Novel Twilight (New Moon), ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada orang
tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight (New Moon) Bab 45 yang dipersembahkan oleh Admin white novel. Semoga
bisa memberi hiburan, insipirasi dan solusi bagi setiap masalah yang kamu
hadapi.
Baca Novel Twilight – ADRENALIN Bab 45
Kali ini aku mencoba mengengkol
sendiri. Sulit sekali; aku harus meloncat sedikit agar bisa menginjak pedal
sekuat tenaga, dan setiap kali melakukannya, sepeda motor itu seperti mencoba
menjatuhkanku. Tangan Jacob menggelayut di atas setang, siap menangkapku kalau
aku membutuhkannya.
Setelah beberapa kali mencoba
dengan benar, bahkan ditambah dengan beberapa kali percobaan yang kurang tepat,
baru mesinnya menyala dan meraung hidup di bawahku. Ingat bahwa ibaratnya aku
sedang memegang granat, aku bereksperimen dengan memutar-mutar handel gas.
Mesin langsung menggeram begitu handel gas diputar sedikit saja. Senyumku kini
sama lebarnya dengan senyum Jacob.
"Hati-hati melepas
koplingnya," Jacob mengingatkanku.
"Kau ingin bunuh diri,
kalau begini? Jadi itu ya tujuannya?" suara itu berbicara lagi, nadanya
galak.
Aku tersenyum kaku—masih
berfungsi ternyata—dan mengabaikan pertanyaan itu. Jacob tidak akan membiarkan
hal buruk menimpaku.
"Pulanglah ke
Charlie," suara itu memerintahkan. Keindahannya membuatku terpesona.
Aku tak sanggup membiarkan
ingatanku kehilangan suara itu, tak peduli berapa pun harga yang harus kubayar.
"Lepaskan
pelan-pelan," Jacob menyemangatiku.
"Baiklah," jawabku.
Aku agak resah waktu menyadari perkataanku itu menjawab pertanyaan mereka
berdua.
Suara di kepalaku lagi-lagi
menggeram mengatasi raungan mesin motor.
Berusaha fokus kali ini, tidak
membiarkan suara itu mengagetkanku lagi, aku melepaskan cengkeramanku sedikit
demi sedikit. Tahu-tahu giginya masuk dan motor menyentak maju. Dan aku pun
terbang.
Terpaan angin kencang yang tadi
tidak ada meniup kulitku hingga melekat erat di tengkorak dan menerbangkan
rambutku ke belakang dengan kekuatan sangat besar, seolah-olah ada yang
menjambaknya.
Perasaan mulas yang kurasakan
tadi sebelum melaju lenyap sudah; adrenalin menderas di sekujur tubuh,
menggelitik urat-urat nadiku. Pohon-pohon lewat cepat di sebelahku, kabur
menjadi dinding hijau.
Tapi ini baru gigi satu. Kakiku beringsut-ingsut maju
mendekati gigi sementara tanganku memutar setang untuk menambah gas.
"Tidak, Bella!" suara
semanis madu itu memerintahkan dengan nada marah, tepat di telingaku.
"Hati-hati!"
Pikiranku sempat teralih
sejenak dari kecepatan untuk menyadari bahwa jalanan ternyata mulai menikung
pelan ke kiri, tapi aku masih tetap melaju lurus. Jacob belum mengajariku
caranya membelok.
"Rem, rem," aku
bergumam sendiri, dan secara naluri menginjak rem keras-keras dengan kaki
kanan, seperti yang biasa kulakukan saat menyetir mobil.
Motor mendadak goyah di bawahku, pertama bergetar ke
satu sisi dan baru kemudian ke sisi lain. Motor itu menyeretku ke arah dinding
hijau, padahal kecepatanku kelewat tinggi. Aku berusaha membelokkan setang ke
arah berlawanan, dan mendadak bobotku mendorong motor ke tanah, masih terus
tergelincir ke arah pepohonan.
Sepeda motor itu kembali mendarat di atas tubuhku,
meraung nyaring, menarikku melintasi pasir basah hingga membentur sesuatu yang
tidak bergerak. Aku tak bisa melihat. Wajahku tersungkur ke dalam lumut.
Aku mencoba mengangkat kepala, tapi sesuatu
menghalangiku. Aku pusing dan bingung. Kedengarannya ada tiga hal yang
menggeram—motor di atasku, suara di kepalaku, dan sesuatu yang lain...
"Bella!" Jacob berteriak, dan aku mendengar geraman motor lain
berhenti
Motor itu tak lagi mengimpitku
ke tanah, dan aku berguling untuk bernapas. Semua geraman itu diam.
"Wow," gumamku. Aku
merasa sangat bergairah. Beginilah pasti resep jitu untuk halusinasiadrenalin
ditambah bahaya ditambah perbuatan tolol. Sesuatu yang mendekati itu, paling
tidak.
"Bella!" Jacob
membungkuk cemas di atasku.
“Bella, kau masih hidup?"
"Aku baik-baik saja!”
seruku antusias. Aku meregangkan otot-otot lengan dan kakiku. Kelihatannya
semua masih berfungsi dengan baik.
Ayo kita lakukan lagi."
"Kurasa jangan."
Jacob masih terdengar waswas. "Kurasa sebaiknya kuantar kau ke rumah sakit
dulu.”
"Aku baik-baik saja."
“Ehm, Bella? Di dahimu ada luka
robek yang besar sekali, dan darahmu mengucur deras." Jacob memberitahuku.
Aku meletakkan tangan di kepala. Benar saja, tanganku
jadi basah dan lengket. Aku tidak mencium bau apa-apa kecuali lumut lembab di
wajahku, dan itu mencegah datangnya mual.
"Oh, maafkan aku, Jacob." Kutekan luka itu
kuat-kuat, seolah-olah dengan begitu aku bisa memaksa darah masuk kembali ke
kepalaku. "Untuk apa kau meminta maaf karena berdarah?" tanya Jacob
sambil memeluk pinggangku dan membantuku berdiri.
"Ayo kita pergi. Aku yang menyetir." Ia
mengulurkan tangan, meminta kunci.
"Sepeda-sepeda motornya
bagaimana?" tanyaku sambil menyerahkan kunci.
Jacob berpikir sebentar.
"Tunggu di sini. Dan ambil
ini." Jacob membuka kausnya yang sudah ternoda darah, lalu melemparnya ke
arahku. Kubuat kaus itu menjadi buntalan dan kutempelkan ke dahiku.
Aku mulai mencium baru darah;
aku menarik napas dalam-dalam lewat mulut dan mencoba berkonsentrasi pada hal
lain. Jacob melompat kembali menaiki sepeda motor hitam, menyalakan mesinnya
dengan hanya sekali mengengkol, lalu langsung ngebut, menghamburkan pasir dan
kerikil-kerikil kecil di belakangnya.
Ia tampak atletis dan
profesional saat membungkuk ke depan di atas setang, kepala merunduk, wajah
maju, rambut mengilat berkibarkibar menerpa kulit punggungnya yang cokelat
kemerahan. Mataku menyipit iri. Aku yakin tidak terlihat seperti itu saat
mengendarai motor.
Kaget juga aku menyadari betapa
jauhnya aku mengendarai motorku. Aku nyaris tak bisa melihat Jacob di kejauhan
waktu ia akhirnya sampai ke trukku. Ia melemparkan sepeda motor ke bak truk dan
berlari ke sisi kemudi.
Aku benar-benar tidak keberatan waktu Jacob memacu
trukku hingga suara mesinnya meraung memekakkan telinga. Kepalaku sedikit
pusing, perutku mual, tapi lukaku tidak serius. Darah yang keluar dari luka
kepala memang cenderung lebih banyak. Jacob sebenarnya tak perlu sepanik itu.
Penutup Novel Twilight (New Moon) – ADRENALIN Bab 45
Gimana Novel twilight (New Moon) – Port ADRENALIN Bab
45 ? keren kan ceritanya. Tentunya kamu penasaran apa yang akan terjadi di bab
berikutnya. Jangan khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan baca bab
berikutnya dengan mengklik tombol navigasi bab di bawah ini.
0 comments: