Novel Twilight (New Moon), ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada orang
tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight (New Moon) Bab 56 yang dipersembahkan oleh Admin white novel. Semoga
bisa memberi hiburan, insipirasi dan solusi bagi setiap masalah yang kamu
hadapi.
Baca Novel Twilight – PADANG RUMPUT Bab 56
Hutan penuh kehidupan hari ini,
semua makhluk kecil menikmati kekeringan yang hanya sementara. Namun entah
bagaimana, bahkan dengan kicauan burung-burung dan dengung serangga yang
mengitari kepalaku dengan berisik, juga bunyi langkah kaki tikus yang
berkelebat menerobos semak belukar, hutan terkesan lebih menyeramkan hari ini;
membuatku teringat pada mimpi burukku yang terbaru.
Aku tahu itu hanya karena aku
sendirian, kehilangan siulan riang Jacob serta suara sepasang kaki lain
menginjak tanah yang lembab.
Perasaan gelisah itu semakin kuat saat aku semakin
dalam memasuki pepohonan. Aku mulai
susah bernapas—bukan karena
berkeringat, tapi karena aku mengalami kesulitan dengan lubang tolol di dadaku
lagi. Kudekap tubuhku dengan kedua tangan dan berusaha mengenyahkan kepedihan
itu dari pikiranku.
Nyaris saja aku berbalik, tapi
aku tak ingin menyia-nyiakan upaya yang telah kulakukan.
Ritme langkah-langkahku mulai
menumpulkan pikiran dan kepedihanku, sementara aku terus merangsek maju.
Napasku akhirnya mulai teratur, dan aku senang tak jadi pulang. Aku semakin
piawai menjelajah alam; aku tahu aku sekarang bisa berjalan lebih cepat.
Aku tidak tahu apakah aku jauh
lebih efisien sekarang. Kalau tidak salah, mungkin aku sudah berjalan enam
kilometer lebih, dan bahkan belum mulai mencari.
Kemudian, dengan ketiba-tibaan
yang membuatku kehilangan orientasi, aku melangkah melewati lengkingan pendek
yang terbentuk dari dua pohon maple merambat—
menerobos semak pakis setinggi dada—dan memasuki padang rumput.
Ini tempat yang sama, itu aku yakin benar. Belum pernah aku
melihat tempat terbuka lain yang begitu simetris. Bentuknya bulat sempurna,
seolah-olah ada orang yang dengan sengaja membuat lingkaran sempurna, mencabuti
pohonpohon tanpa meninggalkan jejak sedikit pun di rerumputan yang
melambai-lambai. Ke arah timur sayup-sayup aku mendengar suara mata air menggelegak.
Tempat ini tidak terlalu
memesona tanpa cahaya matahari, namun tetap sangat indah dan tenang. Sekarang
bukan musimnya bunga-bunga liar; permukaannya tertutup rumput tebal yang
mengayun tertiup angin sepoi-sepoi, bagaikan riak air di permukaan danau.
Ini tempat yang sama... tapi
aku tidak menemukan yang kucari-cari di sini.
Kekecewaan datang nyaris
seketika seperti saat
kesadaran itu datang. Aku
terhenyak ke tanah,
berlutut di pinggir padang terbuka, mulai
terengahengah.
Apa gunanya pergi lebih jauh lagi? Tak ada yang
tertinggal di sini. Tidak lebih dari kenangan yang bisa kupanggil kembali
setiap kali aku menginginkannya, asal aku rela menanggung kepedihan yang
menyertainya—kepedihan yang kurasakan sekarang, yang membuatku menggigil.
Tidak ada yang istimewa dengan tempat ini bila dia tak
ada. Aku tak yakin benar apa yang kuharap akan kurasakan di sini, tapi padang
rumput ini hampa oleh atmosfer, hampa oleh segalanya, sama seperti
tempat-tempat lain. Sama seperti mimpi burukku. Kepalaku berputar-putar, pusing
sekal. Setidaknya aku datang sendirian.
Aku merasakan serbuan perasaan syukur saat menyadari
hal itu. Kalau aku menemukan padang rumput ini bersama Jacob... Well, aku tak mungkin bisa menyamarkan
lubang tak berdasar tempatku jatuh sekarang. Bagaimana aku bisa menjelaskan
keadaanku yang hancur berkepingkeping, kondisiku yang meringkuk seperti bola
untuk menjaga agar lubang kosong itu tidak mencabik-cabik tubuhku? jauh lebih
baik bila tidak ada yang melihatku.
Dan aku juga tak perlu
menjelaskan pada siapa pun mengapa aku begitu tergesa-gesa meninggalkan tempat
ini. Jacob pasti akan berasumsi, setelah begitu bersusah-payah melacak
keberadaan tempat ini, bahwa aku ingin menghabiskan waktu lebih dari hanya
beberapa detik di sini.
Tapi sekarang pun aku sudah
berusaha mendapatkan kekuatan untuk bisa berdiri lagi. memaksa diriku bangkit
supaya bisa pergi dari sini. Terlalu banyak kepedihan yang harus ditanggung di
tempat kosong ini—kalau perlu aku bahkan tidak keberatan merangkak.
Untung saja aku sendirian!
Sendirian. Aku mengulangi kata itu dengan kepuasan muram sambil
memaksa diriku bangkit meski hatiku sakit sekali. Tepat saat itu sesosok tubuh
melangkah keluar dari sela-sela pepohonan di sebelah utara, kira-kira tiga
puluh langkah jauhnya.
Berbagai macam emosi berkecamuk dalam diriku detik
juga. Pertama adalah terkejut; aku berada jauh dari jalan setapak mana pun, dan
tidak mengira akan ada orang lain di sini.
Kemudian saat mataku terfokus pada sosok tak bergerak
itu, melihat tubuhnya yang bergeming dan kulitnya yang pucat, serbuan harapan
yang menyakitkan mengguncangku. Aku menekannya habis-habisan, berjuang melawan
sayatan pedih penderitaan saat mataku menjalar ke wajah di
bawah rambut yang hitam, bukan
wajah yang ingin kulihat. Berikutnya muncul rasa takut; ini bukan wajah yang
kutangisi, namun jaraknya cukup dekat hingga aku tahu cowok yang menghadap ke
arahku itu bukan hiker yang tersesat.
Kemudian, akhirnya, aku
mengenalinya.
"Laurent!" pekikku,
kaget bercampur senang. Respons yang tak masuk akal. Mungkin seharusnya aku
berhenti pada perasaan takut. Laurent adalah salah satu anggota kelompok James
saat kami pertama kali bertemu.
Ia tidak ikut dalam perburuan
yang terjadi kemudian— perburuan di mana akulah mangsanya—tapi itu hanya karena
ia takut; aku dilindungi kelompok lain yang lebih besar daripada kelompoknya.
Akan lain ceritanya kalau tidak begitu—saat itu ia tidak menyesal tidak
menjadikanku makanannya.
Tentu saja ia pasti sudah
berubah, karena ia pergi ke Alaska untuk tinggal bersama kelompok beradab lain,
keluarga lain yang juga menolak minum darah manusia demi alasan etis. Keluarga
lain seperti... tapi aku tidak membiarkan diriku memikirkan nama itu.
Ya, takut pasti lebih masuk akal, tapi yang kurasakan hanya
kepuasan berlebihan. Padang rumput ini kembali menjadi tempat magis. Magis yang
lebih gelap daripada yang kuharapkan, jelas, namun tetap magis. Inilah koneksi
yang kucari.
Bukti, walau bagaimanapun kecilnya, bahwa—di suatu tempat di
dunia yang sama dengan tempatku tinggal—dia
ada.
Penutup Novel Twilight (New Moon) – PADANG RUMPUT Bab 56
Gimana Novel twilight (New Moon) – Port PADANG RUMPUT Bab 56 ? keren kan ceritanya. Tentunya kamu penasaran apa yang akan
terjadi di bab berikutnya. Jangan khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan
baca bab berikutnya dengan mengklik tombol
navigasi bab di bawah ini.