Novel Twilight (New Moon), ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada orang
tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight (New Moon) Bab 134 yang dipersembahkan oleh Admin white novel. Semoga
bisa memberi hiburan, insipirasi dan solusi bagi setiap masalah yang kamu
hadapi.
Baca Novel Twilight – PEMUNGUTAN SUARA Bab 134
"Pagi, Dad."
"Oh, hai, Bella." Charlie terdengar malu
karena kepergok mengecek.
"Sudah bangun rupanya."
“Yeah. Sejak tadi aku menunggu Dad bangun supaya bisa
mandi." Aku beranjak bangun.
"Tunggu dulu," tukas Charlie, menyalakan
lampu. Aku mengerjap-ngerjapkan mata, silau oleh nyala terang yang tiba-tiba,
dan sehati-hati mungkin menjaga agar mataku tidak melirik terus ke lemari.
"Kita bicara dulu sebentar." Aku tak mampu
tidak meringis. Aku lupa minta dicarikan alasan yang bagus oleh Alice.
“Kau tahu kau dalam masalah
besar."
“Yeah, aku tahu."
“Aku sudah seperti orang gila
tiga hari terakhir ini. Pulang dari pemakaman Harry, aku mendapati kau sudah
pergi. Jacob hanya bisa mengatakan kau kabur bersama Alice Cullen, dan menurut
dia, kau dalam kesulitan. Kau tidak meninggalkan nomor telepon yang bisa
dihubungi, dan kau juga tidak menelepon. Aku tidak tahu di mana kau berada atau
kapan— atau apakah—kau akan pulang. Tidak tahukah kau betapa... betapa..."
Charlie tak sanggup menyelesaikan kalimatnya.
Ia menarik napas tajam dan
melanjutkan katakatanya.
"Bisakah kau memberiku
satu saja alasan mengapa aku tidak perlu mengirimmu ke Jacksonville saat ini
juga?"
Mataku menyipit. Jadi mau main ancam nih? Aku juga
bisa kalau begitu. Aku duduk tegaktegak, menarik selimut yang menyelubungi
tubuhku.
"Karena aku tidak mau pergi."
"Tunggu sebentar, young lady—"
"Begini, Dad, aku menerima tanggung jawab penuh
atas ulahku kemarin, dan Dad berhak menghukumku selama yang Dad inginkan. Aku
juga akan mengerjakan semua tugas rumah, termasuk mencuci pakaian dan piring,
sampai Dad menganggapku kapok. Dan menurutku, Dad juga berhak mengusirku dari
sini—tapi itu tidak akan membuatku pindah ke Florida."
Wajah Charlie langsung merah
padam. Ia menarik napas dalam-dalam beberapa kali sebelum menjawab.
"Kau mau menjelaskan pergi
ke mana kau kemarin?"
Oh, brengsek. "Ada... masalah gawat."
Charlie mengangkat alis, sudah menduga aku bakal memberi penjelasan yang
brilian seperti itu.
Aku menggelembungkan pipi lalu mengembuskannya dengan
suara keras.
"Entah bagaimana aku bisa menamakannya, Dad.
Intinya hanya salah paham. Yang ini bilang begitu, yang itu bilang begini.
Akhirnya jadi rak terkendali.” Charlie menunggu dengan ekspres, tak percaya.
"Begini, Alice mengatakan pada Rosalie tentang
aku melompat dari tebing..." Dengan panik aku berusaha memberikan
penjelasan masuk akal, sebisa mungkin tetap menyatakan hal yang benar sehingga
ketidakmampuanku berbohong dengan meyakinkan takkan terlalu kentara, tapi belum
lagi aku sempat melanjutkan ceritaku, ekspresi Charlie mengingatkanku bahwa ia
tidak tahu apa-apa tentang masalah lompat tebing itu. Ya ampun.
Kayak aku belum kena masalah saja.
"Kurasa aku belum menceritakan itu pada
Dad," sergahku tercekat.
"Bukan apa-apa kok. Hanya iseng, berenang bersama
Jake. Pokoknya begini, Rosalie lantas memberi tahu Edward, dan Edward langsung
kalap. Rosalie tanpa sengaja membuat ceritanya terdengar seolah-olah aku
mencoba bunuh diri atau semacamnya. Edward tidak mau menjawab teleponnya, jadi
Alice menyeretku ke... LA, untuk menjelaskan secara langsung." Aku
mengangkat bahu, sepenuh hati berharap semoga Charlie tidak terlalu
memerhatikan kekagokanku barusan sehingga tidak menyimak penjelasan brilian
yang kuberikan padanya. Wajah Charlie langsung membeku. "Memangnya kau
benar-benar berniat bunuh diri, Bella?"
“Tidak, tentu saja tidak. Hanya bersenangsenang dengan
Jake. Terjun dari tebing. Anak-anak La Push sering melakukannya kok. Seperti
kataku tadi, itu bukan apa-apa."
Wajah Charlie memanas dari
membeku ke panas oleh amarah.
"Lantas, maksudnya Edward
Cullen itu apa?" raungnya. “Selama ini, dia meninggalkanmu begitu saja
tanpa penjelasan " Aku buru-buru memotongnya. "Lagi-lagi salah
paham."
Wajah Charlie memerah lagi.
"Jadi sekarang dia
kembali?"
"Aku belum tahu rencana
pastinya bagaimana. Kalau tidak salah, mereka semua kembali."
Charlie menggeleng-gelengkan kepala, urat-urat nadi di
keningnya menyembul.
"Aku ingin kau menjauhi dia, Bella. Aku tidak
percaya padanya. Dia tidak baik untukmu. Aku tidak akan membiarkannya merusakmu
seperti itu lagi."
"Baiklah," sergahku judes.
Charlie bertumpu pada tumitnya
dan bergoyang maju-mundur.
"Oh." Ia tergagap
sesaat, mengembuskan napas dengan suara keras karena terkejut.
"Kusangka kau akan
bersikap sulit."
"Memang." Aku
memandang lurus-lurus ke mata Charlie.
"Maksudku, 'Baiklah, aku
akan keluar dari rumah ini.”
Mata Charlie melotot; wajahnya
pucat pasi. Tekadku luntur saat aku mulai mengkhawatirkan kesehatannya. Charlie
kan tidak lebih muda daripada Harry...
"Dad, aku tidak ingin
keluar dari rumah ini," kataku lebih lembut.
"Aku sayang pada Dad. Aku
tahu Dad khawatir, tapi Dad harus percaya padaku dalam hal ini. Dan Dad harus
melunakkan sikap terhadap Edward kalau Dad ingin aku tetap tinggal di sini. Dad
ingin aku tinggal di sini atau tidak?”
"Itu tidak adil, Bella.
Kau tahu aku ingin kau tinggal di sini."
"Kalau begitu bersikaplah
baik pada Edward, karena di mana ada aku, di situ ada dia." Aku
mengucapkannya dengan sikap yakin. Keyakinan yang kudapat dari pencerahan itu
masih kuat.
"Tidak di rumahku,"
Charlie mengamuk. Aku mengembuskan napas berat.
“Begini, aku memberi ultimatum
lagi pada Dad malam ini – atau lebih tepatnya pagi ini. Pikirkan saja dulu
selama beberapa hari, oke? Tapi tolong diingat bahwa Edward dan aku ibaratnya
sudah satu paket.”
"Bella–"
"Pikirkan dulu," aku
bersikeras.
"Dan sementara Dad
memikirkannya, bisa tolong beri aku privasi? Aku benar-benar harus mandi.”
Wajah Charlie berubah warna
menjadi ungu aneh, tapi ia keluar juga, membanting pintu keraskeras. Kudengar
ia berjalan mengentak-entakkan kaki menuruni tangga.
Kulempar selimutku, dan
tahu-tahu saja Edward sudah di sana, duduk di kursi goyang, seakanakan sudah di
sana selama pembicaraanku dengan Charlie berlangsung.
"Maaf soal tadi,"
bisikku.
"Bukan berarti aku tidak
pantas mendapatkan yang jauh lebih buruk," Edward balas berbisik.
"Jangan bertengkar dengan
Charlie gara-gara aku, please."
"Sudahlah, jangan
khawatir," desahku sambil mengemasi peralatan mandi dan satu setel pakaian
bersih.
"Aku akan bertengkar
dengannya kalau memang perlu, tapi tak lebih dari itu. Atau kau berusaha
memberi tahuku bahwa kalau aku keluar dari rumah ini, aku tidak diterima di
tempatmu?" Aku membelalakkan mata, pura-pura kaget.
"Memangnya kau mau pindah
ke rumah penuh vampir?"
“Mungkin itu tempat paling aman untuk orang seperti
aku. Lagi pula..." aku menyeringai.
"Kalau Charlie mengusirku, berarti tidak perlu
menunggu sampai lulus, kan?" Rahang Edward mengeras.
"Begitu bersemangat ingin terkutuk
selamanya," gerutunya.
“Kau tahu kau tidak benar-benar meyakini itu."
“Oh, begitu ya?" gerutunya.
"Tidak. Kau tidak
percaya."
Edward menatapku tajam dan
membuka mulut hendak bicara, tapi aku memotongnya.
"Kalau kau benar-benar
percaya kau telah kehilangan jiwamu, maka waktu aku menemukanmu di Volterra,
kau pasti langsung menyadari apa yang terjadi, bukannya mengira kita berdua
sudah sama-sama mati. Tapi kau tidak begitu—kau malah berkata 'Luar biasa.
Carlisle benar," aku mengingatkannya, merasa menang.
"Ternyata, kau masih
berharap."
Sekali ini, Edward tak mampu
mengatakan apaapa.
"Jadi marilah kita
sama-sama berharap, oke?" saranku.
"Bukan berarti itu penting.
Kalau ada kau, aku tidak butuh surga."
Pelan-pelan Edward bangkit,
lalu merengkuh wajahku dengan kedua tangan sambil menatap mataku lekat-lekat.
"Selamanya," ia
bersumpah, masih sedikit terperangah.
"Hanya itu yang kuminta," kataku, lalu
berjinjit agar bisa menempelkan bibirku ke bibirnya.
Penutup Novel Twilight (New Moon) – PEMUNGUTAN SUARA Bab 134
Gimana Novel twilight (New Moon) – Port PEMUNGUTAN SUARA Bab 134 ? keren kan ceritanya. Tentunya kamu penasaran apa yang akan
terjadi di bab berikutnya. Jangan khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan
baca bab berikutnya dengan mengklik tombol
navigasi bab di bawah ini.
0 comments: