Novel Twilight (New Moon), ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada orang
tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight (New Moon) Bab 59 yang dipersembahkan oleh Admin white novel. Semoga
bisa memberi hiburan, insipirasi dan solusi bagi setiap masalah yang kamu
hadapi.
Baca Novel Twilight – PADANG RUMPUT Bab 59
Belum lagi aku sempat bereaksi,
dua serigala lain menyusul, membentuk huruf V, seperti kawanan burung yang
bermigrasi ke selatan. Itu berarti monster cokelat kemerahan yang merangsck
menembus semak belukar berada cukup dekat denganku hingga aku bisa
menyentuhnya.
Tanpa sengaja aku terkesiap dan
melompat mundur – tindakan paling tolol yang bisa kulakukan. Lagi-lagi aku
membeku, menunggu serigala-serigala itu berbalik menyerangku, mangsa yang lebih
lemah. Sempat terlintas dalam benakku semoga Laurent segera beraksi dan melumat
gerombolan serigala itu-itu mudah saja baginya.
Kurasa di antara dua pilihan di
depanku, di mangsa sekawanan serigala hampir bisa dibilang pilihan yang lebih
buruk.
Serigala yang paling dekat
denganku, yang berbulu cokelat kemerahan, memalingkan kepala sedikit begitu
mendengarku terkesiap.
Mata serigala itu gelap, nyaris
hitam. Hewan itu menatapku sepersekian detik, matanya yang gelap terkesan
terlalu cerdas untuk hewan liar.
Sementara hewan itu
memandangiku, mendadak aku teringat pada Jacob—lagi-lagi dengan perasaan
bersyukur. Setidaknya aku datang ke sini
sendirian, ke padang rumput negeri dongeng yang penuh
monster-monster mengerikan ini. Setidaknya Jacob tidak akan ikut mati.
Setidaknya aku tidak bertanggung jawab atas kematiannya. Geraman rendah yang
sekali lagi keluar dari moncong pemimpin gerombolan membuat serigala
cokelat-merah itu memalingkan
kepala secepat kilat, kembali kepada Laurent.
Laurent menatap gerombolan
monster serigala itu dengan perasaan shock
dan takut yang tak bisa ditutup-tutupi. Perasaan pertama bisa kupahami.
Tapi aku terperangah waktu, tanpa aba-aba lebih dulu, ia berbalik dan
menghilang di balik pepohonan.
Dia kabur.
Detik itu juga kawanan serigala
itu langsung mengejarnya, berlari cepat melintasi padang rumput terbuka dengan
langkah-langkah bertenaga, menggeram dan mengatup-ngatupkan moncong dengan
keras dan nyaring. Kedua tanganku serta-merta terangkat ke atas, secara
naluriah menutup telinga. Suara itu menghilang dengan sangat cepat begitu
gerombolan serigala lenyap di balik hutan. Kemudian aku sendirian lagi.
Lututku terkulai, tak sanggup
menopang berat tubuhku, dan aku terjatuh dengan posisi tangan bertumpu di
tanah, isak tangis memenuhi kerongkonganku.
Aku tahu aku harus segera
pergi, sekarang juga.
Berapa lama serigala-serigala
itu akan mengejar Laurent sebelum berbalik dan mengejarku? Atau akankah Laurent
melawan mereka? Mungkinkah ia yang nanti akan kembali mencariku? Awalnya aku
tak bisa bergerak; lengan dan kakiku gemetaran, dan aku tak tahu bagaimana bisa
kembali berdiri.
Pikiranku tak bisa menghalau
ketakutan, kengerian, ataupun kebingungan yang kurasakan. Aku tidak memahami
apa yang baru saja kusaksikan.
Vampir tak seharusnya kabur
dari sekawanan anjing raksasa seperti itu. Apa gunanya gigi yang tajam dan
kulit mereka yang sekeras granit? Dan serigala-serigala seharusnya tidak
mengganggu Laurent.
Walaupun ukuran mereka yang
luar biasa itu mengajar mereka untuk tidak takut pada apa pun, tetap saja tak
masuk akal mengapa mereka mengejarnya. Aku ragu kulit Laurent yang sedingin
marmer memancarkan bau yang menyerupai makanan. Mengapa mereka malah
mengabaikan makhluk berdarah panas dan lemah seperti aku dan justru mengejar
Laurent?
Aku tidak mengerti sama sekali.
Angin dingin menyapu padang rumput, mengayunkan rumput-rumput seolah ada
sesuatu yang menggerakkannya.
Aku cepat-cepat berdiri, mundur
walaupun angina menerpaku tanpa mencederai.
Tersandungsandung panik, aku
berbalik dan langsung lari menerobos pepohonan.
Beberapa jam berikutnya sungguh mengerikan. Butuh
waktu tiga kali lebih lama untuk meloloskan diri dari pepohonan daripada untuk mencapai
padang.
Awalnya aku tidak memerhatikan ke mana aku melangkah,
pikiranku hanya terfokus pada melarikan diri. Setelah cukup tenang untuk ingat
bahwa aku punya kompas, aku sudah jauh di
pelosok hutan yang asing dan
menakutkan. Kedua tanganku gemetar sangat hebat sehingga aku harus meletakkan
kompas di tanah berlumpur untuk bisa membacanya. Beberapa menit sekali aku
harus berhenti untuk meletakkan kompas dan mengecek bahwa aku masih berjalan ke
barat laut, mendengarkan—bila suara-suara itu tidak tersembunyi di balik
langkah-langkah kakiku yang panik—bisikan pelan berbagai hal yang tak kelihatan
di sela-sela dedaunan. Pekikan burung jaybird
membuatku terlompat ke belakang dan jatuh menimpa pohon cemara muda berdaun
lebat.
Akibatnya lenganku tergoresgores
dan rambutku terbelit daun-daun cemara. Tupai yang mendadak berkelebat lewat
membuatku menjerit begitu keras hingga menyakitkan bahkan telingaku sendiri.
Akhirnya pohon-pohon mulai renggang. Aku muncul
dijalan kosong kira-kira satu setengah kilometer dari tempatku meninggalkan
truk tadi. Meskipun didera kelelahan yang amat sangat, aku berlari-lari kecil
menyusuri jalan sampai menemukan trukku.
Sesampai di dalamnya tangisku kembali meledak. Kukunci
pintu truk rapat-rapat sebelum merogoh kantong untuk mengeluarkan kuncinya.
Raungan suara mesin terasa melegakan dan waras. Suara itu membantuku menahan
air mata sementara aku memacu trukku secepatnya menuju jalan utama.
Sesampainya di rumah, kondisiku sudah lebih tenang,
tapi masih kacau-balau. Mobil polisi Charlie sudah terparkir di halaman—aku
bahkan tidak menyadari hari sudah malam. Langit sudah menggelap.
"Bella?" seru Charlie
begitu aku membanting pintu depan dan cepat-cepat memutar kunci.
"Yeah, ini aku."
Suaraku lemah.
"Dari mana saja kau?"
tanyanya menggelegar, muncul dari ambang pintu dapur dengan wajah garang.
Aku ragu-ragu. Ayahku mungkin
sudah menelepon keluarga Stanley. Sebaiknya aku menceritakan hal yang
sebenarnya saja.
"Aku pergi hiking," aku mengaku.
Mata Charlie kaku.
"Mengapa tidak jadi pergi ke rumah Jessica?"
Penutup Novel Twilight (New Moon) – PADANG RUMPUT Bab 59
Gimana Novel twilight (New Moon) – Port PADANG RUMPUT Bab 59 ? keren kan ceritanya. Tentunya kamu penasaran apa yang akan
terjadi di bab berikutnya. Jangan khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan
baca bab berikutnya dengan mengklik tombol
navigasi bab di bawah ini.
0 comments: