Novel Twilight (New Moon), ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada orang
tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight (New Moon) Bab 130 yang dipersembahkan oleh Admin white novel. Semoga
bisa memberi hiburan, insipirasi dan solusi bagi setiap masalah yang kamu
hadapi.
Baca Novel Twilight – PEMUNGUTAN SUARA Bab 130
Edward mengucapkan kata-kata itu
tanpa perubahan nada maupun penekanan.
"Kau terjun dari tebing
untuk bersenang-senang."
“Eh, benar. Dan sebelum itu,
dengan sepeda motor—"
“Sepeda motor?" sergah
Edward.
Aku cukup mengenali suaranya
untuk mengetahui ada sesuatu yang mulai bergolak di balik ketenangan sikapnya.
"Kurasa bagian yang itu tidak
kuceritakan pada Alice."
“Memang tidak."
“Well tentang itu... Begini, aku menemukan bahwa... saat aku
melakukan sesuatu yang tolol atau berbahaya... aku bisa mengingatmu lebih
jelas," aku mengaku, merasa diriku benar-benar sinting.
"Aku jadi bisa mengingat bagaimana
suaramu bila sedang marah. Aku bisa mendengarnya, seolah-olah kau berdiri tepat
di sebelahku. Kebanyakan aku mencoba untuk tidak memikirkanmu, tapi ini tidak
begitu menyakitkan—rasanya seolah-olah kau melindungiku lagi. Seakan-akan kau tidak
ingin aku terluka.
"Dan, Well,
aku jadi penasaran sendiri apakah alasan mengapa aku bisa mendengarmu begitu
jelas adalah karena, di balik itu semua, aku selalu tahu kau tidak pernah
berhenti mencintaiku." Lagi, saat aku bicara, kata-kata yang keluar dari
mulutku terdengar sangat meyakinkan. Bahwa itu memang benar. Lubuk hatiku yang
terdalam mengenali kebenarannya.
Edward mengucapkan kata-kata itu
dengan suara separo tercekik.
"Kau... sengaja...
membahayakan nyawamu... hanya agar bisa mendengar—"
"Ssstt," aku memotong
kata-katanya.
"Tunggu sebentar. Kurasa
aku mendapat pencerahan." Ingatanku melayang ke malam di Port Angeles
ketika aku mengalami delusi pertama. Ada dua opsi.
Sinting atau pemenuhan harapan.
Aku tidak melihat opsi ketiga. Tapi bagaimana kalau...
Bagaimana kalau kau
sungguh-sungguh percaya sesuatu itu benar, tapi ternyata kau salah? Bagaimana
kalau kau begitu keras kepala meyakini kau benar, bahwa kau bahkan tidak mau
mempertimbangkan kebenaran? Apakah kebenaran itu akan dibungkam, atau kebenaran
itu akan berusaha menerobos keluar?
Opsi ketiga: Edward mencintaiku. Ikatan yang terbentuk
di antara kami bukanlah ikatan yang bisa dihancurkan oleh ketidakhadiran,
jarak, atau waktu Dan tak peduli apakah ia lebih istimewa, lebih rupawan, lebih
pintar, atau lebih sempurna daripada aku, bagaimanapun ia sudah berubah, tak
bisa diperbaiki lagi, sama seperti aku.
Sama halnya aku akan selalu menjadi miliknya, demikian
juga ia akan selalu menjadi milikku. Itukah yang selama ini coba kukatakan pada
diriku sendiri?
"Oh!"
"Bella?"
"Oh. Oke. Aku
mengerti."
"Pencerahanmu?" tanya
Edward, suaranya bergetar dan tegang.
"Kau mencintaiku,"
ujarku kagum.
Keyakinan dan kebenaran itu
melanda diriku lagi. Walaupun matanya masih waswas, senyum separo yang sangat
kucintai itu melintasi wajahnya.
"Benar, aku memang
mencintaimu." Hatiku menggelembung hingga rasanya seperti nyaris
meremukkan tulang-tulang rusukku.
Memenuhi rongga dada dan
menyumbat kerongkongan hingga aku tak bisa bicara. Edward benar-benar
menginginkanku seperti aku menginginkan dia—selamanya. Hanya karena ia takut
aku akan kehilangan jiwaku, karena ia tak ingin merenggut hal-hal manusiawi
dari diriku, yang membuat Edward begitu ngotot ingin tetap mempertahankan aku
sebagai manusia. Dibandingkan dengan ketakutan bahwa ia tidak menginginkan aku,
halangan ini—jiwaku—nyaris terasa tidak signifikan.
Edward merengkuh wajahku erat-erat dengan tangannya
yang dingin dan menciumku sampai kepalaku pening dan hutan seperti berputar.
Lalu ia menempelkan dahinya ke keningku, dan napas kami memburu, lebih cepat
daripada biasanya. "Kau masih lebih baik daripada aku," kata Edward.
"Lebih baik dalam hal
apa?"
"Bertahan. Kau,
setidaknya, masih mau berusaha. Bangun pagi-pagi, berusaha bersikap normal demi
Charlie, menjalani rutinitas hidupmu. Kalau tidak sedang aktif melacak, aku..,
benarbenar tidak berguna. Aku tidak bisa berada di sekitar keluargaku—aku tidak
bisa berada di sekitar siapa pun. Aku malu mengakui bahwa kurang lebih aku
hanya terpuruk dan membiarkan diriku dilanda kesedihan." Edward
menyeringai, malu-malu.
"Jauh lebih menyedihkan
daripada mendengar suara-suara. Dan, tentu saja, kau tahu aku juga
begitu."
Aku sangat lega karena Edward
tampaknya benar-benar mengerti—senang karena ini semua masuk akal baginya. Pokoknya,
ia tidak menatapku seakan-akan aku sudah gila. Ia menatapku seakan-akan... ia
mencintaiku.
"Aku hanya mendengar satu
suara," koreksiku.
Ia tertawa dan menarikku erat di
sebelah kanan tubuhnya, lalu mulai membimbingku maju.
"Aku hanya menuruti maumu,"
Edward melambaikan tangan ke kegelapan di depan kami saat kami berjalan. Tampak
sesuatu yang pucat dan megah di sana—rumahnya, aku tersadar.
"Pendapat mereka tak ada
pengaruhnya sedikit pun.”
"Ini memengaruhi mereka
juga sekarang.” Edward mengangkat bahu tak acuh.
Ia berjalan mendahuluiku
melalui pintu depan yang terbuka, memasuki rumah yang gelap, dan menyalakan
lampu-lampu. Ruangan itu masih sama seperti yang kuingat dulu piano dan
sofa-sofa putih serta tangga megah berwarna pucat itu. Tak ada debu, tak ada
kain-kain putih.
Edward memanggil nama-nama
anggota keluarganya dengan volume suara yang biasa kugunakan bila berbicara
dalam keadaan biasa.
"Carlisle? Esme? Rosalie?
Emmett? Jasper? Alice?" Mereka mendengarnya.
Carlisle tiba-tiba sudah berdiri
di sampingku, seakan-akan sudah sejak tadi berada di sana.
"Selamat datang kembali,
Bella." Ia tersenyum.
"Apa yang bisa kami
lakukan untukmu pagi ini? Dalam bayanganku, mengingat jamnya yang tidak lazim,
aku yakin ini bukan sekadar kunjungan ramah-tamah?"
Aku mengangguk.
"Aku ingin berbicara
dengan semuanya sekaligus, kalau boleh. Mengenai sesuatu yang penting."
Aku tak tahan untuk tidak
melirik wajah Edward sambil bicara. Ekspresinya tidak setuju namun pasrah.
Waktu aku melihat kembali pada Carlisle, ia juga sedang memandang Edward.
"Tentu saja," jawab
Carlisle.
"Bagaimana kalau kita
bicara di ruangan lain?"
Carlisle mendului melintasi ruang duduk yang terang
benderang, berbelok memasuki ruang makan, menyalakan lampu-lampu sambil
berjalan. Dinding-dindingnya berwarna putih, langitTiraikasih
langitnya tinggi, seperti ruang
duduk. Di tengah ruangan, di bawah lampu kristal yang menggantung rendah,
tampak meja besar mengilat berbentuk oval yang dikelilingi delapan kursi.
Carlisle menarik keluar kursi di kepala meja untukku.
Penutup Novel Twilight (New Moon) – PEMUNGUTAN SUARA Bab 130
Gimana Novel twilight (New Moon) – Port PEMUNGUTAN SUARA Bab 130 ? keren kan ceritanya. Tentunya kamu penasaran apa yang akan
terjadi di bab berikutnya. Jangan khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan
baca bab berikutnya dengan mengklik tombol
navigasi bab di bawah ini.
0 comments: