Novel Twilight (New Moon), ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada orang
tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight (New Moon) Bab 46 yang dipersembahkan oleh Admin white novel. Semoga
bisa memberi hiburan, insipirasi dan solusi bagi setiap masalah yang kamu
hadapi.
Baca Novel Twilight – ADRENALIN Bab 46
Jacob membiarkan mesin tetap
menyala sementara ia berlari mendapatiku, melingkarkan lengannya lagi ke
pinggangku. "Oke, ayo kunaikkan kau ke truk."
"Sungguh, aku tidak
apa-apa," aku meyakinkan Jacob sementara ia membantuku naik.
"Jangan panik begitu.
Darahnya hanya sedikit kok."
"Sedikit bagaimana, ini
banyak sekali,” kudengar Jacob menggerutu waktu ia lari mengambil sepeda
motorku.
"Sekarang, mari kita
pikirkan dulu masalah ini sebentar, kataku setelah Jacob naik lagi ke mobil.
"Kalau kau membawaku ke UGD seperti ini, Charlie pasti akan tahu nanti.
Kulirik tanah dan lumpur yang mengering di jinsku.”
"Bella, kurasa lukamu
perlu dijahit. Aku tidak akan membiarkanmu mati kehabisan darah.”
“Itu, tidak akan terjadi,” aku
meyakinkannya.
“Kita antar saja dulu motornya,
kemudian mampir ke rumahku supaya aku bisa menghilangkan semua bukti dan baru
kemudian ke rumah sakit.”
"Bagaimana dengan
Charlie?“
"Katanya tadi dia harus
kerja."
“Kau yajin?”
“Percakah padaku. Aku ini gampang berdarah. Ini tidak
separah kelihatannya kok."
Jacob tidak senang
mendengarnya—sudut-sudut mulutnya tertekuk ke bawah—tapi ia tidak ingin
menyusahkanku. Aku memandang ke luar jendela, menempelkan kaus Jacob yang
berlepotan darah ke kepala, sementara ia membawa trukku menuju Forks.
Sepeda motor itu jauh lebih
baik daripada yang kubayangkan. Tujuan sesungguhnya tercapai. Aku sudah berbuat
curang—melanggar janjiku. Aku melakukan kecerobohan yang tidak perlu. Sekarang
aku tak lagi merasa terlalu merana karena kedua pihak sudah sama-sama ingkar
janji.
Dan, menemukan kunci ke
halusinasi! Setidaknya, begitulah yang kuharapkan. Aku akan menguji teori itu
sesegera mungkin. Mungkin mereka bisa menanganiku dengan cepat di UGD, jadi aku
bisa mencobanya lagi nanti malam. Ngebut di jalan seperti tadi rasanya luar
biasa.
Terpaan angin menampar wajahku, cepatnya motor melaju
dan kebebasan yang kurasakan... mengingatkanku pada kehidupan masa laluku,
terbang menembus hutan lebat tanpa berjalan, menaiki punggungnya sementara ia
berlari – pikiranku berhenti sampai di situ, membiarkan ingatanku terputus
begitu saja karena mendadak hatiku miris. Aku meringis.
“Kau masih baik-baik?” tanya Jacob.
"Yeah." Aku berusaha tetap memperdengarkan
nada tegar seperti sebelumnya.
"Omong-omong," imbuh Jacob.
"Aku akan mencopot kabel rem kakimu malam
ini."
Di rumah, yang pertama
kulakukan adalah menyempatkan diri melihat keadaanku di cermin; benar-benar
mengerikan. Darah mengering dalam bentuk aliran tebal di sepanjang pipi dan
leherku, menempel di rambutku yang berlumpur.
Kuamati diriku dari sisi
klinis, berpura-pura darah itu cat supaya tidak mual. Aku bernapas lewat mulut,
dan tidak merasa ingin muntah. Aku mencuci muka sebisaku. Lalu kusembunyikan
pakaian kotorku yang berlepotan darah di bagian bawah keranjang cucian, lalu
memakai jins baru dan kemeja (jadi tidak perlu memakainya lewat kepala)
sehati-hati mungkin. Aku berhasil melakukannya dengan satu tangan dan menjaga
pakaianku tidak terkena noda darah.
"Cepatlah," seru
Jacob.
"Oke, oke," aku balas
berteriak. Setelah memastikan tidak meninggalkan bukti-bukti memberatkan, aku
turun ke lantai bawah.
"Bagaimana
kelihatannya?" tanyaku.
"Lebih baik," ia
mengakui.
"Tapi apakah aku terlihat
seperti tersandung di garasimu dan kepalaku membentur palu?"
"Ya, kurasa begitu."
"Baiklah kalau begitu, kita berangkat."
Jacob bergegas menggiringku keluar, dan bersikeras menyetir lagi. Kami sudah
setengah jalan menuju rumah sakit waktu aku sadar ia masih tidak memakai baju.
Aku mengurutkan kening dengan
perasaan bersalah. "Seharusnya tadi kita mengambil jaket untukmu.”
"Nanti sandiwara kita
terbongkar dong,” goda Jacob.
"Lagi pula, udara tidak
dingin kok."
"Kau bercanda, ya?” Aku
gemetar, tanganku terulur untuk menyalakan pemanas. Kupandangi Jacob untuk
melihat apakah ia sengaja berlagak gagah supaya aku tidak khawatir, tapi
kelihatannya ia cukup nyaman. Sebelah tangannya bertengger di bagian belakang
kursiku, sementara aku justru meringkuk supaya tetap hangat.
Jacob benar-benar terlihat lebih tua daripada enam belas tahun—bukan empat
puluh, tapi mungkin lebih tua dariku. Quil saja masih kalah berotot
dibandingkan dia, padahal Jacob menganggap dirinya kurus seperti tengkorak.
Ototototnya panjang dan liat,
tapi jelas kelihatan di balik kulitnya yang mulus. Warna kulitnya cantik
sekali, membuatku iri saja.
Jacob sadar sedang diamati.
"Apa?" tanyanya,
mendadak canggung.
"Tidak apa-apa. Hanya saja
aku tidak menyadarinya sebelum ini. Tahukah kau bahwa kau lumayan tampan?"
Begitu kata-kata itu terlontar,
aku khawatir ia akan salah menerima observasi impulsifku itu. Tapi Jacob hanya
memutar bola matanya.
"Kepalamu terbentur keras sekali, ya?"
"Aku serius."
"Well,
kalau begitu, trims. Kayaknya." Aku nyengir.
"Sama-sama. Kayaknya."
Aku mendapat tujuh jahitan
untuk menutup luka di keningku. Setelah merasa perih karena mendapat anestesi
lokal, prosedurnya sendiri tidak sakit.
Jacob memegangi tanganku
sementara dr. Snow menjahit, dan aku berusaha untuk tidak memikirkan betapa
ironisnya itu.
Kami lama sekali di rumah
sakit. Setelah selesai, aku harus mengantar Jacob ke rumahnya dan buru-buru
pulang untuk memasak makan malam untuk Charlie. Charlie sepertinya memercayai
ceritaku bahwa aku jatuh di garasi Jacob. Bagaimanapun, bukan baru kali ini aku
pergi sendiri ke UGD.
Malam itu tidak seburuk malam pertama itu, setelah aku
mendengar suaranya yang sempurna di Port Angeles. Lubang itu kembali menganga,
seperti yang selalu terjadi setiap kali aku jauh dari Jacob, tapi bagian
pinggirnya tak lagi berdenyutdenyut nyeri.
Aku selalu menyusun rencana ke depan, menanti-nanti datangnya
delusi lagi, dan itu mengalihkan perhatianku. Juga, aku tahu perasaanku akan
lebih enak besok, saat bertemu lagi dengan Jacob.
Itu membuat lubang hampa dan kepedihan yang familier itu lebih
mudah ditanggung; sebentar lagi kelegaan akan kudapat. Mimpi buruk juga
kehilangan sedikit potensinya.
Penutup Novel Twilight (New Moon) – ADRENALIN Bab 46
Gimana Novel twilight (New Moon) – Port ADRENALIN Bab
46 ? keren kan ceritanya. Tentunya kamu penasaran apa yang akan terjadi di bab
berikutnya. Jangan khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan baca bab
berikutnya dengan mengklik tombol navigasi bab di bawah ini.
0 comments: