Novel Twilight (New Moon), ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada orang
tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight (New Moon) Bab 52 yang dipersembahkan oleh Admin white novel. Semoga
bisa memberi hiburan, insipirasi dan solusi bagi setiap masalah yang kamu
hadapi.
Baca Novel Twilight – KAMBING CONGEK Bab 52
"Bekas luka ini
dingin," gumamnya, menekan pelan tempat James dulu melukaiku dengan giginya.
Kemudian Mike tersaruk saruk
keluar dari toilet, wajahnya kelabu dan berkeringat. Ia tampak kepayahan.
“Oh, Mike," aku kaget.
“Keberatan tidak kalau kita
pulang lebih cepat?" bisiknya.
"Tidak, tentu saja tidak.”
Kutarik tanganku dan berdiri untuk membantu Mike berjalan. Ia tampak limbung.
“Filmnya terlalu sadis untukmu?" tanya Jacob
tanpa perasaan.
Pelototan Mike garang sekali.
"Aku bahkan tidak sempat melihatnya," gumamnya.
"Aku sudah mual sejak
sebelum lampu-lampu dimatikan."
“Kenapa kau diam saja?"
kumarahi dia sementara kami berjalan sempoyongan menuju pintu keluar.
“Aku berharap nanti akan hilang
sendiri," jawab Mike.
"Tunggu sebentar,"
kata Jacob sesampainya kami di pintu. Ia cepat-cepat berjalan kembali ke kios
makanan.
"Boleh minta wadah popcorn
kosong?" tanyanya pada cewek penjaga kios. Cewek itu memandang Mike satu
kali, lalu langsung menyodorkan wadah kosong pada Jacob.
“Bawa dia keluar, please," pinta si penjaga kios.
Jelas, cewek itulah yang
kebagian tugas mengepel. Kuseret Mike ke udara luar yang dingin dan basah. Ia
menghela napas dalam-dalam. Jacob berjalan tepat di belakang kami. Ia
membantuku menaikkan Mike ke kursi belakang, lalu menyodorkan wadah itu padanya
dengan mimik serius.
"Please,” hanya itu yang Jacob katakan. Kami
membuka semua jendela, supaya udara malam yang dingin berembus masuk, berharap
itu bisa membantu Mike merasa lebih sehat. Aku memeluk kedua kakiku dengan
kedua tangan agar tetap hangat.
"Kedinginan lagi?"
tanya Jacob, merangkul pundakku sebelum aku sempat menjawab.
"Kau tidak?"
Jacob menggeleng.
"Kau pasti demam atau
sebangsanya," gerutuku. Aku sendiri membeku kedinginan. Kusentuh keningnya
dengan jari-jariku, dan kepalanya memang panas.
"Astaga, Jake—badanmu
panas sekali!"
"Aku merasa baik-baik
saja." Ia mengangkat bahu.
"Sehat walafiat."
Aku mengerutkan kening dan
menyentuh kepalanya lagi. Kulitnya membara di bawah jarijariku.
"Tanganmu sedingin
es," protes Jacob.
"Mungkin memang aku yang
kedinginan," aku mengalah.
Mike mengerang di kursi
belakang, lalu muntah ke dalam wadah. Aku meringis, berharap perutku tahan
mendengar dan mencium baunya. Jacob menoleh cemas untuk memastikan mobilnya
tidak terkena muntahan.
Jarak terasa semakin panjang
dalam perjalanan pulang.
Jacob diam, merenung. Ia membiarkan lengannya tetap
melingkari pundakku, dan rasanya begitu hangat hingga angin dingin terasa
nyaman. Aku memandang ke luar kaca depan, hatiku diliputi perasaan bersalah.
Seharusnya aku tidak memberi
harapan pada Jacob. Itu kulakukan murni karena egois. Tak peduli aku sudah
berusaha memperjelas posisiku. Kalau ia merasa masih ada harapan, meskipun
sedikit, untuk mengubah hubungan ini menjadi lebih dari sekadar persahabatan,
itu berarti aku masih kurang jelas dalam memberinya penjelasan.
Bagaimana caraku menjelaskan
supaya ia mengerti? Aku ini cangkang kosong. Ibarat rumah tak
berpenghuni—ditinggalkan— selama berbulanbulan aku tak bisa didiami. Sekarang
aku sedikit lebih baik. Ruang depan sudah diperbaiki. Tapi hanya itu—hanya satu
ruang kecil.
Padahal Jacob pantas mendapatkan
lebih baik daripada itu—lebih baik daripada sekadar satu ruangan yang sudah
nyaris ambruk dan kemudian dibetulkan. Sebanyak apa pun yang ia lakukan tidak
akan bisa membuatku berfungsi kembali.
Namun aku tahu aku takkan mau menjauhinya, bagaimanapun
juga. Aku terlalu membutuhkannya, dan aku egois.
Mungkin aku bisa lebih memperjelas sisiku, supaya ia
mau meninggalkan aku. Pikiran itu membuatku bergidik, dan Jacob mempererat
rangkulannya. Aku mengantar Mike pulang dengan Suburbannya, sementara Jacob
mengikuti di belakang untuk mengantarku pulang.
Jacob lebih banyak diam sepanjang perjalanan menuju
rumahku, dan aku bertanya-tanya dalam hati apakah ia memikirkan hal-hal yang
sama seperti yang kupikirkan. Mungkin saja ia berubah pikiran.
“Sebenarnya aku ingin mampir,
karena kita pulang lebih cepat," kata Jacob sambil menghentikan mobilnya
di samping trukku.
"Tapi kurasa kau benar
bahwa aku demam. Aku mulai merasa sedikit... aneh."
"Oh tidak, jangan sampai
kau sakit juga! Kau mau aku mengantarmu pulang?"
"Tidak" Jacob
menggeleng, alisnya bertaut.
“Aku belum merasa sakit.
Hanya... tidak enak badan. Kalau terpaksa sekali, aku akan berhenti di pinggir
jalan."
"Maukah kau meneleponku
begitu sampai di rumah?" tanyaku cemas.
"Tentu, tentu." Jacob
mengerutkan kening, memandang lurus ke kegelapan, dan menggigit bibir.
Kubuka pintu untuk turun, tapi
Jacob meraih pergelangan tanganku dengan lembut dan memeganginya. Aku kembali
merasakan betapa panas kulitnya bersentuhan dengan kulitku. "Ada apa, Jake?"
tanyaku.
"Ada sesuatu yang ingin
kukatakan padamu, Bella... tapi kurasa ini akan terdengar gombal." Aku
mendesah. Ini pasti kelanjutan pembicaraan di teater tadi.
"Silakan."
"Begini, aku tahu kau sering merasa tidak
bahagia. Dan mungkin ini tidak membantu apaapa, tapi aku ingin kau tahu aku
akan selalu mendampingimu. Aku tidak akan mengecewakanmu—aku berjanji kau akan
selalu bisa mengandalkan aku. Wow, kedengarannya benar-benar gombal. Tapi kau
tahu itu, kan? Bahwa aku tidak akan pernah, tidak sekali pun,
menyakitimu?"
"Yeah, Jake. Aku tahu itu.
Dan aku memang sudah mengandalkanmu, mungkin lebih daripada yang kau
tahu."
Senyum merekah di wajahnya,
seperti matahari terbit merekah merah di awan-awan, dan aku ingin memotong
lidahku sendiri. Semua yang kukatakan memang benar, tapi seharusnya aku
berbohong. Mengatakan hal sebenarnya adalah salah, itu hanya akan menyakiti
hatinya. Aku akan mengecewakannya.
Mimik aneh melintas di
wajahnya. "Kurasa aku benar-benar harus pulang sekarang," katanya.
Aku cepat-cepat turun.
"Telepon aku!" teriakku begitu ia beranjak pergi.
Kupandangi mobilnya berlalu, dan sepertinya ia masih bisa mengemudikan mobilnya
dengan baik, paling tidak.
Kupandangi jalanan yang kosong setelah mobilnya lenyap,
perasaanku juga sedikit tidak enak, tapi bukan karena alasan fisik. Kalau saja
Jacob Black terlahir sebagai saudara lelakiku, saudara laki-laki kandung,
sehingga aku memiliki hak hukum atas dirinya yang membuatku bebas dari perasaan
bersalah.
Tuhan tahu aku tidak pernah berniat memanfaatkan Jacob, tapi
perasaan bersalah yang kurasakan saat ini mau tak mau membuatku berpikir bahwa
jangan-jangan memang itulah yang kulakukan.
Penutup Novel Twilight (New Moon) – KAMBING CONGEK Bab 52
Gimana Novel twilight (New Moon) – Port KAMBING CONGEK Bab 52 ? keren kan ceritanya. Tentunya kamu penasaran apa yang akan
terjadi di bab berikutnya. Jangan khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan
baca bab berikutnya dengan mengklik tombol
navigasi bab di bawah ini.