Novel Twilight (New Moon), ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada orang
tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight (New Moon) Bab 66 yang dipersembahkan oleh Admin white novel. Semoga
bisa memberi hiburan, insipirasi dan solusi bagi setiap masalah yang kamu
hadapi.
Baca Novel Twilight – SEKTE Bab 66
Tapi aku mendengar suaraku
berbisik. "Aku minta maaf tak bisa... sebelum... kuharap aku bisa mengubah
perasaanku terhadapmu, Jacob." Aku putus asa, berusaha menggapai, mengulur
kebenaran begitu jauhnya hingga katakataku nyaris melengkung menjadi
kebohongan.
"Mungkin... mungkin aku bisa
berubah," aku berbisik.
"Mungkin, kalau kau
memberiku sedikit waktu... Tapi jangan menyerah terhadapku sekarang, Jake. Aku
takkan bisa bertahan." Wajahnya berubah dari marah menjadi sedih dalam
sedetik. Satu tangannya yang masih gemetaran terulur menggapaiku.
"Tidak. Jangan berpikir
begitu, Bella, please. Jangan salahkan
dirimu, jangan pikir ini salahmu. Ini semua salahku. Sumpah, ini sama sekali
bukan salahmu.”
"Bukan salahmu, tapi
salahku," aku berbisik.
"Pasti sudah ada yang baru
untukmu."
"Aku sungguh-sungguh,
Bella. Aku tidak..." Jacob berjuang menyelesaikan kalimatnya, suaranya
semakin serak saat ia berusaha mengendalikan emosi. Sorot matanya tersiksa.
"Aku tidak cukup baik
untuk menjadi temanmu lagi, atau apa pun. Aku tidak seperti dulu lagi. Aku
tidak baik."
"Apa?" Kupandangi dia, bingung dan heran.
"Kau ini bicara apa? Kau jauh lebih baik daripada
aku, Jake. Kau baik! Siapa yang mengatakan kau tidak baik? Sam? Itu kebohongan
yang keji, Jacob! Jangan biarkan dia berkata begitu padamu!" aku tiba-tiba
berteriak lagi.
Wajah Jacob keras dan datar.
"Tidak ada yang memberi tahuku. Aku tahu siapa diriku."
"Kau temanku, itulah kau!
Jake—jangan!" Jacob mundur menjauhi ku.
"Maafkan aku, Bella,"
katanya lagi; kali ini hanya berupa gumaman lirih.
Ia berbalik dan hampirhampir
berlari memasuki rumah.
Aku tak sanggup bergerak dari
tempatku berdiri. Kupandangi rumah kecil itu; tampaknya rumah itu terlalu kecil
untuk menampung empat cowok berbadan besar dan dua pria yang bahkan lebih besar
lagi. Tidak ada reaksi apa pun di dalam. Tidak ada kibasan pada tirai jendela,
tidak ada suara-suara ataupun gerakan. Rumah itu menatapku kosong.
Hujan mulai turun
rintik-rintik, menusuk kulitku di sana-sini. Aku tak mampu mengalihkan
pandangan dari rumah itu. Jacob akan keluar lagi.
Pasti.
Hujan turun semakin deras,
angin juga bertiup semakin kencang. Tetesan air tak lagi jatuh dari atas; air
hujan kini menyamping dari barat. Tercium olehku bau garam dan lautan. Rambutku
menampari wajah, menempel di bagian-bagian yang basah dan menjerat bulu mataku.
Aku menunggu.
Akhirnya pintu terbuka, dan dengan lega aku maju
selangkah.
Billy menggelindingkan kursi
rodanya ke ambang pintu. Aku tidak melihat siapa-siapa di belakangnya.
“Charlie baru saja menelepon,
Bella. Kukatakan padanya kau sudah dalam perjalanan pulang." Matanya
menyorotkan rasa iba.
Sorot iba itulah yang
menggerakkanku. Aku tidak berkomentar. Aku hanya berbalik seperti robot dan
naik ke truk. Aku tadi membiarkan kacakaca jendela terbuka, jadi jok mobilku
kan dan basah. Tidak apa-apa. Aku toh sudah kepalang basah kuyup.
Ini bukan apa-apa! Ini bukan apa-apa! pikiranku berusaha menghiburku.
Itu benar. Im memang bukan apa-apa. Ini bukan akhir dunia, tidak lagi. Ini
hanyalah akhir dari secuil kedamaian yang tertinggal. Hanya itu.
Ini bukan apa-apa, aku sependapat, lalu menambahkan, tapi ini cukup menyakitkan. Kusangka
selama ini Jake memulihkan lubang dalam diriku—atau setidaknya menambalnya,
menjaganya agar tidak terlalu menyakitiku. Ternyata aku salah.
Ternyata selama ini ia memahat
lubangnya sendiri, sehingga sekarang hatiku bolong-bolong seperti keju Swiss.
Dalam hati aku bertanya-tanya mengapa aku tidak hancur berkeping-keping.
Charlie sudah menunggu di teras. Begitu trukku
berhenti, ia menghampiriku.
"Billy menelepon. Katanya
kau bertengkar dengan Jake-katanya kau sangat kalut,” ia menjelaskan sambil
membukakan pintu untukku. Lalu ia memandang wajahku. Ekspresi mengenali yang
penuh kengerian tergambar di wajahnya.
Aku berusaha merasakan wajahku
dari dalam, untuk mencari tahu apa yang dilihatnya. Wajahku kosong dan dingin,
dan sadarlah aku wajahku ini mengingatkan Charlie pada apa. "Kejadiannya
tidak seperti itu," gumamku. Charlie merangkulku dan membantuku turun dari
truk. Ia tidak mengomentari bajuku yang basah kuyup.
"Kalau begitu apa yang
terjadi?" tanyanya sesampainya di dalam. Ditariknya selimut yang tersampir
di punggung sofa dan dililitkannya di bahuku. Sadarlah aku sekujur tubuhku
masih gemetaran.
Suaraku hampa tak bernyawa.
"Kata Sam Uley,
Jacob tidak boleh berteman lagi denganku."
Charlie melayangkan pandangan aneh ke arahku. "Siapa yang bilang
begitu?"
"Jacob," jawabku, meski tidak persis begitu
yang ia katakan. Tapi itu tetap benar. Alis Charlie bertaut. "Kau
benar-benar merasa ada yang tidak beres dengan pemuda Uley ini?"
"Aku yakin. Tapi Jacob tidak mau memberi tahu apa
itu." Aku bisa mendengar air menetes-netes dari bajuku ke lantai dan
menciprat di linoleum.
"Aku mau ganti baju dulu."
Charlie tenggelam dalam
pikirannya. "Oke," sahutnya sambil lalu.
Aku memutuskan untuk mandi
karena merasa sangat kedinginan, tapi air panas ternyata tidak bisa memengaruhi
suhu kulitku. Aku masih kedinginan ketika akhirnya aku menyerah dan mematikan
air. Dalam suasana yang mendadak hening, aku bisa mendengar Charlie berbicara
dengan seseorang di bawah. Aku membungkus rubuhku dengan handuk, lalu membuka
pintu kamar mandi secelah.
Suara Charlie terdengar marah.
“Aku tidak percaya. Itu tidak masuk akal." Kemudian suasana sepi, dan
barulah aku sadar Charlie sedang berbicara di telepon. Saru menit berlalu.
"Jangan menyalahkan
Bella!" Charlie tiba-tiba berteriak. Aku terlonjak.
Ketika ia bicara lagi, suaranya
hati-hati dan lebih rendah. "Selama ini Bella dengan jelas menyatakan dia
dan Jacob hanya berteman... Well,
kalau memang begitu, mengapa kau tidak mengatakannya sejak awal?
Tidak, Billy menurutku dia
benar dalam hal ini...
Karena aku tahu bagaimana anak perempuanku, dan kalau
menurutnya Jacob ketakutan sebelum ini—" Charlie berhenti bicara, dan
waktu menjawab, ia nyaris berteriak lagi.
“Apa maksudmu aku tidak kenal anak perempuanku sebaik
yang kukira!" Ia mendengarkan sebentar, dan responsnya sangat pelan hingga
nyaris tak bisa kutangkap. "Kalau kaupikir aku akan mengingatkannya
tentang hal
itu, sebaiknya kau berpikir lagi. Dia baru mulai bisa
melupakannya, dan sebagian besar karena Jacob, kurasa. Kalau apa pun yang
dilakukan Jacob dengan si Sam ini membuat Bella kembali terpuruk dalam depresi,
maka Jacob harus berurusan denganku. Kau memang temanku, Billy, tapi ini
menyakiti keluargaku." Charlie kembali terdiam saat Billy menjawab. “Kau
benar—sekali saja anak-anak itu melanggar aturan, aku pasti akan tahu
mengenainya. Kami akan mengawasi situasi ini, kau boleh yakin akan hal
itu." Ia bukan lagi Charlie; sekarang ia Kepala Polisi Swan.
“Baik. Yeah. Bye." Telepon dibanting keraskeras.
Aku berjingkat-jingkat cepat melintasi lorong dan masuk ke kamarku. Charlie
menggerutu marah di dapur.
Jadi Billy hendak menyalahkan
aku. Aku memberi harapan pada Jacob dan akhirnya ia muak.
Sungguh aneh, karena itu juga yang kutakutkan, tapi
setelah mendengar perkataan Jacob sore tadi, aku tidak percaya lagi bahwa
itulah yang menjadi penyebabnya.
Ada hai lain selain cinta yang bertepuk sebelah tangan,
dan sungguh mengagetkan bila Billy sampai harus menggunakan itu sebagai alasan.
Itu membuatku berpikir bahwa rahasia apa pun yang mereka simpan pastilah lebih
besar daripada yang selama ini kubayangkan. Setidaknya Charlie memihakku
sekarang.
Aku memakai piama lalu
merangkak naik ke tempat tidur. Hidup saat ini sudah terasa cukup gelap hingga
kubiarkan diriku melanggar janjiku sendiri. Lubang itu—sekarang ada lebih dari
satu lubang—toh sudah terasa menyakitkan, jadi mengapa tidak? Kutarik keluar
kenanganku— bukan kenangan sesungguhnya yang pasti akan terlalu menyakiti, tapi
kenangan palsu tentang suara Edward dalam benakku sore tadi—dan memutarnya
berulang kali di kepalaku sampai aku tertidur dengan air mata masih menuruni
wajahku yang kosong.
Mimpiku baru malam ini. Hujan
turun dan Jacob berjalan tanpa suara di sampingku, meski di bawah kakiku tanah
yang kuinjak bergemeretak seperti kerikil kering. Tapi ia bukan Jacob-ku; ia
Jacob yang baru, masam, dan anggun.
Gaya berjalannya yang anggun
dan mantap mengingatkanku pada seseorang yang lain, dan, saat kuperhatikan,
garis-garis wajahnya berubah. Kulitnya yang cokelat kemerahan memudar,
meninggalkan seraut wajah putih pucat bagai tulang.
Matanya berubah warna menjadi
emas. kemudian merah, lalu emas lagi. Rambutnya yang dipangkas pendek
acak-acakan tertiup angin, berubah warna menjadi tembaga begitu angin
menyentuhnya. Dan wajahnya berubah sangat
Tampan
hingga membuat hatiku hancur berkepingkeping.
Aku mengulurkan tangan ke arahnya, tapi ia mundur
selangkah, mengangkat kedua tangan seperti tameng. Kemudian Edward menghilang.
Aku tak yakin, waktu aku terbangun di kegelapan, apakah aku baru mulai
menangis, ataukah air mataku mengalir saat aku tidur dan terus mengalir sampai
sekarang.
Kutatap langitlah kamar yang gelap. Aku bisa merasakan
sekarang sudah tengah malam – aku masih separo tertidur, mungkin malah masih
tidur. Kupejamkan mataku dengan letih, berdoa semoga tidurku tidak diganggu
mimpi lagi.
Saat itulah aku mendengar suara yang membuatku terbangun
tadi. Suara sesuatu yang tajam menggesek permukaan jendela dan menimbulkan
bunyi berderit yang melengking tinggi, seperti suara kuku menggores kaca.
Penutup Novel Twilight (New Moon) – SEKTE Bab 66
Gimana Novel twilight (New Moon) – Port SEKTE Bab
66 ? keren kan ceritanya. Tentunya kamu penasaran apa yang akan terjadi di bab
berikutnya. Jangan khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan baca bab
berikutnya dengan mengklik tombol navigasi bab di bawah ini.
0 comments: