Novel Twilight (New Moon), ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada orang
tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight (New Moon) Bab 121 yang dipersembahkan oleh Admin white novel. Semoga
bisa memberi hiburan, insipirasi dan solusi bagi setiap masalah yang kamu
hadapi.
Baca Novel Twilight – PENERBANGAN Bab 121
"Dia mencuri mobil juga,
pasti?" tebakku. Edward nyengir.
"Tidak sampai kita berada
di luar."
Rasanya jauh sekali baru kami
sampai di pintu gerbang. Edward bisa melihat aku kelelahan; ia merangkul
pinggangku dan memapahku hampir sepanjang perjalanan.
Aku bergidik saat ia menarikku
melewati gerbang batu hitam melengkung. Jeruji besar kuno yang menggantung di
atas tampak seperti pintu kerangkeng, mengancam hendak menimpa kami, mengurung
kami di dalam.
Edward membimbingku ke mobil
berwarna gelap, yang menunggu dalam lingkaran bayangan di kanan gerbang dengan
mesin menyala. Aku terkejut waktu Edward menyusup masuk ke jok belakang
bersamaku, tidak bersikeras mengemudikannya.
Alice meminta maaf.
"Maafkan aku." Ia melambaikan tangan ke dasbor.
"Tidak banyak
pilihan."
"Tidak apa-apa,
Alice." Edward nyengir.
"Tidak bisa selalu memilih
911 Turbo." Alice mendesah.
"Aku harus memiliki salah
satu mobil semacam itu secara legal. Sungguh luar biasa."
"Nanti kubelikan satu
untuk hadiah Natal," janji Edward.
Alice menoleh dan menatap Edward dengan senyum
berseri-seri, dan itu membuatku khawatir, karena saat itu ia sudah ngebut
menuruni jalan perbukitan yang gelap dan berkelok-kelok.
"Kuning," katanya.
Edward tetap merangkulku
erat-erat. Dalam selubung jubah abu-abunya, aku merasa hangat dan nyaman. Lebih
dari nyaman.
"Kau bisa tidur sekarang,
Bella," bisiknya.
"Sudah berakhir."
Aku tahu yang dimaksud Edward
adalah bahaya, mimpi buruk di kota kuno, tapi aku masih harus menelan ludah
dengan susah payah sebelum bisa menjawab.
“Aku tidak mau tidur. Aku tidak
capek." Kalimat terakhir itu tidak benar.
Yang benar adalah aku belum mau
memejamkan mata. Mobil ini hanya diterangi samar-samar oleh nyala lampu panel
dasbor, tapi itu sudah cukup untuk bisa melihat wajahnya.
Edward menempelkan bibirnya di
cekungan di bawah telingaku. "Cobalah," bujuknya. Aku menggeleng.
Edward mendesah. "Kau masih
saja keras kepala." Aku memang keras kepala; mati-matian aku melawan
kelopak mataku yang berat, dan aku menang.
Bagian tersulit adalah melewati jalan yang gelap;
lampu-lampu benderang di bandara Florence sedikit melegakan hati, begitu juga
kesempatan untuk menyikat gigi dan ganti baju dengan pakaian bersih; Alice
membelikan Edward baju baru juga, dan Edward membuang jubah hitamnya ke tong
sampah di sebuah gang.
Penerbangan ke Roma hanya sebentar hingga kelelahan
tidak sempat membuatku tertidur. Tapi aku tahu penerbangan dari Roma ke Atlanta
akan sangat berbeda, jadi kuminta pramugari membawakan segelas Cocacola.
"Bella,” tegur Edward tidak senang. Ia tahu
biasanya aku tidak menolerir minuman yang mengandung kafein.
Alice duduk di belakang kami.
Aku bisa mendengarnya berbisik-bisik dengan Jasper di telepon.
"Aku tidak mau tidur,"
aku mengingatkannya.
Aku memberi alasan yang bisa
dipercaya karena itu memang benar.
"Kalau aku memejamkan mata
sekarang, aku akan melihat hal-hal yang tidak ingin kulihat. Bisa-bisa aku
malah bermimpi buruk.”
Edward tidak membantahku lagi setelah itu. Sebenarnya ini saat
yang tepat sekali untuk mengobrol, untuk mendapat jawaban yang
kubutuhkan—dibutuhkan tapi tidak benar-benar diinginkan; belum-belum aku sudah
merasa sulit memikirkan apa yang bakal kudengar.
Waktu yang panjang membentang di hadapan kami tanpa gangguan
apa pun, dan Edward tidak mungkin melarikan diri dariku di atas pesawat—well, setidaknya, tidak semudah itu.
Tidak ada yang bisa mendengar kami kecuali Alice; hari sudah larut malam, dan
sebagian besar penumpang mematikan lampu dan meminta bantal dengan suara pelan.
Mengobrol bisa membantuku melawan kelelahan.
Namun, anehnya, aku malah menutup mulutku rapat-rapat dari
banjir pertanyaan. Pertimbanganku mungkin salah karena kelelahan, tapi aku
berharap dengan menunda pembicaraan, aku bisa meminta waktu beberapa jam
dengannya nanti—memperpanjang kebersamaan ini satu malam lagi, ala
Scheherazade, Jadilah aku minum bergelas-gelas soda, bahkan berkedip pun aku
nyaris tak mau. Edward tampaknya cukup senang bisa mendekapku dalam pelukannya,
jari-jarinya menelusuri wajahku lagi dan lagi.
Aku juga menyentuh wajahnya. Aku tak sanggup menghentikan
diriku sendiri, meski takut itu akan menyakitiku nanti, kalau aku sudah
sendirian lagi. Edward terus saja menciumi rambutku, keningku, pergelangan
tanganku... tapi tak pernah bibirku, dan itu bagus.
Soalnya, berapa kali hati yang hancur lebur masih bisa
diharapkan pulih kembali' Beberapa hari terakhir ini, aku bertahan melewati
berbagai peristiwa yang seharusnya mengakhiri hidupku, tapi itu tidak membuatku
merasa kuat. Malah aku merasa sangat rapuh, seakan-akan satu kata saja sanggup
menghancurkanku.
Edward juga diam saja. Mungkin
ia berharap aku akan tidur. Mungkin memang tak ada yang ingin ia katakan.
Aku memenangkan adu kekuatan melawan kelopak mataku
yang berat. Mataku masih terbuka lebar saat kami mencapai bandara di Atlanta,
dan aku bahkan sempat melihat matahari terbit di awan-awan di atas kota Seattle
sebelum Edward menutup jendela rapat-rapat. Aku bangga pada diriku sendiri. Tak
satu menit pun terlewatkan.
Baik Alice maupun Edward sama sekali tidak terkejut
melihat rombongan yang menunggu kedatangan kami di Bandara Sea-Tac, tapi aku
kaget luar biasa. Jasper adalah yang pertama kulihat—tampaknya ia tidak
melihatku sama sekali Matanya hanya, tertuju pada Alice.
Alice bergegas mendapatkannya; mereka tidak berpelukan
seperti pasangan-pasangan lain yang bertemu di sini Keduanya hanya saling
memandang wajah masingmasing, namun, entah mengapa, momen itu justru terasa
sangat pribadi sampai-sampai aku merasa perlu membuang muka.
Carlisle dan Esme menunggu di sudut sepi jauh dan antrean di
depan metal detector. dalam naungan pilar besar. Esme mengulurkan tangan, memelukku
erat-erat dengan sikap canggung, karena Edward tidak melepaskan pelukannya
dariku.
Penutup Novel Twilight (New Moon) – PENERBANGAN Bab 121
Gimana Novel twilight (New Moon) – Port PENERBANGAN Bab
121 ? keren kan ceritanya. Tentunya kamu penasaran apa yang akan terjadi di bab
berikutnya. Jangan khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan baca bab
berikutnya dengan mengklik tombol navigasi bab di bawah ini.
0 comments: