Novel Twilight (New Moon), ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada orang
tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight (New Moon) Bab 116 yang dipersembahkan oleh Admin white novel. Semoga
bisa memberi hiburan, insipirasi dan solusi bagi setiap masalah yang kamu
hadapi.
Baca Novel Twilight – VONIS Bab 116
Edward mengangguk menyemangati
– apakah karena ia yakin Aro tidak akan mencelakakanku, atau karena memang tak
ada pilihan aku tidak tahu.
Aku berpaling kembali pada Aro
dan mengangkat tanganku pelan-pelan di hadapanku. Tanganku gemetar.
Aro melenggang menghampiriku, dan aku yakin ia sengaja
memasang mimik tenang untuk meyakinkan aku. Namun garis-garis wajahnya kelewat
aneh, terlalu asing dan menakutkan, untuk dapat meyakinkan aku.
Mimik wajahnya lebih percaya diri daripada
kata-katanya tadi. Aro mengulurkan tangan, seperti hendak menjabat tanganku,
dan menempelkan kulitnya yang aneh ke kulitku. Kulitnya terasa keras sekaligus
rapuh—lebih menyerupai serpih daripada granit—dan lebih dingin daripada yang
kukira.
Matanya yang berkabut tersenyum
memandangiku, dan mustahil bagiku untuk mengalihkan pandangan. Matanya memesona
dengan cara yang ganjil dan tidak menyenangkan. Wajah Aro berubah di depan
mataku. Rasa percaya diri itu goyah dan mula-mula menjadi keraguan, baru
kemudian tidak percaya sebelum akhirnya tenang kembali, membentuk topeng ramah.
“Sangat menarik," ucapnya
sambil melepaskan tanganku dan kembali ke tempatnya.
Mataku berkelebat memandang
Edward, dan, walaupun wajahnya tenang, ia tampak sedikit puas pada diri
sendiri.
Aro terus dalam ekspresi
menerawang. Sesaat ia diam, matanya berkelebat menatap kami bertiga.
Kemudian tiba-tiba ia menggelengkan
kepalanya.
"Ini pertama
kalinya," katanya pada diri sendiri.
"Aku jadi penasaran apakah
dia juga imun terhadap bakat-bakat kita yang lain... Jane, Sayang?"
"Tidak!" Edward
mengucapkan kata itu sambil menggeram Alice menyambar lengannya, memeganginya.
Edward menepiskannya. Si mungil
Jane tersenyum bahagia pada Aro.
"Ya, Tuan?"
Edward benar-benar menggeram sekarang, suara itu
terlontar dari dalam dirinya, matanya menatap Aro garang dengan sorot
berapi-api. Ruangan sunyi senyap, semua memandanginya dengan tercengang dan tak
percaya, seolah-olah ia melakukan sesuatu yang sangat memalukan dan tak bisa
diterima.
Kulihat Felix menyeringai penuh harap dan maju satu
langkah. Aro meliriknya, dan Felix langsung menegang, seringaiannya berubah
jadi ekspresi merajuk.
Lalu ia berbicara kepada Jane.
“Aku ingin tahu, sayangku,
apakah Bella imun terhadapmu." Aku nyaris tak bisa mendengar suara Aro
karena geraman marah Edward.
Edward melepaskan aku, bergerak
untuk menyembunyikanku dari pandangan mereka. Caius melayang ke arah kami,
bersama rombongannya, untuk menonton. Jane berbalik menghadapi kami dengan
senyum memesona tersungging di wajah.
"Jangan!" pekik Alice
saat Edward menerjang gadis mungil itu.
Sebelum aku sempat bereaksi,
sebelum semua orang lain bisa melompat ke tengah mereka, sebelum para pengawal
Aro sempat mengejang,
Edward sudah terjatuh ke lantai
Tak ada yang menyentuhnya, tapi ia tergeletak di lantai baru, menggeliat-geliat
kesakitan, semenara aku menatapnya dengan penuh kengerian. Tane hanya tersenyum
padanya sekarang, dan mendadak aku mengerti.
Inilah yang dimaksud Alice
mengenai bakat luar biasa, mengapa semua orang memperlakukan Jane dengan hormat
dan mengapa Edward melemparkan diri di depannya sebelum Jane bisa melakukannya
terhadapku.
“Hentikan!" aku menjerit,
suaraku bergema dalam kesunyian, melompat ke depan di antara mereka.
Tapi Alice merangkulku
sekuat-kuatnya dengan kedua tangan, tak peduli aku merontaronta. Tidak ada
suara yang keluar dari bibir
Edward saat ia
menggeliat-geliat di lantai batu. Kepalaku serasa mau pecah karena tidak tega
melihatnya.
"Jane," Aro
memanggilnya dengan suara tenang.
Jane mendongak cepat masih
tersenyum senang, matanya bertanya-tanya. Begitu memalingkan wajah, Edward
berhenti menggeliat-geliat.
Aro menelengkan kepala ke
arahku.
Jane mengarahkan senyumnya padaku. Aku bahkan tidak
membalas tatapannya. Aku memandangi Edward dari dekapan tangan Alice, masih
meronta-ronta tanpa hasil.
"Dia tidak apa-apa," bisik Alice padaku
dengan suara kaku.
Saat Alice berbicara Edward duduk, lalu berdiri dengan
tangkas. Matanya menatap mataku, sorot matanya tampak ketakutan Awalnya kukira
ketakutan itu karena apa yang batu saja dialaminya. Tapi kemudian ia berpaling
cepat ke arah Jane, lalu kembali padaku – dan ketegangan di wajahnya mengendur,
berubah lega.
Aku memandangi Jane juga dan ia tidak lagi tersenyum.
Ia menatapku garang, dagunya mengeras oleh kuatnya ia berkonsentrasi. Aku
mengkeret, menunggu datangnya rasa sakit. Tidak terjadi apa-apa.
Edward sudah berdiri di sampingku
lagi. Disentuhnya lengan Alice dan Alice menyerahkanku padanya.
Tawa Aro meledak.
"Ha, ha, ha,"
tawanya.
"Hebat sekali!"
Jane mendesis frustrasi,
mencondongkan tubuh ke depan, seolah-olah bersiap menerjang.
"Jangan kecewa,
Sayang," kata Aro dengan nada menenangkan, meletakkan tangannya yang
seringan bedak ke bahu Jane.
"Dia mengacaukan kita
semua"
Bibir atas Jane melengkung ke
belakang, memamerkan giginya sementara ia terus menatapku garang.
"Ha, ha, ha,"
lagi-lagi Aro terbahak.
"Kau sangat berani,
Edward, menahan sakit tanpa suara. Aku pernah meminta Jane melakukannya padaku
satu kali—hanya karena ingin tahu." Ia menggeleng kagum.
Edward melotot, jijik.
"Jadi mau kita apakan kau
sekarang?" Aro mendesah.
Edward dan Alice mengejang. Ini
bagian yang mereka tunggu-tunggu sejak tadi. Aku mulai gemetar.
"Kurasa tidak ada kemungkinan kau berubah
pikiran?" Aro bertanya pada Edward dengan sikap penuh harap.
"Bakatmu akan menjadi tambahan yang sangat baik
untuk kelompok kecil kami."
Edward ragu-ragu. Dari sudut
mata kulihat Felix dan Jane meringis.
Edward seakan menimbang setiap
kata dengan seksama, sebelum mengucapkannya.
"Kurasa... tidak... usah.”
"Alice?" tanya Aro,
masih berharap.
“Mungkin kau tertarik bergabung
dengan kami?"
"Tidak, terima kasih,"
jawab Alice.
“Dan kau, Bella?" Aro
mengangkat alisnya.
Edward mendesis, rendah di
telingaku, kutatap Aro dengan pandangan kosong. Apakah ia bergurau? Atau ia
benar-benar serius menanyakan apakah aku ingin tinggal untuk makan malam?
Kesunyian itu dikoyakkan oleh suara Caius, si vampir berambut putih.
"Apa?" tuntutnya pada
Aro; suaranya, meski tak lebih dari sekadar bisikan, Terdengar datar.
"Caius, masa kau tidak
melihat potensi di sini?" Aro mencelanya dengan sikap sayang.
“Aku belum pernah melihat bakat
prospektif lain yang sangat menjanjikan sejak kita menemukan Jane dan Alec.
Dapatkah kaubayangkan kemungkinannya bila dia menjadi salah seorang di antara
kita?" Caius membuang muka dengan ekspresi sengit. Mata Jane berapi-api
karena tersinggung dibanding-bandingkan.
Penutup Novel Twilight (New Moon) – VONIS Bab 116
Gimana Novel twilight (New Moon) – Port VONIS Bab 116 ?
keren kan ceritanya. Tentunya kamu penasaran apa yang akan terjadi di bab
berikutnya. Jangan khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan baca bab
berikutnya dengan mengklik tombol navigasi bab di bawah ini.
0 comments: