Novel Twilight (New Moon), ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada orang
tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight (New Moon) Bab 67 yang dipersembahkan oleh Admin white novel. Semoga
bisa memberi hiburan, insipirasi dan solusi bagi setiap masalah yang kamu
hadapi.
Baca Novel Twilight – PENYUSUP Bab 67
12. PENYUSUP
KEDUA mataku membelalak ngeri, padahal aku sangat
kelelahan dan bingung sampai-sampai tak yakin apakah aku sudah bangun atau
masih tidur. Sesuatu menggaruk-garuk kaca jendelaku lagi dengan suara
melengking tinggi yang sama. Bingung dan kikuk karena mengantuk, aku
tersaruk-saruk turun dari tempat tidur dan melangkah ke jendela, mengerjap-ngerjapkan
air mata yang masih menggenang di mataku.
Sosok hitam besar bergelantungan goyah di sisi luar
kaca jendela, menerjang ke arahku seperti hendak menabrak kaca. Aku
terhuyung-huyung mundur, ngeri, kerongkonganku tercekat hendak menjerit.
Victoria.
Ia datang mencariku. Mati aku.
Jangan Charlie juga!
Kutelan lagi jeritan yang sudah
menggumpal di tenggorokanku Aku tak boleh bersuara. Entah bagaimana caranya.
Pokoknya jangan sampai Charlie datang memeriksa... Kemudian suara parau yang
sudah sangat kukenal keluar dari sosok gelap itu.
“Bella!” sosok itu mendesis.
"Aduh! Brengsek, buka
jendelanya! ADUH!”
Butuh dua detik untuk
mengenyahkan rasa takut sebelum aku bisa bergerak, tapi kemudian aku bergegas
ke jendela dan mendorong kacanya. Awan-awan diterangi cahaya remang di baliknya
cukup untuk membuatku bisa mengenal, sosok itu.
"Sedang apa
kau?" aku terkesiap.
Jacob bergelayut goyah di pucuk tanaman yang tumbuh di
tengah-tengah halaman kecil Charlie. Bobot tubuhnya membuat pohon itu merunduk
ke arah rumah dan sekarang ia berayun—kalanya bergelantungan enam meter di atas
tanah—tak sampai semeter dariku. Ranting-ranting kurus di pucuk pohon
menggaruk-garuk dinding rumah lagi dengan suaranya yang berderit-derit.
“Aku mencoba
menepati"—Jacob terengahengah, memindahkan berat badannya saat puncak
pohon memantulkannya— janjiku!" Aku mengerjapkan pandanganku yang kabur,
mendadak yakin aku tengah bermimpi. “Kapan kau pernah berjanji untuk bunuh diri
dengan jatuh dari pohon Charlie?” Jacob mendengus, menganggap gurauanku tidak
lucu, mengayunkan kaki agar bisa lebih seimbang.
"Minggir,"
perintahnya.
"Apa?"
Jacob mengayunkan kalanya lagi,
ke belakang dan ke depan, meningkatkan momentum. Sadarlah aku apa yang hendak
dilakukannya.
"Jangan. Jake!"
Tapi aku merunduk juga ke
samping, karena sudah terlambat. Sambil menggeram Jacob menerjang ke jendela
kamarku yang terbuka. Jeritan lain siap terlontar dari kerongkonganku saat
menunggu Jacob terjatuh dan mati—atau paling tidak cedera membentur papan kayu.
Tapi aku benar-benar shock waktu ia
dengan tangkas mengayun masuk ke dalam kamar, mendarat dengan tumit mencium
lantai dan suara berdebum pelan.
Tatapan kami otomatis mengarah ke pintu, menahan
napas, menunggu apakah suara tadi membangunkan Charlie. Kesunyian berlalu
beberapa detik, kemudian kami mendengar suara dengkur tertahan Charlie.
Cengiran lebar lambat-lambat
merekah di wajah Jacob; tampaknya ia sangat puas pada diri sendiri. Itu bukan
cengiran seperti yang selama ini kukenal dan kusukai—tapi cengiran baru, yang
seolah mengejek keluguannya dulu, di wajah baru yang kini menjadi milik Sam.
Itu agak keterlaluan bagiku.
Aku menangisi cowok ini sampai
ketiduran. Penolakan kasarnya tadi meninggalkan lubang baru yang menyakitkan di
dadaku. Ia meninggalkan mimpi buruk yang baru, seperti infeksi pada
luka—penghinaan setelah perlakuan buruk. Dan sekarang ia datang ke kamarku,
tersenyum mengejek seolah-olah semua itu tak pernah terjadi.
Dan lebih parahnya lagi,
walaupun kedatangannya berisik dan canggung, ulahnya mengingatkanku pada Edward
ketika dulu ia sering menyusup masuk lewat jendela malammalam, dan kenangan itu
semakin memedihkan luka hatiku yang belum sembuh. Semua ini, ditambah fakta
bahwa aku sangat kelelahan, membuat suasana hatiku jadi buruk.
"Keluar!" desisku,
sebisa mungkin membuat bisikanku
terdengar ketus.
Jacob mengerjapkan mata,
wajahnya berubah kosong karena terkejut.
"Tidak," protesnya.
"Aku datang untuk meminta
maaf."
"Aku tidak terima!”
Aku berusaha mendorongnya
kembali ke luar jendela—bagaimanapun juga, kalau ini mimpi, ia tidak akan
cedera apa-apa. Tapi ternyata tak ada gunanya. Aku tak sanggup menggerakkan
tubuhnya sedikit pun.
Cepat-cepat kujatuhkan
tanganku, lalu mundur menjauhinya. Ia tidak mengenakan pakaian, walaupun angin
yang bertiup masuk dari jendela cukup dingin untuk membuatku gemetar, dan aku
merasa tak nyaman memegang dadanya yang telanjang. Kulitnya panas membara,
seperti kepalanya waktu aku terakhir kali menyentuhnya dulu. Seolah-olah ia
masih demam tinggi.
Ia tidak kelihatan sakit. Ia
terlihat besar. Jacob mencondongkan
tubuh ke arahku, besar sekali hingga menutupi jendela, bingung melihat reaksiku
yang sengit.
Sekonyong-konyong aku tak
sanggup menanggungnya lagi—rasanya seolah-olah semua akibat dari kurang tidur
yang kualami sekian lama menerjangku sekaligus. Aku capek sekali hingga rasanya
ingin ambruk ke lantai saat itu juga. Tubuhku limbung, dan aku berjuang keras
menjaga mataku tetap terbuka.
"Bella?" bisik Jacob
waswas. Diraihnya sikuku waktu aku limbung lagi, lalu digiringnya aku ke tempat
tidur. Kakiku lunglai begitu aku sampai di pinggir tempat tidur, dan kujatuhkan
kepalaku yang lemas ke kasur.
"Hei, kau baik-baik saja?" tanya Jacob,
perasaan waswas membuat keningnya berkerut.
Aku menengadah memandanginya, air
mata di pipiku belum sepenuhnya kering. "Bagaimana aku bisa baik-baik
saja, Jacob?"
Kesedihan menggantikan sebagian
kepahitan di wajahnya.
"Benar," Jacob
sependapat, lalu menghela napas dalam-dalam. "Brengsek. Well, aku—aku minta maaf, Bella"
Permintaan maaf itu tulus, tak diragukan lagi, meski masih ada kerutkerut marah
di wajahnya.
"Mengapa kau datang ke
sini? Aku tidak menginginkan permintaan maaf darimu, Jake."
"Aku tahu," bisiknya.
"Tapi aku tak bias membiarkan
kita berpisah seperti sore tadi. Benarbenar tidak menyenangkan. Maafkan
aku."
Aku menggeleng letih. "Aku
tidak mengerti sama sekali."
“Aku tahu. Aku ingin
menjelaskan—" Mendadak Jacob berhenti bicara, mulutnya ternganga, hampir
seolah-olah ada sesuatu yang memutus aliran udaranya.
Lalu ia menghirup napas
dalam-dalam. "Tapi aku tak bisa menjelaskan," katanya, masih marah.
"Kalau saja aku
bisa." Kubiarkan kepalaku jatuh ke tangan.
Pertanyaanku terbenam oleh lenganku.
"Kenapa?" Jacob terdiam sesaat. Kuputar
wajahku ke satu sisi—terlalu letih untuk menegakkannya—untuk melihat
ekspresinya. Wajahnya membuatku terkejut. Matanya menyipit, giginya terkatup
rapat, dahinya berkerut-kerut seolah sedang mengerah kan segenap kekuatan.
Penutup Novel Twilight (New Moon) – PENYUSUP Bab 67
Gimana Novel twilight (New Moon) – Port PENYUSUP Bab
67 ? keren kan ceritanya. Tentunya kamu penasaran apa yang akan terjadi di bab
berikutnya. Jangan khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan baca bab
berikutnya dengan mengklik tombol navigasi bab di bawah ini.
0 comments: