Novel Twilight (New Moon), ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada orang
tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight (New Moon) Bab 115 yang dipersembahkan oleh Admin white novel. Semoga
bisa memberi hiburan, insipirasi dan solusi bagi setiap masalah yang kamu
hadapi.
Baca Novel Twilight – VONIS Bab 115
Alice mengangkat alisnya yang
indah, dan Edward menelengkan kepala.
Itu juga tak luput dari perhatian
Aro.
"Tapi bisa mendengar dari
jauh..." Aro mendesah, melambaikan tangan pada mereka berdua, dan
pertukaran pikiran yang baru saja terjadi.
"Itu akan sangat menyenangkan.” Aro memandang ke balik
bahu kami.
Semua kepala ikut berpaling ke
arah yang sama, termasuk Jane, Alice dan Demetri, yang berdiri tanpa suara di
sebelah kami.
Aku yang terakhir menoleh.
Felix sudah kembali, dan di belakangnya melenggang dua lelaki berjubah hitam.
Keduanya sangat mirip dengan Aro, salah satunya bahkan juga berambut hitam
tergerai. Yang satunya bahkan juga berambut hitam tergerai. Yang satunya lagi
berambut putih terang seperti salju – seputih wajahnya – yang tergerai lepas ke
bahu. Kulit wajah mereka samasama setipis kertas.
Lengkap sudah trio yang
tergambar pada lukisan Carlisle, tidak berubah meski tiga ratus tahun telah
berlalu semenjak lukisan itu dibuat.
"Marcus, Caius.
lihat!" seru Aro.
"Bella ternyata masih
hidup, dan Alice datang bersamanya! Hebat, bukan?"
Tak seorang pun di antara mereka tampak setuju dengan pemilihan kata hebat yang digunakan Aro. Si vampir berambut hitam terlihat sangat bosan, seakan-akan sudah terlalu sering menyaksikan antusiasme Aro yang meluap-luap selama berabad-abad. Wajah vampir yang lain masam di bawah rambutnya yang seputih salju. Ketidaktertarikan yang mereka tunjukkan tak mengurangi semangat Aro.
"Mari kita dengar
ceritanya bersama-sama," Aro nyaris berdendang dengan suaranya yang
sehalus bulu.
Si vampir tua berambut putih
menjauh, melenggang menghampiri salah satu singgasana kayu. Yang lain berhenti
di sebelah Aro, dan ia mengulurkan tangan, mulanya kukira hendak meraih tangan
Aro. Tapi ia hanya menyentuh telapak tangan Aro sekilas dan kemudian
menjatuhkan tangannya kembali.
Aro mengangkat sebelah alisnya
yang hitam. Aku jadi heran bagaimana kulitnya yang setipis kertas itu tidak
remuk oleh gerakan tersebut. Edward mendengus sangat pelan, dan Alice
memandanginya, ingin tahu.
"Terima kasih,
Marcus," ujar Aro.
"Itu sangat menarik,"
Sadarlah aku, sedetik
terlambat, bahwa Marcus membiarkan Aro mengetahui pikirannya.
Marcus kelihatannya tidak tertarik. Ia melenggang
menjauhi Aro, mendekati vampir satunya yang pastilah bernama Caius, yang duduk
menempel di dinding. Dua vampir yang mendampinginya mengikuti tanpa suara di
belakangnya—pengawal, seperti yang sudah kuduga sebelumnya. Aku bisa melihat
dua wanita bergaun musim panas yang berdiri mengapit Caius
dengan sikap sama. Agak konyol
menurutku bila vampir membutuhkan pengawal, tapi mungkin para vampir tua itu
sama rapuhnya seperti yang ditunjukkan kulit mereka. Aro menggelengkan kepala.
"Luar biasa," ucapnya.
"Benar-benar luar
biasa." Ekspresi Alice frustrasi.
Edward berpaling padanya dan
menjelaskan dengan ringkas dan suara pelan.
"Marcus bisa melihat
hubungan. Dia terkejut melihat betapa kuatnya hubungan kita." Aro
tersenyum.
"Sangat menyenangkan,"
ulangnya lagi. Lalu ia berbicara pada kami.
"Agak sulit membuat Marcus
terkejut, aku bisa memastikan."
Kutatap wajah Marcus yang datar
seperti mayat, dan aku percaya.
"Sungguh sulit dimengerti,
bahkan sekarang," renung Aro, menatap lengan Edward yang melingkari
pinggangku.
Sulit bagiku mengikuti jalan
pikiran Aro yang ruwet. Aku berusaha mengikuti dengan susah payah.
"Bagaimana kau bisa berdiri
sedekat itu dengannya?"
"Bukan berarti mudah,"
jawab Edward tenang.
"Namun tetap saja—la tua cantante! Sungguh mubazir!”
Edward tertawa datar,
“Aku menganggapnya lebih sebagai
harga yang harus dibayar.” Aro merasa skeptis.
“Harga yang sangat tinggi.”
“Kesempatan memang berharga
mahal.” Aro terbahak.
“Kalau saja aku tidak bisa
mencium aromanya melalui pikiranmu, aku tidak mungkin percaya godaan terhadap
darah seseorang bisa sekuat itu. Aku sendiri belum pernah merasakan hal seperti
itu. Kebanyakan kita rela menukar apa saja untuk dapat memiliki anugerah
sebesar itu, tapi kau malah...”
“Menyia-nyiakannya,” Edward
menyelesaikan kata-kata Aro, suaranya kini terdengar sinis.
Lagi-lagi Aro terbahak.
“Ah, betapa kangennya aku pada
sobatku, Carlisle! Kau mengingatkan aku padanya—hanya saja dia tidak segalak
kau."
"Carlisle jauh melebihi
aku dalam banyak hal lain."
"Tak pernah terpikir
olehku, aku akan pernah melihat Carlisle kehilangan kendali diri, tapi kau
membuatnya malu."
"Itu tidak benar."
Edward terdengar tidak sabar. Seolah-olah ia muak dengan basa-basi ini. Itu
membuatku semakin takut; mau tak mau aku jadi berusaha membayangkan apa yang ia
harapkan bakal terjadi.
“Aku senang melihat kesuksesannya," renung Aro.
"Kenanganmu mengenainya adalah anugerah bagiku,
meski itu membuatku sangat takjub. Aku heran karena ternyata aku... justru
senang melihat kesuksesannya di jalan tak lazim yang dipilihnya. Kukira dia
akan tersia-sia, melemah seiring berjalannya waktu. Aku sempat mencela
rencananya menemukan pihak-pihak lain yang setuju dengan pandangannya yang
aneh. Namun bagaimanapun aku senang karena ternyata aku keliru.”
Edward tidak menanggapi.
"Tapi pertahanan
dirimu!" Aro mendesah.
“Aku tidak tahu kekuatan
sehebat itu ternyata ada. Membiasakan diri mengabaikan godaan sedahsyat itu,
bukan hanya sekali melainkan berkali-kali— seandainya tidak merasakannya
sendiri, aku pasti tidak akan percaya."
Edward membalas pandangan kagum
Aro tanpa ekspresi. Aku cukup mengenali wajahnya—waktu tidak banyak
mengubahnya—untuk mengetahui bahwa di balik ekspresinya yang tenang, tersimpan
amarah yang menggelora. Susah payah aku berusaha mempertahankan napasku tetap
tenang.
"Hanya mengingat bagaimana
dia begitu menggairahkan bagimu..." Aro terkekeh.
"Membuatku haus."
Edward mengejang.
"Jangan merasa
terganggu," Aro meyakinkannya.
"Aku tidak bermaksud
mencelakakannya. Tapi aku sangat ingin tahu, mengenai satu hal secara
khusus." Ia menatapku dengan sikap sangat tertarik.
"Bolehkah?" tanyanya
penuh semangat, mengangkat sebelah tangan.
"Tanya saja padanya."
Edward menyarankan dengan nada datar.
"Tentu saja, kurang ajar benar aku!" seru
Aro.
“Bella,” ia berbicara sendiri padaku sekarang.
"Aku takjub karena kau satu-satunya yang
merupakan pengecualian terhadap bakat Edward yang mengagumkan itu—sungguh
sangat menarik hal semacam itu bisa terjadi! Dan aku jadi ingin tahu. berhubung
bakat kami serupa dalam banyak hal, apakah kau mau berbaik hati mengizinkan aku
untuk mencoba – melihat apakah kau merupakan pengecualian bagiku juga?”
Mataku serta-merta melirik Edward dengan penuh ketakutan.
Meski bertanya dengan sikap sopan yang berlebihan, aku tak yakin aku punya
pilihan. Ngeri rasanya membayangkan mengizinka Aro menyentuhku, namun tak urung
diam-diam aku tertarik oleh kesempatan menyentuh kulitnya yang aneh ini.
Penutup Novel Twilight (New Moon) – VONIS Bab 115
Gimana Novel twilight (New Moon) – Port VONIS Bab 115 ?
keren kan ceritanya. Tentunya kamu penasaran apa yang akan terjadi di bab
berikutnya. Jangan khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan baca bab
berikutnya dengan mengklik tombol navigasi bab di bawah ini.
0 comments: