Novel Twilight (New Moon), ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada orang
tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight (New Moon) Bab 117 yang dipersembahkan oleh Admin white novel. Semoga
bisa memberi hiburan, insipirasi dan solusi bagi setiap masalah yang kamu
hadapi.
Baca Novel Twilight – VONIS Bab 117
Edward menahan marah di sampingku. Aku bisa mendengar
gemuruh di dadanya, yang nyaris menjadi geraman. Aku harus berusaha agar
amarahnya tidak membuatnya celaka.
"Tidak, terima kasih," aku angkat bicara
dengan suara yang tak lebih dari bisikan, suaraku gemetar karena takut.
Aro mendesah. "Sayang
sekali. Sungguh sia-sia." Edward mendesis.
"Bergabung atau mati,
begitu? Aku sudah bisa menduganya waktu kami dibawa ke ruangan ini. Hukummu
tidak berarti apa-apa." Nada suara Edward membuatku terkejut. Ia terdengar
berang, tapi ada sesuatu yang disengaja dalam cara penyampaiannya – seolah-olah
ia memilih kata-kata yang akan ia ucapkan dengan begitu saksama.
"Tentu saja tidak,” Aro
mengerjap, terperangah.
"Kami memang sudah
berkumpul di sini, Edward, menunggu Heidi kembali. Bukan karena kau."
"Aro," Caius
mendesis.
"Hukum mengklaim
mereka."
Edward menatap Caius garang, "Bagaimana
bisa?" tuntutnya.
Dia pasti bisa membaca pikiran Caius, tapi sepertinya
bertekad membuatnya mengutarakan pikiran itu dengan suara keras. Caius
mengacungkan telunjuknya yang panjang kurus padaku. "Dia terlalu banyak
tahu. Kau sudah mengekspos rahasia kita." Suaranya setipis kertas, sama
seperti kulitnya.
"Di sini juga ada beberapa manusia dalam sandiwara
kalian," Edward mengingatkan Caius, dan ingatanku langsung melayang pada
resepsionis cantik di bawah.
Wajah Caius terpilin membentuk
ekspresi baru. Apakah itu dimaksudkan sebagai senyuman? "Benar," ia
sependapat.
"Tapi kalau mereka sudah
tidak kami butuhkan lagi, mereka akan menjadi pemuas dahaga kami. Bukan begitu
rencanamu untuk gadis yang satu ini Kalau dia membocorkan rahasia kita, apakah
kau siap menghabisinya? Kurasa tidak," dengusnya.
"Aku tidak akan—" aku
membuka mulut, masih berbisik.
Caius membungkamku dengan
tatapan dingin.
"Kau juga tidak berniat
menjadikannya salah satu dari kita,” lanjut Caius.
"Dengan begitu, dia
ancaman bagi eksistensi kita. Meski ini benar, dalam hal ini hanya hiduplah
yang dikorbankan. Kau boleh pergi kalau memang mau.”
Edward menyeringai, menunjukkan
gigi-giginya.
“Sudah kukira,” kata Caius,
dengan ekspresi menyerupai kegembiraan.
Felix mencondongkan tubuh,
bersemangat.
“Kecuali..." Aro menyela. Kelihatannya ia tidak
senang dengan arah pembicaraan ini.
“Kecuali kau memang berniat memberinya keabadian?”
Edward mengerucutkan bibir, ragu-ragu sesaat sebelum menjawab.
"Dan kalau itu benar?" Aro tersenyum,
kembali senang.
“Yah, kalau begitu kau boleh pulang dan menyampaikan
salamku pada sobatku Carlisle." Ekspresinya berubah ragu. "Tapi aku
khawatir kau harus bersungguh-sungguh dengan ucapanmu." Aro mengangkat
tangan di hadapannya.
Caius, yang awalnya memberengut marah, berubah rileks.
Bibir Edward mengejang membentuk garis marah. Ia menatap mataku, dan aku
membalas tatapannya.
“Ucapkan dengan
sungguh-sungguh," bisikku.
"Kumohon." Sebegitu
menjijikkannyakah ide itu? Apakah Edward lebih suka mati daripada mengubahku?
Perutku seperti ditendang.
Edward menunduk menatapku
dengan ekspresi tersiksa.
Kemudian Alice melangkah
menjauhi kami, maju mendekati Aro. Kami menoleh dan menatapnya.
Tangannya terangkat seperti Aro.
Alice tidak mengatakan apa-apa, dan Aro melambaikan tangan kepada para
pengawalnya yang bergegas datang untuk menghalangi Alice. Aro menemui Alice di
tengah, dan meraih tangannya dengan mata memancarkan kilau tamak dan penuh
semangat.
Aro menunduk ke atas tangan
mereka yang saling menyentuh mata terpejam saat berkonsentrasi. Alice diam tak
bergerak, wajahnya kosong. Aku mendengar Edward menggertakkan gigi.
Semua diam tak bergerak. Aro seakan membeku di atas
tangan Alice. Detik demi detik berlalu dan semakin lama aku semakin tertekan, bertanyatanya
sampai kapan ini akan terus berlangsung, apakah waktu sudah berlalu terlalu Uma
Se belum itu berarti sesuatu yang buruk telah terjadi—lebih buruk daripada
keadaan sekarang. Waktu terus berjalan dan terasa menyiksa, dan sejurus
kemudian suara Aro mengoyak keheningan.
"Ha, ha, ha," ia
tertawa, kepalanya masih tertunduk ke depan.
Ia mendongak perlahanlahan,
matanya cemerlang oleh kegembiraan.
"Itu sangat
menakjubkan!"
Alice tersenyum kering.
"Aku senang Anda menikmatinya."
"Melihat berbagai hal yang
telah kaulihat— terutama peristiwa-peristiwa yang belum terjadi!" Aro
menggeleng-geleng takjub.
"Tapi akan terjadi,"
Alice mengingatkan, suaranya kalem.
"Ya, ya, itu sudah
ditentukan. Tentu tidak ada masalah."
Caius tampak sangat
kecewa—perasaan yang tampaknya juga dirasakan Felix dan Jane.
"Aro," tegur Caius.
“Caius Sayang," Aro
tersenyum.
"Jangan cerewet. Coba
pikirkan kemungkinan-kemungkinannya! Mereka memang tidak bergabung dengan kita
hari ini, tapi kita selalu bisa berharap di masa mendatang. Coba bayangkan
kegembiraan yang akan dibawa hanya oleh Alice saja ke keluarga kecil kita...
Lagi pula, aku juga sangat ingin melihat bagaimana jadinya Bella nanti!"
Aro tampak yakin sekali. Apakah
ia tidak sadar betapa subjektifnya penglihatan Alice? Bahwa ia bisa memutuskan
untuk mengubahku hari ini, kemudian mengubahnya besok? Sejuta keputusan kecil,
baik keputusannya maupun keputusan banyak pihak lain – juga Edward – dapat saja
mengubah jalan hidupnya, sehingga dengan demikian, masa depan pun akan ikut
berubah.
Dan apakah ada artinya bila
Alice bersedia, apakah ada bedanya bila aku benar-benar berubah menjadi vampir,
bila itu justru menjijikkan bagi Edward? Bila kematian, baginya, merupakan
alternatif yang lebih baik daripada memilikiku di sisinya selamanya, menjadi
gangguan yang abadi? Meski sangat ketakutan, aku merasa diriku terbenam dalam
perasaan depresi, tenggelam di dalamnya...
"Kalau begitu kami boleh pergi sekarang?" tanya
Edward datar.
Penutup Novel Twilight (New Moon) – VONIS Bab 117
Gimana Novel twilight (New Moon) – Port VONIS Bab 117 ?
keren kan ceritanya. Tentunya kamu penasaran apa yang akan terjadi di bab
berikutnya. Jangan khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan baca bab
berikutnya dengan mengklik tombol navigasi bab di bawah ini.
0 comments: