Novel Twilight (New Moon), ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada orang
tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight (New Moon) Bab 119 yang dipersembahkan oleh Admin white novel. Semoga
bisa memberi hiburan, insipirasi dan solusi bagi setiap masalah yang kamu
hadapi.
Baca Novel Twilight – PENERBANGAN Bab 119
22. PENERBANGAN
DEMETRI meninggalkan kami di
ruang penerimaan ramu yang mewah dan ceria iru, tempar wanita bernama Gianna
bertugas di balik konter yang mengilat. Musik yang merdu dan ramah mengalun
dari pengeras suara yang tersembunyi.
"Jangan keluar sebelum
gelap," Demerri mengingarkan kami.
Edward mengangguk, dan Demerri
bergegas pergi.
Gianna sama sekali tak terkejut
mendengar perkataan itu, meski matanya mengawasi jubah yang dipinjam Edward
dengan mata menyipit, berspekulasi.
"Kau baik-baik saja.''
tanya Edward pelan, terlalu pelan untuk bisa didengar oleh wanita manusia itu.
Suaranya kasar – kalau beledu bisa dibilang kasar – oleh perasaan cemas. Pasti
karena masih tertekan oleh situasi kami, pikirku.
"Sebaiknya segera dudukkan
dia sebelum jatuh," kata Alice. Sepertinya dia akan kehilangan
kendali."
Saat itu barulah aku sadar
tubuhku gemetar, bergetar kuat, sekujurku berguncang sampai gigiku gemeletukan
dan ruangan di sekelilingku berputar dan pandanganku kabur. Selama sedetik
sempat aku bertanya dalam hati, seperti inikah yang Jacob rasakan sesaat
sebelum meledak menjadi werewolf.
Aku mendengar suara yang tidak
masuk akal, bunyi robekan aneh, meningkahi musik merdu yang mengalun di latar
belakang. Karena tubuhku terguncang hebat, aku tak bisa memastikan dari mana
suara itu berasal.
"Ssstt, Bella, ssstt, bisik
Edward sambil menarikku ke sofa paling jauh dari pandangan manusia yang ingin
tahu di meja. "Kurasa dia histeris.
“Mungkin sebaiknya kautampar
saja dia," Alice menyarankan.
Edward memandangnya sekilas
dengan kalut. Kemudian aku mengerti. Oh. Itu suaraku. Bunyi robekan itu
ternyata isak tangis yang keluar dari dadaku. Itulah yang membuat tubuhku
berguncang-guncang.
"Tidak apa-apa, kau aman,
tidak apa-apa," bujuk Edward berkali-kali. Ia mengangkatku ke pangkuannya
dan menyelubungi tubuhku dengan jubah wolnya yang tebal, melindungiku dari
kulitnya yang dingin.
Aku tahu sungguh tolol bereaksi
seperti ini.
Siapa yang tahu sampai kapan
aku bisa melihat wajahnya? Ia selamat, aku selamat, dan ia bisa meninggalkan
aku begitu kami bebas. Dengan mata dipenuhi air mata seperti ini hingga aku tak
bisa melihat garis-garis wajahnya dengan jelas adalah kesia-siaan—kegilaan.
Namun di balik mataku, tempat
air mata tak dapat menghapus bayangan itu, aku masih dapat melihat wajah putih
seorang wanita mungil yang mencengkeram rosario.
"Orang-orang itu," seduku.
"Aku tahu," bisik
Edward.
"Sungguh mengerikan.”
“Ya. memang. Seandainya kau
tidak melihatnya tadi.”
Aku membaringkan kepalaku di dadanya yang dingin,
menyeka maniku dengan jubah yang tebal. Aku menarik napas dalam-dalam beberapa
kali, berusaha menenangkan diri.
"Ada yang bisa kubantu?” sebuah suara bertanya
sopan.
Ternyata Gianna, mencondongkan tubuh di balik bahu
Edward dengan raut wajah prihatin namun tetap profesional sekaligus menjaga
jarak. Tampaknya ia sama sekali tidak merasa risi berada hanya beberapa
sentimeter dari vampir yang galak. Entah ia benar-benar tidak menyadarinya,
atau sangat baik dalam menjalankan tugasnya.
“Tidak," Edward menjawab dingin. Gianna
mengangguk, tersenyum padaku, kemudian menghilang.
Aku menunggu sampai ia jauh. "Apakah
dia tahu apa yang berlangsung di sini?" tanyaku, suaraku pelan dan parau.
Aku mulai bisa menguasai diri, tarikan napasku mulai tenang.
“Ya. Dia tahu semuanya,"
Edward menjawab pertanyaanku.
“Tahukah dia bahwa mereka akan
membunuhnya suatu hari nanti?"
"Dia tahu kemungkinannya
begitu," jawab Edward.
Jawabannya membuatku terkejut.
Wajah Edward sulit dibaca.
"Dia berharap mereka akan
memutuskan untuk mempertahankannya."
Aku merasa darah surut dari
wajahku. "Dia ingin menjadi salah satu dari mereka?"
Edward mengangguk, matanya
tajam menatap wajahku, mengamati reaksiku. Aku bergidik.
"Bagaimana mungkin dia menginginkan hal
itu?” bisikku, lebih ditujukan pada diriku sendiri, bukan karena ingin mendapat
jawaban.
"Bagaimana mungkin dia
bisa setega itu, melihat orang-orang digelandang memasuki ruangan mengerikan
itu, dan ingin menjadi bagian dari semua
itu?"
Edward tidak menjawab. Ekspresinya berkerut, merespons
perkataanku barusan. Saat aku menatap wajahnya yang begitu rupawan, berusaha
memahami perubahannya,
mendadak terpikir olehku bahwa
aku benar-benar berada di sini, dalam pelukan Edward, betapapun singkatnya, dan
bahwa kami tidak—saat ini— hendak dibunuh.
"Oh, Edward," isakku,
dan aku menangis lagi. Reaksi yang benar-benar tolol.
Air mataku terlalu deras
sehingga aku tak bisa melihat wajahnya lagi, dan itu tak bisa dimaafkan.
Padahal jelas aku hanya punya waktu sampai matahari terbenam. Bagaikan kisah
dongeng, dengan tenggat waktu yang akan mengakhiri keajaiban.
"Ada apa?" tanya
Edward, masih cemas, membelai-belai punggungku dengan tepukantepukan lembut.
Aku merangkul lehernya—apa hal
terburuk yang bisa ia lakukan? Paling-paling mendorongku jauhjauh— dan
merapatkan tubuh lebih dekat lagi padanya.
"Apakah aku gila bila aku
justru merasa bahagia sekarang?" tanyaku. Suaraku tercekat.
Edward tidak mendorongku. Ia
malah mendekapku erat-erat di dadanya yang sekeras es, begitu eratnya hingga
aku sulit bernapas, bahkan dengan paru-paruku yang telah utuh kembali.
"Aku sangat mengerti
maksudmu," bisiknya.
“Tapi kita punya banyak alasan
untuk bahagia. Salah satunya, karena kira hidup."
"Ya." aku setuju.
"Itu alasan yang bagus.”
“Dan bersama-sama,” desah Edward.
Embusan napasnya begitu harum sehingga membuat
kepalaku melayang.
Aku hanya mengangguk, yakin Edward
tidak terlalu bersungguh-sungguh dengan perkataannya itu, seperti halnya aku.
“Dan kalau beruntung, kita akan
tetap hidup besok."
“Mudah-mudahan,” sahutku
gelisah.
"Peluangnya cukup
bagus." Alice meyakinkanku. Selama ini ia lebih banyak diam, sampai-sampai
aku nyaris melupakan kehadirannya.
"Aku akan bertemu lagi dengan Jasper dalam waktu kurang dari 24 jam," ia menambahkan dengan nada puas. Betapa beruntungnya Alice. Ia bisa memercayai masa depannya.
Penutup Novel Twilight (New Moon) – PENERBANGAN Bab 119
Gimana Novel twilight (New Moon) – Port PENERBANGAN Bab
119 ? keren kan ceritanya. Tentunya kamu penasaran apa yang akan terjadi di bab
berikutnya. Jangan khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan baca bab
berikutnya dengan mengklik tombol navigasi bab di bawah ini.
0 comments: