Novel Twilight (New Moon), ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada orang
tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight (New Moon) Bab 136 yang dipersembahkan oleh Admin white novel. Semoga
bisa memberi hiburan, insipirasi dan solusi bagi setiap masalah yang kamu
hadapi.
Baca Novel Twilight – EPILOG—KESEPAKATAN Bab 136
"Aku akan berusaha... sekuat tenaga... untuk
tidak melakukannya," kata Edward akhirnya.
Kutatap ia
dengan mulut ternganga lebar, tapi Edward tetap memandang lurus ke depan. Kami
berhenti sebentar di depan tanda stop di pojok jalan.
Mendadak, aku ingat apa yang
terjadi pada Paris ketika Romeo kembali. Pengarahan adegannya sederhana: Mereka
bertarung. Paris kalah. Tapi ini konyol. Mustahil.
"Well" ujarku, menarik napas dalam-dalam, menggeleng untuk
mengenyahkan kata-kata itu dari benakku.
"Hal seperti itu takkan
pernah terjadi, jadi tidak ada alasan untuk mengkhawatirkannya. Dan kau tahu
Charlie sedang memelototi jam sekarang. Sebaiknya cepat antar aku pulang
sebelum aku dapat masalah lagi gara-gara pulang terlambat."
Aku menengadah padanya,
tersenyum setengah hati.
Setiap kali menatap wajah
Edward, wajah yang luar biasa sempurna itu, jantungku berdebar keras, kencang,
dan sangat terasa dalam dadaku.
Kali ini debaran itu berpacu
lebih cepat dari pada biasanya. Aku mengenali ekspresinya yang membeku seperti
patung itu.
"Kau memang akan dapat
masalah lagi, Bella," bisiknya dari sela-sela bibirnya yang tidak
bergerak.
Aku bergeser lebih dekat, mencengkeram lengan Edward
sambil mengikuti arah pandangnya. Entah apa yang kukira bakal kulihat—mungkin
Victoria berdiri di tengah jalan, rambut merah menyalanya berkibar-kibar ditiup
angin, atau sederet makhluk
tinggi berjubah hitam... atau
sekawanan werewolf yang marah. Tapi
aku tidak melihat apa-apa.
"Apa? Ada apa?"
Edward menghela napas
dalam-dalam.
"Charlie..."
"Ayahku?" pekikku.
Lalu Edward menunduk menatapku, dan ekspresinya cukup tenang hingga mampu
meredakan sedikit kepanikanku.
"Charlie... mungkin tidak
akan membunuhmu, tapi dia sedang berpikir-pikir untuk melakukannya,"
Edward memberitahu. Ia mulai menjalankan mobilnya, memasuki jalan rumahku, tapi
melewati rumahku dan memarkir mobilnya di pinggir pepohonan.
"Memangnya aku melakukan
kesalahan apa?" tanyaku terkesiap.
Edward menoleh ke belakang, ke
arah rumah Charlie. Aku mengikuti arah pandangnya, dan melihat untuk pertama
kalinya benda yang terparkir di jalan masuk, persis di sebelah mobil patroli
ayahku. Mengilat, warnanya merah terang, mustahil terlewatkan. Motorku, berdiri
gagah di sana.
Kata Edward tadi, Charlie sudah
siap membunuhku, jadi ia pasti sudah tahu – bahwa sepeda motor itu milikku.
Hanya ada satu orang di balik pengkhianatan ini.
"Tidak!" seruku kaget.
"Mengapa? Mengapa Jacob tega melakukan ini
padaku?" Perasaan sakit karena dikhianati melanda hatiku. Padahal aku
sangat percaya pada Jacob saking percayanya sampai aku menceritakan semua
rahasiaku padanya. Seharusnya ia menjadi pelabuhan yang aman bagiku orang yang selalu bisa kuandalkan.
Tentu saja hubungan kami saat ini sedang renggang rapi
aku tidak mengira fondasi dasar hubungan kami telah berubah. Kusangka itu tidak
bisa berubah!
Kesalahan apa yang kulakukan
sehingga pantas diganjar seperti ini? Charlie bakal sangat marah dan lebih
daripada itu, ia akan merasa sakit hati dan cemas. Apakah bebannya selama ini
masih belum cukup? Tak pernah terbayang olehku Jake bisa begitu licik dan keju
Air mataku merebak, terasa perih di mataku, tapi itu bukan air mata kesedihan.
Aku telah dikhianati. Tiba-tiba
saja aku sangat marah sampai kepalaku berdenyut-denyut seperti mau meledak.
"Dia masih di sini?"
desisku.
"Ya. Dia menunggu kita di
sana," Edward memberi tahuku, mengangguk ke jalan setapak yang membelah
pepohonan hutan yang rapat menjadi dua.
Aku melompat turun dari mobil,
menghambur ke arah pepohonan dengan kedua tangan sudah mengepal, siap meninju.
Mengapa Edward harus lebih cepat
daripada aku?
Ia sudah menyambar pinggangku sebelum aku sampai di
jalan setapak itu.
"Lepaskan aku! Biar
kubunuh dia! Dasar pengkhianat!” Aku meneriakkan makian itu ke arah pepohonan.
"Nanti Charlie dengar,”
Edward mengingatkanku.
"Dan kalau dia sudah
menyuruhmu masuk, dia bakal membeton pintunya, mencegahku masuk." Aku
melirik ke arah rumah, dan sepertinya hanya sepeda motor merah mengilap itu
saja yang tampak olehku. Aku marah sekali. Kepalaku berdenyut-denyut lagi.
"Beri aku kesempatan
bicara sekali saja dengan Jacob kemudian aku akan menemui Charlie." Siasia
saja aku memberontak minta dilepaskan.
"Jacob Black ingin bertemu
denganku. Karena itulah dia masih di sini."
Aku langsung kaget—aku
serta-merta berhenti meronta-ronta. Kedua tanganku terkulai lemas.
Mereka bertarung; Paris kalah.
Aku memang marah, tapi tidak
semarah itu.
"Bicara?" tanyaku.
"Kurang-lebih
begitu."
"Lebihnya bagaimana?"
Suaraku bergetar. Edward merapikan rambutku yang jatuh di sekitar wajah.
"Jangan khawatir,
kedatangannya ke sini bukan untuk berkelahi denganku. Dia bertindak sebagai...
juru bicara bagi kawanannya."
"Oh."
Edward menengok lagi ke arah rumah, mempererat
rangkulannya di pinggangku, lalu menarikku ke arah hutan. "Kita harus
bergegas. Charlie sudah mulai tidak sabar."
Kami tidak perlu pergi terlalu
jauh; Jacob sudah menunggu tak jauh dari situ. Ia menunggu sambil bersandar di
pohon berlumut, wajahnya keras dan getir, persis yang kubayangkan. Ia
menatapku, kemudian Edward. Mulut Jacob menyeringai membentuk seringaian sinis,
dan ia bergeser menjauh dari tempatnya bersandar.
Ia berdiri bertumpu pada bagian
belakang kakinya yang telanjang, agak condong ke depan, mengepalkan kedua
tangannya yang gemetar. Ia tampak lebih besar dibandingkan terakhir kali aku
melihatnya. Entah bagaimana, meski rasanya mustahil, ia masih terus bertumbuh.
Tubuhnya akan menjulang melebihi Edward, kalau mereka berdiri bersisian.
Tapi Edward langsung berhenti
berjalan begitu kami melihat Jacob, menyisakan jarak yang cukup lebar di antara
kami dan Jacob. Edward sengaja memosisikan tubuhnya begitu rupa sehingga aku
berada di belakangnya. Aku menjulurkan badan melewati rubuhnya supaya bisa
menatap Jacob— menuduhnya dengan mataku.
Tadinya aku mengira dengan melihat ekspresi Jacob yang
sinis dan penuh kebencian akan membuatku semakin marah. Tapi ternyata aku malah
teringat saat terakhir kali melihatnya, dengan air mata berlinang. Amarahku
melemah, menggeletar, sementara aku menatap Jacob. Sudah lama sekali aku tidak
bertemu dengannya— aku tidak suka reuni kami harus terjadi seperti ini
"Bella," kata Jacob
sebagai salam, mengangguk satu kali ke arahku tanpa mengalihkan pandangannya
sedikit pun dari Edward.
"Kenapa?" bisikku,
berusaha menyembunyikan suara tercekat di kerongkonganku.
"Tega-teganya kau berbuat
begini padaku, Jacob?" Seringaian sinis itu lenyap, namun wajahnya tetap
keras dan kaku.
"Ini yang terbaik."
“Apa maksud perkataanmu itu?
Memangnya kau ingin Charlie mencekikku? Atau kau ingin dia kena serangan
jantung, seperti Harry? Tak peduli betapapun marahnya kau padaku, tega-teganya
kau melakukan ini padanya?"
Jacob meringis, alisnya
bertaut, tapi ia tidak menjawab.
“Dia tidak ingin menyakiti
siapa pun—dia hanya ingin kau dihukum, sehingga kau tidak diizinkan
menghabiskan waktu denganku," gumam Edward, menjelaskan pikiran yang tak
ingin diutarakan Jacob.
Penutup Novel Twilight (New Moon) – EPILOG—KESEPAKATAN Bab 136
Gimana Novel twilight (New Moon) – Port KESEPAKATAN Bab
136 ? keren kan ceritanya. Tentunya kamu penasaran apa yang akan terjadi di bab
berikutnya. Jangan khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan baca bab
berikutnya dengan mengklik tombol navigasi bab di bawah ini.