atau tidak? Mungkin seharusnya Juliet mencoba mengais kembali
kepingan-kepingan hidupnya yang masih tersisa. Mungkin itulah hal yang paling
mendekati kebahagiaan yang bisa diraihnya.
Aku mendesah, lalu mengerang
saat desahan itu menggesek tenggorokanku. Aku terlalu jauh menghayati kisah
itu. Romeo takkan mungkin berubah pikiran. Itulah sebabnya orang-orang masih
mengenang namanya, selalu dikaitkan dengan nama kekasihnya: Romeo dan Juliet.
Itulah sebabnya kisah itu
indah.
"Juliet dicampakkan dan
akhirnya bersanding dengan Paris" tidak akan pernah menjadi hit.
Aku memejamkan mata dan kembali terlena, membiarkan
pikiranku berkelana meninggalkan drama tolol yang tak i kupikirkan lagi. Aku
malah memikirkan kenyataan—bagaimana aku terjun dari tebing serta bagaimana itu
merupakan kesalahan yang sangat tolol.
Dan bukan hanya lompat tebing, tapi juga sepeda motor
dan ulahku yang tidak bertanggung jawab, yang ingin menjadi seperti Evel
Knievel. Bagaimana kalau sesuatu yang buruk menimpaku? Apa akibatnya bagi
Charlie? Serangan jantung yang menimpa Harry mendadak menempatkan segala
sesuatu ke dalam perspektif yang benar. Perspektif yang tak ingin kulihat,
karena—bila aku mengakui kebenarannya—itu berarti aku harus mengubah
cara-caraku. Bisakah aku hidup seperti itu?
Mungkin. Itu takkan mudah;
faktanya, justru akan sangat menyedihkan jika aku harus mengenyahkan
halusinasiku dan berusaha bersikap dewasa. Tapi mungkin sebaiknya aku
melakukannya. Dan mungkin aku bisa. Kalau ada Jacob.
Aku tidak bisa memutuskannya
sekarang. Itu terlalu menyakitkan. Lebih baik aku memikirkan hal lain saja.
Bayangan-bayangan dari ulah
cerobohku sore tadi berkecamuk dalam pikiranku sementara aku mencoba
membayangkan hal yang menyenangkan untuk dipikirkan... desir angin saat aku
jatuh, air yang hitam pekat, tarikan arus... wajah Edward... aku memikirkannya
lama sekali.
Tangan Jacob yang hangat
memukul-mukul punggungku, berusaha membuatku kembali bernapas... tetesan hujan
yang tajam yang dicurahkan awan-awan ungu... api aneh di antara ombak... Ada
sesuatu yang familier tentang secercah warna di air itu.
Tentu saja itu tak mungkin api—
Pikiranku terputus oleh suara ban mobil melindas lumpur dijalan di luar
Kudengar mobil itu berhenti di depan rumah, disusul kemudian dengan suara
pintu-pintu dibuka dan ditutup. Terpikir olehku untuk bangkit dan duduk, tapi
kemudian mengurungkan niatku.
Mudah saja mengenali suara Billy. namun tidak seperti
biasa, ia berbicara dengan nada sangat rendah, hingga hanya terdengar seperti
gumaman serak.
Pintu terbuka, lampu menyala. Aku mengerjapngerjapkan
mata, buta sesaat. Jake tersentak bangun, terkesiap dan melompat berdiri.
"Maaf," geram Billy.
"Kami membangunkan kalian, ya?"
Pelan-pelan mataku terfokus
pada wajahnya, kemudian, begitu bisa membaca ekspresinya, air mataku langsung
merebak.
"Oh, tidak, Billy!"
erangku.
Billy mengangguk pelan,
ekspresinya keras oleh dukacita. Jake bergegas menghampiri ayahnya dan meraih
satu tangannya. Kesedihan membuat wajahnya tiba-tiba terlihat seperti anak kecil—
tampak aneh di tubuhnya yang dewasa.
Sam berdiri tepat di belakang
Billy, mendorong kursi rodanya melewati pintu. Pembawaan normalnya yang tenang
tak terlihat di wajahnya yang pilu.
"Aku ikut sedih,"
bisikku. Billy mengangguk.
"Semua merasa kehilangan."
"Mana Charlie?"
"Ayahmu masih di rumah
sakit bersama Sue. Banyak... yang harus diurus."
Aku menelan ludah susah payah.
"Sebaiknya aku segera
kembali ke sana," gumam Sam, lalu cepat-cepat merunduk keluar dari pintu.
Billy menarik tangannya dari genggaman Jacob, lalu menggelindingkan kursi
rodanya melintasi dapur menuju kamarnya.
Jake mengawasi kepergiannya
sebentar, lalu duduk lagi di lantai di sampingku. Ia menutup wajahnya dengan
kedua tangan. Kugosok-gosok bahunya, berharap tahu harus bilang apa. Lama
kemudian baru Jacob meraih tanganku dan menempelkannya di wajah.
“Bagaimana perasaanmu? Kau
baik-baik saja? Mungkin seharusnya aku membawamu ke dokter atau
sebangsanya." Jacob mendesah.
"Tak perlu mencemaskan
aku," kataku parau. Ia berpaling menatapku.
Ada lingkaran merah di matanya.
"Kau kelihatan
payah."
"Aku memang agak
kepayahan."
"Aku akan mengambil trukmu
kemudian mengantarmu pulang—mungkin sebaiknya kau sudah di rumah kalau Charlie
pulang nanti."
"Benar.”
Aku berbaring lunglai di sofa sambil menunggu. Billy
tinggal di dalam kamar. Aku risi karena keberadaanku mengganggu tuan rumah yang
ingin menyendiri dalam dukacitanya. Tak lama kemudian Jake kembali. Raungan
mesin trukku memecah keheningan sebelum aku mengharapkannya.
Tanpa berkata apa-apa Jacob membantuku berdiri dari
sofa, merangkul pundakku ketika hawa dingin di luar membuat tubuhku menggigil
Tanpa bertanya lagi ia langsung duduk di balik kemudi, kemudian mendekapku
rapat-rapat di sampingnya. Aku membaringkan kepalaku di dadanya.
“Bagaimana caramu pulang
nanti?" tanyaku.
"Aku tidak akan pulang.
Kami kan belum berhasil menangkap si pengisap darah itu, ingat?" Tubuhku
bergidik, bukan karena kedinginan.
Sesudah itu kami lebih banyak
berdiam diri. Hawa dingin membuatku terjaga. Pikiranku awas, dan otakku bekerja
sangat keras dan sangat cepat. Bagaimana seandainya? Tindakan tepat apa yang
harus kulakukan?
Aku tak bisa membayangkan
hidupku tanpa Jacob sekarang—berusaha membayangkannya saja sudah membuatku
ngeri. Bagaimanapun, ia telah menjadi bagian esensial yang membuatku bertahan
hidup. Tapi membiarkan keadaan seperti apa adanya... apakah itu kejam, seperti
yang dituduhkan Mike?
Aku ingat pernah berharap Jacob
itu saudara lelakiku. Aku sadar sekarang, yang kuinginkan sebenarnya adalah
mengklaimnya sebagai milikku. Rasanya seperti bukan saudara bila ia memelukku
seperti ini. Pelukannya menyenangkan—hangat, nyaman, dan familier. Aman. Jacob
adalah pelabuhan yang aman.
Aku bisa mengklaimnya. Hal itu ada dalam jangkauanku.
Penutup Novel Twilight (New Moon) – PARIS Bab 90
Gimana Novel twilight (New Moon) – Port PARIS Bab
90 ? keren kan ceritanya. Tentunya kamu penasaran apa yang akan terjadi di bab
berikutnya. Jangan khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan baca bab
berikutnya dengan mengklik tombol navigasi bab di bawah ini.
0 comments: