Novel Twilight (New Moon), ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada orang
tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight (New Moon) Bab 55 yang dipersembahkan oleh Admin white novel. Semoga
bisa memberi hiburan, insipirasi dan solusi bagi setiap masalah yang kamu
hadapi.
Baca Novel Twilight – PADANG RUMPUT Bab 55
“Halo?”
“Oh. hai, cerita teleponnya
sudah berfungsi lagi! Hai, Billy. Ini Bella. Aku hanya ingin tahu kabar Jacob.
Apakah dia sudah bisa ditengok? Aku sedang berpikir-pikir untuk mampir–“
"Maafkan aku, Bella,” sela
Billy, dan aku bertanya-tanya apakah ia sedang nonton televisi; kedengarannya
perhatian Billy sedang tertuju pada hal lain.
"Dia tidak ada di
rumah."
"Oh." Butuh sedetik
untuk mencernanya.
"Kalau begitu dia sudah
sembuh?”
"Yeah," jawab Billy,
setelah sempat ragu-ragu sejenak.
"Ternyata bukan mono.
Hanya virus biasa.”
"Oh. Kalau begitu... ke
mana dia?"
"Dia pergi jalan-jalan bersama
teman-temannya ke Port Angeles—kalau tidak salah mau nonton film atau
sebangsa-nya. Dia pergi seharian."
"Well, aku lega mendengarnya. Aku khawatir sekali. Aku senang dia
cukup sehat untuk pergi jalan-jalan." Suaraku terdengar palsu sementara
aku mengoceh tidak keruan.
Jacob sudah sembuh, tapi tidak merasa perlu meneleponku. Ia pergi dengan
teman-temannya. Sementara aku duduk di rumah, merindukannya setiap jam. Aku
kesepian, cemas, bosan...
tercabikcabik
– dan sekarang kecewa karena
menyadari perpisahan kami selama seminggu ini ternyata tidak memiliki dampak
yang sama terhadapnya.
“Kau menginginkan
sesuatu?" Billy bertanya sopan.
“Tidak, tidak juga."
“Well, akan kusampaikan padanya kau menelepon,” Billy berjanji.
“Bye, Bella.”
“Bye,” sahutku,
tapi Billy sudah lebih dulu
menelepon telepon.
Sesaat aku hanya bisa mematung
dengan telepon masih di tangan.
Jacob pasti berubah pikiran,
seperti yang kutakutkan selama ini. Ia mengikuti saranku dan tidak
menyia-nyiakan waktunya untuk seseorang yang tidak bisa membalas perasaannya.
Aku merasa darah menyusut dari wajahku.
"Ada yang tidak
beres?" tanya Charlie sambil menuruni tangga.
"Tidak," dustaku,
meletakkan gagang telepon.
"Kata Billy, Jacob sudah
sehat. Dia tidak kena
mono. Syukurlah."
"Jadi dia mau datang ke sini, atau kau yang ke
sana?" tanya Charlie sambil lalu, mulai mengadukaduk isi lemari es.
"Tidak dua-duanya,"
aku mengakui.
"Dia pergi dengan
teman-temannya yang lain." Nada suaraku akhirnya menarik perhatian
Charlie. Ia mendongak menatapku dengan sikap mendadak kaget, tangannya membeku
memegangi sebungkus keju lembaran.
"Bukankah sekarang masih
terlalu pagi untuk makan siang?" tanyaku seringan mungkin, berusaha
mengalihkan pikiran.
"Tidak, aku hanya mau
membuat sesuatu untuk bekal ke sungai..."
"Oh, mau mancing hari
ini?"
"Well, Harry menelepon... dan hari tidak hujan." Charlie sibuk
menyiapkan setumpuk makanan di atas konter sembari bicara.
Tiba-tiba ia mengangkat
wajahnya lagi seolah-olah menyadari sesuatu. "Katakan, kau mau aku di
rumah saja menemanimu, berhubung Jake pergi?"
"Tidak apa-apa, Dad,"
kataku, berusaha memperdengarkan nada tak peduli.
"Ikan makan lebih lahap
bila cuaca cerah."
Charlie menatapku, wajahnya jelas bimbang. Aku tahu ia
khawatir, takut meninggalkan aku sendirian, kalau-kalau aku “bermuram durja”
lagi.
"Sungguh, Dad. Mungkin aku akan menelepon
Jessica,” dalihku buru-buru. Aku lebih suka sendirian daripada diawasi terus
seharian oleh Charlie.
"Kami harus belajar Kalkulus. Aku bisa meminta
bantuannya." Bagian itu benar. Tapi aku harus bisa sendiri tanpa meminta
bantuan Jessica.
"Ide bagus. Kau terlalu
banyak bermain dengan Jacob, teman-temanmu yang lain bakal mengira kau sudah
melupakan mereka." Aku tersenyum dan mengangguk, seolah-olah peduli
pendapat teman-temanku.
Charlie berbalik, tapi lalu
berputar lagi dengan ekspresi khawatir. "Hei, kau mau belajar di sini atau
di rumah Jess, kan?"
"Tentu, mau di mana
lagi?"
"Well, aku hanya ingin kau berhati-hati untuk tidak masuk ke hutan,
seperti yang sudah kukatakan padamu sebelumnya." Butuh semenit bagiku
untuk memahaminya, karena saat itu pikiranku sedang tertuju pada hal lain.
"Masalah dengan beruang
lagi?"
Charlie mengangguk, keningnya
berkerut.
"Ada hiker yang hilang—polisi hutan menemukan kemahnya tadi pagi, tapi
tidak ada tanda-tanda keberadaannya. Di sana ada jejak-jejak binatang besar...
tentu saja binatang itu bisa saja datang kemudian, karena mencium bau
makanan... Pokoknya, mereka sekarang sedang memasang jebakan untuk
menangkapnya."
“Oh,” ucapku sambil lalu. Aku tidak benar-benar
mendengarkan peringatannya; aku jauh lebih kalut memikirkan situasiku dengan
Jacob daripada kemungkinan menjadi mangsa beruang.
Aku senang Charlie terburu-buru. Ia tidak menungguku
menelepon Jessica, jadi aku tidak perlu bersandiwara. Aku menyibukkan diri
dengan
mengumpulkan semua buku
sekolahku di meja dapur untuk kumasukkan ke tas; mungkin itu terlalu
berlebihan, dan bila Charlie tidak begitu bersemangat pergi memancing, itu
pasti akan membuatnya curiga.
Aku begitu sibuk terlihat sibuk
hingga tidak menyadari betapa mengerikannya hari kosong yang membentang di
hadapanku sampai aku melihat Charlie meluncur pergi.
Hanya butuh kira-kira dua menit
memandangi telepon dapur yang diam seribu bahasa untuk memutuskan aku tidak mau
tinggal di rumah hari ini. Aku menimbang-nimbang beberapa pilihan.
Aku tidak akan menelepon
Jessica. Sepanjang pengamatanku, Jessica sudah menyeberang ke sisi gelap.
Aku bisa naik truk ke La Push
dan mengambil motorku— pikiran menarik, tapi masalahnya satu: siapa yang akan
mengantarku ke UGD kalau aku membutuhkannya nanti?
Atau... aku toh sudah punya peta dan kompas di trukku.
Aku yakin sudah cukup memahami prosesnya sehingga tidak akan tersesat. Mungkin
aku bisa mengeliminasi dua garis lagi hari ini, dengan begitu kami akan lebih
maju daripada jadwal bila nanti Jacob mau menemuiku lagi.
Aku menolak memikirkan kapan kira-kira itu akan
terjadi. Atau apakah itu takkan pernah terjadi lagi. Aku sempat merasakan
secercah perasaan bersalah saat menyadari bagaimana perasaan Charlie kalau tahu
aku mau ke hutan; tapi aku mengabaikannya. Pokoknya aku tidak bisa tinggal di
rumah lagi hari ini.
Beberapa menit kemudian aku sudah berada di jalan tanah yang
tidak mengarah ke tempat tertentu. Aku membuka semua jendela dan menyetir
secepat yang bisa dilakukan trukku, mencoba menikmati embusan angin yang
menerpa wajahku.
Hari berawan, tapi nyaris kering – hari yang cerah untuk
ukuran Forks. Untuk memulai dibutuhkan waktu yang lebih lama daripada bila per*
bersama Jacob. Setelah memarkir truk di tempat biasa, aku harus menghabiskan
waktu tak kurang dari lima belas menit untuk mempelajari jarum kecil di
permukaan kompas serta tanda-tanda di peta yang sekarang sudah lecek itu.
Setelah yakin mengikuti jalur yang benar, aku mulai berjalan memasuki hutan.
Penutup Novel Twilight (New Moon) – PADANG RUMPUT Bab 55
Gimana Novel twilight (New Moon) – Port PADANG RUMPUT Bab 55 ? keren kan ceritanya. Tentunya kamu penasaran apa yang akan
terjadi di bab berikutnya. Jangan khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan
baca bab berikutnya dengan mengklik tombol
navigasi bab di bawah ini.
0 comments: