Novel Twilight (New Moon), ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada orang
tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight (New Moon) Bab 120 yang dipersembahkan oleh Admin white novel. Semoga
bisa memberi hiburan, insipirasi dan solusi bagi setiap masalah yang kamu
hadapi.
Baca Novel Twilight – PENERBANGAN Bab 120
Aku tidak mampu terlalu lama
mengalihkan mata dari wajah Edward. Aku memandanginya terus, sepenuh hati
berharap masa depan tidak akan datang. Bahwa momen ini akan berlangsung
selamanya, atau, kalau tidak bisa, bahwa aku tidak akan ada lagi bila masa
depan itu tiba.
Edward membalas tatapanku, bola
matanya yang gelap tampak lembut, dan mudah bagiku berpura-pura ia merasakan
hal yang sama denganku. Jadi itulah yang kulakukan. Berpurapura, untuk membuat
momen ini semakin indah. Ujung-ujung jari Edward menyusuri lingkaran di bawah
mataku.
"Kau kelihatan capek
sekali."
"Dan kau kelihatan haus," aku balas
berbisik, mengamati memar ungu di bawah mata hitamnya. Edward mengangkat bahu.
"Tidak apa-apa."
"Kau yakin? Aku bisa duduk
dengan Alice," aku menawarkan diri, meski sebenarnya tidak rela; aku lebih
suka Edward membunuhku sekarang daripada beringsut satu sentimeter saja dari
tempatku berada sekarang.
“Jangan konyol." Edward mendesah; embusan
napasnya yang wangi membelai-belai wajahku.
“Tidak pernah aku sekuat ini mengendalikan diri dalam
hal itu dibanding sekarang." Berjuta pertanyaan berkecamuk dalam benakku
ingin kutanyakan padanya.
Salah satunya sudah berada di ujung bibirku sekarang,
tapi kutelan kembali. Aku tidak ingin merusak suasana, walaupun suasananya
sangat tidak menyenangkan, di ruangan yang membuatku mual, di bawah tatapan
seorang calon monster.
Dalam pelukan Edward, sungguh mudah berkhayal bahwa ia
menginginkanku. Aku tidak mau memikirkan motivasinya sekarang—apakah ia
bersikap begini untuk membuatku tenang selama kami masih dalam bahaya, atau ia
hanya merasa bersalah karena kami berada di sini dan lega karena ia tidak harus
bertanggung jawab atas kematianku.
Mungkin perpisahan kami sudah cukup lama sehingga aku
tidak membuatnya bosan sekarang ini. Tapi semua itu bukan masalah. Aku jauh
lebih bahagia dengan berpurapura. Aku berbaring tenang dalam pelukannya,
mengenang kembali wajahnya, berpura-pura... Edward memandangi wajahku
seolah-olah melakukan hal yang sama, sambil berdiskusi
dengan Alice bagaimana caranya
pulang. Suara mereka begitu cepat dan rendah hingga aku tahu Gianna tidak bisa
memahaminya. Aku sendiri nyaris tak bisa menangkapnya. Tapi kedengarannya
seperti melibatkan pencurian mobil lagi.
Malas-malasan aku berpikir
apakah Porsche kuning yang kami pakai sebelumnya sudah kembali ke tangan
pemiliknya atau belum.
"Apa maksudnya omongan
tentang penyanyi itu?” tanya Alice
suatu saat.
“La tua cantante,” jawab Edward.
Suaranya membuat kata-kata itu
terdengar mengalun seperti musik.
"Ya, itu," kata
Alice, dan aku berkonsentrasi sesaat. Aku sendiri juga penasaran tadi.
Aku merasakan bahu Edward
terangkat.
“Mereka mempunyai julukan bagi
orang yang aroma tubuhnya sama seperti aroma Bella di penciumanku. Mereka
menyebutnya menyanyiku – karena
darahnya menyanyi untukku." Alice terbahak.
Aku lelah sekali dan ingin tidur, tapi aku matimatian
melawannya. Aku tidak mau kehilangan satu detik pun bersamanya. Sesekali,
sambil berbicara dengan Alice, Edward tiba-tiba membungkuk dan
menciumku—bibirnya yang sehalus kaca menyapu rambut, dahi, juga ujung hidungku.
Setiap kali itu terjadi, seolah-olah aliran listrik menyengat hatiku yang lama
tertidur. Suara degupnya seakan memenuhi seluruh penjuru ruangan.
Ini surga—berada persis di
tengah neraka.
Aku benar-benar kehilangan
orientasi waktu. Jadi ketika lengan Edward memeluk lenganku lebih erat, dan
baik ia maupun Alice memandang ke ujung ruangan dengan ekspresi waswas, aku
langsung panik. Aku mengkeret dalam pelukan Edward saat Alec—matanya kini merah
cemerlang, namun setelan jas abu-abu terangnya tetap bersih tanpa noda meski
habis makan sore—berjalan melewati pintu ganda.
Ternyata ia membawa kabar baik.
"Kalian boleh pergi
sekarang," kata Alec pada kami, nadanya sangat hangat, seperti kawan lama.
"Kami harap kalian segera
pergi dari kota ini." Edward tidak mau berpura-pura ramah; suaranya sedingin
es.
“Itu bukan masalah." Alec
tersenyum, mengangguk, kemudian menghilang lagi.
“Ikuti lorong sebelah kanan di
tikungan sana, sampai ke deretan lift pertama,” Gianna memberi tahu kami
sementara Edward membantuku berdiri.
"Lobinya dua lantai di bawah,
langsung keluar ke jalan. Selamat jalan," ia menambahkan dengan nada
riang.
Aku bertanya-tanya dalam hati,
apakah kecakapannya dalam bekerja cukup untuk menyelamatkannya.
Alice melontarkan pandangan sengit ke arahnya. Aku
lega ada jalan keluar lain; aku tidak yakin akan sanggup berjalan menyusuri
lorong-lorong bawah tanah lagi.
Kami keluar melalui lobi yang
ditata dengan sangat mewah dan berselera tinggi. Akulah satusatunya yang
menoleh ke belakang, memandangi kastil abad pertengahan yang menaungi facade bisnis mewah. Aku tidak bisa
melihat menara itu dari sini, dan aku sangat bersyukur.
Pesta masih berlangsung meriah di
jalan-jalan. Lampu-lampu jalan baru mulai menyala saat kami berjalan cepat
menyusuri gang-gang sempit beralas batu. Langit kelabu kusam semakin memudar di
atas kepala, dan bangunan-bangunan begitu padat menyesaki jalan hingga
suasananya terasa lebih gelap.
Pestanya juga lebih gelap.
Jubah panjang Edward yang menjuntai tidak tampak mencolok seperti yang mungkin
akan terjadi pada malammalam normal lain di Volterra. Beberapa orang juga
mengenakan jubah satin hitam, dan taring plastik seperti yang pernah kulihat
dipakai seorang anak kecil di alun-alun siang tadi tampaknya juga sangat
populer di kalangan orang dewasa.
"Konyol," kecam
Edward.
Aku tidak menyadari kapan Alice
menghilang dari sampingku. Aku menoleh untuk menanyakan sesuatu, tapi ia tidak
ada.
"Mana Alice?" bisikku
panik.
"Dia pergi mengambil tas kalian dari tempat dia
meninggalkannya siang tadi." Aku bahkan sudah lupa aku membawa sikat gigi.
Informasi itu membuatku senang.
Penutup Novel Twilight (New Moon) – PENERBANGAN Bab 120
Gimana Novel twilight (New Moon) – Port PENERBANGAN Bab
120 ? keren kan ceritanya. Tentunya kamu penasaran apa yang akan terjadi di bab
berikutnya. Jangan khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan baca bab
berikutnya dengan mengklik tombol navigasi bab di bawah ini.
0 comments: