Novel Twilight (New Moon), ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada orang
tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight (New Moon) Bab 51 yang dipersembahkan oleh Admin white novel. Semoga
bisa memberi hiburan, insipirasi dan solusi bagi setiap masalah yang kamu
hadapi.
Baca Novel Twilight – KAMBING CONGEK Bab 51
Sesudah itu aku benar-benar menonton filmnya, tertawa
bersamanya saat adegannya makin lama makin konyol. Bagaimana aku bisa melawan
garis batas dalam hubungan kami yang makin lama makin kabur ini kalau aku
sangat menikmati kebersamaanku dengannya? Baik Jacob maupun Mike sama-sama
menumpangkan lengannya di lengan kursiku, satu di kiri, satu di kanan.
Tangan mereka sama-sama ditumpangkan dengan sikap
santai, telapak tangan menghadap ke atas, dalam posisi yang kelihatannya tidak
natural. Seperti jebakan beruang dari baja, terbuka dan siap menjerat mangsa.
Jacob punya kebiasaan meraih tanganku setiap kali ada kesempatan, tapi di sini, di dalam bioskop yang gelap, dengan Mike melihat, hal itu bisa diartikan berbeda—dan aku yakin ia tahu itu. Aku tidak percaya Mike memikirkan hal yang sama, tapi tangannya melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Jacob.
Kulipat kedua tanganku
erat-erat di dada dan berharap tangan mereka akan berhenti beraksi. Mike-lah
yang pertama menyerah. Ketika film sudah berjalan kira-kira setengahnya, ia
menarik lengannya dan nun condongkan tubuh ke depan, memegang kepalanya dengan
tangan.
Mulanya kukira ia bereaksi pada
sesuatu yang ada di layat, tapi kemudian ia mengerang.
"Mike, kau tidak apa
apa?" bisikku.
Pasangan di depan kami menoleh
dan memandangi Mike waktu ia mengerang lagi.
“Tidak,” jawabnya terengah.
“Sepertinya aku sakit."
Aku bisa melihat kilauan
keringat di wajahnya dengan bantuan cahaya dari layar. Mike mengerang lagi,
lalu bangkit dan menghambur ke pintu. Aku berdiri untuk mengikutinya, dan Jacob
langsung meniruku.
“Kau tidak perlu ikut. Jangan
biarkan delapan dolarmu terbuang sia-sia," desakku saat berjalan menyusuri
gang di tengah deretan kursi bioskop.
"Tidak apa-apa. Kau
benar-benar jago memilih film, Bella. Filmnya konvol banget,” Suara Jacob
berubah dari berbisik menjadi normal, begitu kami keluar dari teater.
Tidak tampak tanda-tanda Mike di ruang tunggu, dan aku
senang Jacob tadi memutuskan keluar bersamaku—ia bisa menyelinap ke toilet
cowok untuk mengecek keberadaan Mike di sana.
Beberapa detik kemudian, Jacob
kembali.
“Oh, memang benar dia ada di
sana," katanya, memutar bola matanya.
"Dasar lembek. Seharusnya
kau mengajak orang yang perutnya lebih kuat. Orang yang tertawa kalau melihat
darah membuat cowok lembek muntah."
"Akan kubuka mataku
lebar-lebar, kalau-kalau ada orang seperti itu."
Kami hanya berdua di ruang
tunggu. Kedua teater sedang memutar film, jadi ruang tunggu kosong
melompong—cukup sunyi sehingga kami bisa mendengar bunyi berondong jagung
meletupletup di kios makanan di lobi.
Jacob duduk di bangku berlapis
beledu yang menempel di dinding, menepuk-nepuk tempat kosong di sebelahnya.
"Kedengarannya dia bakal
lama di dalam sana," katanya, menjulurkan kakinya yang panjang,
bersiap-siap menunggu.
Sambil mendesah aku ikut duduk
bersamanya. Tampaknya Jacob berpikir untuk mengaburkan garis batas di antara
kami lagi. Benar saja, begitu aku duduk, ia membuat gerakan untuk merangkul
pundakku.
"Jake," protesku, berkelit. Jacob menurunkan
tangannya, tidak tampak tersinggung oleh penolakanku tadi. Ia mengulurkan
tangan dan dengan mantap meraih tanganku, menarik pinggangku waktu aku berusaha
berkelit lagi. Dari mana ia memperoleh kepercayaan dirinya itu?
"Tunggu sebentar, Bella," katanya, suaranya
tenang.
"Jawab dulu pertanyaanku." Aku meringis. Aku
tidak ingin melakukan ini. Tidak sekarang, tidak nanti. Tidak ada hal lain yang
tersisa dalam hidupku saat ini yang lebih penting daripada Jacob Black. Tapi
sepertinya ia bertekad ingin mengacaukan semuanya.
"Apa?" gerutuku
masam.
"Kau suka padaku,
kan?"
"Kau tahu aku suka padamu."
"Lebih daripada badut yang
sedang muntahmuntah di dalam sana itu, kan?" Jacob menuding pintu toilet.
"Ya," aku mendesah.
"Lebih daripada
cowok-cowok yang kaukcnal?" Sikapnya kalem, tenang—seolah-olah jawabanku
tidak penting, atau ia sudah tahu jawabannya.
"Lebih daripada
cewek-cewek juga," jawabku.
"Tapi hanya itu,"
katanya, dan itu bukan pertanyaan.
Sulit sekali menjawabnya, sulit
mengucapkan kata itu. Apakah ia bakal sakit hati dan menghindariku? Bagaimana
aku bisa kuat menghadapinya?
"Ya," bisikku.
Jacob nyengir. "Itu tidak apa-apa, tahu. Asalkan
kau paling suka padaku. Dan kau menganggapku ganteng—kayaknya Aku siap menjadi
orang yang gigih dan menjengkelkan."
"Perasaanku tidak akan
berubah,” kataku, dan meski berusaha agar suaraku tetap normal, aku bisa
mendengar nada sedih di dalamnya. Ekspresinya seperti berpikir, tak lagi
menggoda.
"Pasti masih karena yang
satu itu, kan?" Aku meringis.
Lucu juga bagaimana ia seolah
tahu untuk tidak mengucapkan namanya—seperti sebelumnya di mobil mengenai
musik. Jacob menangkap banyak hal tentang aku tanpa aku perlu menjelaskannya.
"Kau tidak perlu
membicarakannya," kata Jacob.
Aku mengangguk, bersyukur.
"Tapi jangan marah padaku
kalau aku mendekatimu terus, oke?" Jacob menepuk-nepuk punggung tanganku.
"Karena aku tidak mau
menyerah. Aku masih punya banyak waktu."
Aku mendesah.
"Seharusnya kau tidak
menyianyiakannya untukku," kataku, meski aku menginginkannya.
Apalagi karena ia mau
menerimaku dalam keadaanku yang seperti ini— barang rusak, apa adanya.
"Aku memang ingin
melakukannya, selama kau masih suka bersamaku."
"Aku tidak bisa membayangkan aku tidak suka bersamamu,” ungkapku jujur.
Jacob berseri-seri. "Itu
sudah cukup buatku."
"Hanya saja jangan
berharap lebih," aku mengingatkan, mencoba menarik tanganku.
Jacob terus memeganginya dengan
gigih.
"Ini tidak membuatmu
rikuh, kan?" tanyanya, meremas jari-jariku.
"Tidak," desahku.
Sejujurnya, rasanya menyenangkan. Tangannya jauh lebih hangat daripada
tanganku; aku selalu merasa kedinginan belakangan ini.
"Dan kau tidak peduli pada
apa yang dia pikirkan." Jacob menyentakkan ibu jarinya ke arah toilet.
"Kurasa tidak."
"Kalau begitu apa
masalahnya?"
"Masalahnya," ujarku,
"karena ini artinya berbeda
bagiku dan bagimu."
"Well," Jacob mempererat genggamannya.
"Itu masalahku, kan?"
"Terserahlah,"
gerutuku.
"Jangan lupa, tapi."
"Aku tidak akan lupa.
Pin-nya sudah dilepaskan dari granatnya, sekarang, he?" Ia menohokkan
jarinya ke rusukku.
Aku memutar bola mata. Kurasa
kalau ia ingin menjadikan masalah ini sebagai lelucon, itu haknya.
Jacob berdecak pelan sebentar
waktu jari manisnya menelusuri bekas luka di sisi tanganku.
"Lucu juga bekas lukamu di
sini ini," katanya tiba-tiba, memuntir tanganku untuk mengamatinya.
"Bagaimana kejadiannya?”
Telunjuk tangannya yang satu lagi menyusuri tepian bekas luka panjang berbentuk
bulan sabit keperakan yang nyaris tak terlihat di kulitku yang pucat.
Aku merengut.
"Masa aku harus mengingat
dari mana saja semua bekas lukaku berasal?" Aku menunggu kenangan itu
menghantamku— membuka lubang yang menganga.
Tapi seperti yang sudah sering
kali terjadi, kehadiran Jacob menjagaku tetap utuh.
Penutup Novel Twilight (New Moon) – KAMBING CONGEK Bab 51
Gimana Novel twilight (New Moon) – Port KAMBING CONGEK Bab 51 ? keren kan ceritanya. Tentunya kamu penasaran apa yang akan
terjadi di bab berikutnya. Jangan khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan
baca bab berikutnya dengan mengklik tombol
navigasi bab di bawah ini.
0 comments: