Novel Twilight (New Moon), ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada orang
tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight (New Moon) Bab 129 yang dipersembahkan oleh Admin white novel. Semoga
bisa memberi hiburan, insipirasi dan solusi bagi setiap masalah yang kamu
hadapi.
Baca Novel Twilight – PEMUNGUTAN SUARA Bab 129
24. PEMUNGUTAN SUARA
EDWARD tidak senang, perasaan itu dengan mudah bisa
dibaca dari ekspresinya. Namun tanpa berargumen lebih jauh lagi, ia membopongku
dan melompat lincah dari jendelaku, mendarat tanpa entakan sedikit pun, seperti
kucing.
Ternyata lumayan tinggi juga jarak dari jendela ke
tanah, tidak seperti dugaanku.
"Baiklah kalau
begitu," kata Edward, suaranya sinis oleh sikap tidak setuju.
"Naiklah." Ia
membantuku naik ke punggungnya, lalu melesat secepat kilat.
Bahkan setelah sekian lama
tidak menaiki punggungnya lagi, rasanya itu seperti sesuatu yang rutin. Mudah.
Terbukti ini sesuatu yang tak pernah dilupakan, seperti naik sepeda.
Sunyi senyap dan gelap saat
Edward berlari menembus hutan, embusan napasnya lambat dan teratur—saking
gelapnya, pepohonan yang terbang melewati kami nyaris tak terlihat, dan hanya
embusan kuat angin menerpa wajah yang menunjukkan betapa cepat Edward berlari.
Udara lembab; tidak membakar mataku seperti angin di alun-alun besar waktu itu,
dan rasanya nyaman. Malam juga terasa menenangkan, setelah siang benderang yang
menakutkan itu.
Seperti waktu aku masih kecil,
bermain di balik selubung selimut tebal, kegelapan ini terasa familier dan
melindungi. Aku ingat bagaimana berlari menembus hutan seperti ini dulu
membuatku ngeri, bagaimana dulu aku selalu memejamkan mata. Rasanya itu reaksi
yang tolol sekarang. Kubuka mataku lebar-lebar, dagu menempel di bahunya, dan
pipiku di lehernya. Kecepatannya sungguh menggairahkan. Seratus kali lebih
asyik daripada naik motor.
Aku memalingkan wajah menghadap wajah Edward dan
menempelkan bibirku ke kulit lehernya yang dingin dan keras.
"Terima kasih,"
ucapnya, sementara bayanganbayangan hitam samar pepohonan melesat di samping
kami.
"Apakah itu berarti kau
memutuskan bahwa kau sudah bangun?" Aku tertawa. Suara tawaku terdengar
ringan, alami, renyah. Pas. "Tidak juga. Bagaimanapun,
lebih dari itu aku tidak mau
bangun. Tidak malam ini."
"Aku akan mengembalikan
lagi kepercayaanmu padaku, bagaimanapun caranya," gumam Edward, lebih
ditujukan pada dirinya sendiri.
"Walaupun itu jadi hal
terakhir yang kulakukan."
"Aku percaya padamu
kok," aku meyakinkan dia.
"Aku justru tidak percaya
pada diriku sendiri."
"Tolong jelaskan."
Edward memperlambat larinya dan
berjalan aku tahu itu karena terpaan
angin mereda dan dugaanku, kami tak jauh dari rumahnya. Malah, kalau tidak
salah aku bisa mendengar suara air sungai mengalir dalam gelap, di suatu tempat
tak jauh dari sini.
“Well–“ aku memeras otak, berusaha menemukan cara yang tepat untuk
menjelaskan maksudku.
“Aku tidak... cukup percaya
pada diriku sendiri. Bahwa aku pantas mendapatkanmu. Aku tidak punya apa-apa
yang bisa mempertahankanmu.”
Edward berhenti dan mengulurkan tangan ke belakang,
menurunkan aku dari punggungnya. Tangannya yang lembut tidak melepaskanku;
bahkan sesudah ia membantuku menjejakkan kaki
ke tanah, ia merangkulku erat-erat,
mendekapku di dadanya.
"Aku milikmu selamanya,
ikatan itu tak bisa dipatahkan," bisiknya.
"Jangan pernah ragukan
itu.” Tapi bagaimana bisa aku tidak meragukannya?
"Kau belum memberi
tahu...," gumamnya.
"Apa?"
"Apa masalah
terbesarmu."
"Tebak saja sendiri.” Aku
mendesah, kemudian mengulurkan tangan untuk menyentuh ujung hidungnya dengan
telunjuk.
Edward mengangguk.
"Aku memang lebih buruk
daripada keluarga Volturi," ucapnya muram. "Kurasa aku pantas
mendapatkannya." Aku memutar bola mataku.
"Hal terburuk yang bisa
dilakukan keluarga Volturi adalah membunuhku." Edward menunggu dengan
sorot mata tegang.
"Kau bisa meninggalkan
aku,'' aku menjelaskan.
"Keluarga Volturi,
Victoria... mereka bukan apa-apa dibandingkan dengan kau meninggalkan
aku." Bahkan dalam gelap aku bisa melihat kepedihan memilin wajahnya
mengingatkanku pada ekspresinya di bawah tatapan Jane yang menyiksa; aku merasa
muak, dan menyesal telah mengatakan hal yang sebenarnya.
"Jangan”
bisikku, menyentuh wajahnya.
"Jangan sedih"
Edward mengangkat salah satu
sudut mulutnya setengah hati, tapi ekspresi itu tidak menyentuh matanya.
"Kalau saja ada jalan
untuk membuatmu percaya bahwa aku tak sanggup meninggalkanmu," bisiknya.
"Hanya waktu, kurasa, yang
bisa meyakinkanmu”. Aku menyukai pikiran itu.
"Oke," aku setuju.
Wajah Edward masih tampak tersiksa. Aku berusaha mengalihkan perhatiannya
dengan halhal lain yang sepele.
"Jadi—karena kau sudah
memutuskan akan tinggal di sini. Boleh aku mendapatkan kembali
barang-barangku?" tanyaku, sengaja membuat nada suaraku seringan mungkin.
Usahaku berhasil, sampai batas
tertentu: Edward tertawa. Namun sorot matanya masih sedih.
"Barang-barangmu tak
pernah kubawa," jawabnya.
"Aku tahu itu salah,
karena aku pernah berjanji akan meninggalkanmu tanpa hal-hal yang bisa
mengingatkanmu padaku. Memang tolol dan kekanak-kanakan, tapi aku ingin
meninggalkan sesuatu dari diriku untukmu. CD, foto-foto, tiket— semua tersimpan
di bawah lantai papan kamarmu."
"Sungguh?"
Edward mengangguk, tampak sedikit terhibur melihat
reaksiku yang jelas-jelas gembira mendengar fakta sepele itu. Namun belum cukup
untuk menghapus kepedihan di wajahnya.
"Kurasa," ujarku
lambat-lambat.
“Aku tidak yakin, tapi kurasa...
kurasa mungkin aku sudah mengetahuinya sejak dulu."
"Apa yang kauketahui?"
Aku hanya ingin mengenyahkan
sorot sedih ini dan mata Edward, namun saat aku mengucapkan kata-kata itu,
kedengarannya justru sangat benar, lebih daripada yang kuduga.
“Sebagian diriku, mungkin alam
bawah sadarku tidak pernah berhenti meyakini bahwa kau tetap peduli padaku,
apakah aku hidup atau sudah mari. Mungkin itulah sebabnya aku mendengar
suara-suara."
Sejenak, suasana sunyi senyap.
Suara-suara? tanya Edward datar.
"Well, hanya satu suara. Suaramu. Ceritanya panjang." Ekspresi
kecut di wajah Edward membuatku berharap aku tidak mengungkit-ungkit masalah
itu.
Akankah ia mengira aku sinting,
seperti orang-orang lain? Apakah perkiraan orangorang itu benar? Tapi paling
tidak ekspresi itu yang membuat Edward terlihat seolah-olah terbakar mereda.
"Aku punya waktu
kok." Suara Edward terdengar kaku dan datar.
"Ceritanya
menyedihkan." Edward menunggu.
Aku tak yakin bagaimana menjelaskannya.
"Ingatkah kau waktu Alice menyebut tentang olah
raga ekstrem?"
Penutup Novel Twilight (New Moon) – PEMUNGUTAN SUARA Bab 129
Gimana Novel twilight (New Moon) – Port PEMUNGUTAN SUARA Bab 129 ? keren kan ceritanya. Tentunya kamu penasaran apa yang akan
terjadi di bab berikutnya. Jangan khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan
baca bab berikutnya dengan mengklik tombol
navigasi bab di bawah ini.
0 comments: