Novel Twilight (New Moon), ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada orang
tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight (New Moon) Bab 114 yang dipersembahkan oleh Admin white novel. Semoga
bisa memberi hiburan, insipirasi dan solusi bagi setiap masalah yang kamu
hadapi.
Baca Novel Twilight – VONIS Bab 114
Aku ingin mengerang saat Edward menarikku memasuki
pintu itu. Kami memasuki ruangan yang lagi-lagi terbuat dan batu tua seperti
yang ada di alun-alun, di lorong, dan di saluran pembuang limbah.
Suasananya juga gelap dan dingin. Ruang peralihan dari
batu itu tidak besar. Di baliknya ada ruangan lain yang lebih terang dan besar
menyerupai gua, bentuknya bulat sempurna, seperti menara kasti yang besar...
mungkin benar ini menara.
Dua lantai ke atas, tampak dua jendela berbentuk celah
memanjang, membuat cahaya matahari yang menerobos melaluinya jatuh dalam bentuk
persegi panjang di lantai batu di bawahnya. Tidak ada cahaya buatan.
Satu-satunya perabot di ruangan itu hanyalah beberapa
kursi kayu besar seperti singgasana, yang diletakkan tidak beraturan, rata
dengan dinding batu yang melengkung. Di pusat lingkaran, di cekungan pendek,
terdapat saluran pembuangan limbah lagi. Aku bertanya-tanya dalam hati apakah
mereka menggunakannya sebagai jalan keluar, seperti lubang di jalan.
Ruang itu tidak kosong.
Segelintir orang berkumpul, tampaknya sedang mengobrol santai. Gumaman
suara-suara pelan dan halus terdengar bagai dengungan lembut di udara. Saat aku
melihat, sepasang wanita pucat bergaun musim panas berhenti di bawah sepetak
cahaya matahari, dan, seperti prisma, kulit mereka membiaskan pendar cahaya
pelangi ke dinding-dinding cokelat kusam.
Wajah-wajah memesona itu
menoleh begitu rombongan kami memasuki ruangan. Sebagian besar makhluk abadi
itu mengenakan celana panjang dan kemeja biasa – pokoknya, pakaian yang tidak
akan terlihat mencolok di jalan-jalan di bawah sana.
Namun lelaki yang pertama kali
berbicara mengenakan jubah panjang. Warnanya hitam pekat, dan menyapu lantai.
Aku sempat mengira rambut hitam kelamnya yang panjang adalah tudung jubahnya.
“Jane, Sayang, kau sudah
kembali!” seru lelaki itu senang.
Suaranya terdengar seperti
desahan lirih.
Lelaki itu melenggang maju, dan
gerakannya begitu luwes sampai-sampai aku ternganga, mulutku terbuka lebar.
Bahkan Alice, yang setiap gerakannya terlihat seperti menari, tidak bisa
menandinginya.
Aku lebih terperangah lagi saat lelaki itu melenggang
lebih dekat dan aku bisa melihat wajahnya. Tidak seperti wajah-wajah menarik
tapi
tidak natural yang
mengelilinginya (karena ia tidak menghampiri kami sendirian; seluruh rombongan
mengerubunginya dengan rapat, beberapa mengikuti di belakang, yang lain
berjalan mendahuluinya dengan sikap waspada khas pengawal).
Aku tidak bisa menentukan
apakah wajahnya tampan atau tidak. Garis-garis wajahnya memang sempurna. Tapi
ia berbeda dari para vampir di sampingnya, sama seperti mereka berbeda
denganku. Kulitnya putih transparan, seperti mereka berbeda denganku. Kulitnya
putih transparan, seperti kulit bawang, dan tampak sama rapuh – kelihatan
sangat kontras dengan rambut hitam panjang yang membingkai wajahnya.
Aku merasakan dorongan aneh
yang mengerikan untuk menyentuh pipinya, untuk merasakan apakah kulitnya lebih
lembut daripada kulit Edward atau Alice, dan bila diraba apakah terasa halus,
seperti kapur. Matanya merah, sama seperti makhluk-makhluk lain di sekitarnya,
tapi warnanya berselaput, keruh seperti susu; aku penasaran apakah pandangannya
terganggu oleh selaput itu.
Vampir itu melenggang
menghampiri Jane, merengkuh wajah Jane dengan tangannya yang berlapis kulit
setipis kertas, mendaratkan kecupan ringan di bibir tebal Jane, lalu melenggang
mundur selangkah.
“Ya, tuan,” Jane tersenyum;
ekspresinya membuatnya terlihat seperti bocah malaikat.
“Aku membawanya kembali
hidup-hidup seperti yang Anda inginkan.”
"Ah, Jane.” Vampir itu
tersenyum.
“Kau sungguh menenteramkan
hatiku." Ia mengarahkan matanya yang berkabut ke arah kami, dan senyumnya
semakin cerah – menjadi girang.
"Dan Alice dan Bella
juga!'' soraknya, bertepuk tangan dengan tangannya yang kurus.
"Ini benarbenar kejutan
yang menggembirakan! Hebat! Kupandangi vampir itu, shock mendengarnya menyebut nama kami dengan sikap ramah,
seolaholah kami teman lama yang mampir tanpa didugaduga. Vampir itu berpaling
pada pendamping kami yang bertubuh besar.
"Felix, tolong sampaikan
kepada saudara-saudaraku tentang kedatangan tamu-tamu kita. Aku yakin mereka
pasti tidak ingin melewatkan kesempatan ini"
"Baik, Tuan" Felix
mengangguk dan lenyap di balik pintu tempat kami masuk tadi.
"Kaulihat, Edward?"
Vampir aneh itu menoleh dan tersenyum pada Edward, seperti kakek yang sayang
tapi marah pada cucunya.
"Apa kubilang? Kau senang
kan, aku tidak mengabulkan permintaanmu kemarin?"
“Ya, Aro, aku senang," Edward membenarkan,
mempererat pelukannya di pinggangku.
“Aku suka akhir yang membahagiakan." Aro
mendesah.
"Itu sangat jarang terjadi. Tapi aku ingin
mendengar cerita selengkapnya. Bagaimana itu bisa terjadi? Alice?" Ia
berpaling kepada Alice,
sorot ingin tahu terpancar dari
matanya yang berkabut.
“Saudaramu sepertinya
menganggapmu tidak mungkin salah, tapi jelas ada kesalahan."
“Oh, aku masih jauh dari
sempurna." Alice menyunggingkan senyum memesona. Ia tampak sangat santai,
hanya saja kedua tangannya terkepal erat.
"Seperti yang Anda lihat
hari ini, aku menyebabkan masalah sesering aku menyelesaikannya."
"Kau terlalu rendah
hati," cela Aro.
"Aku sudah sering melihat
bakatmu yang luar biasa, dan harus kuakui, bakatmu benar-benar unik.
Hebat!" Alice melirik sekilas kepada Edward. Itu tidak luput dari
perhatian Aro.
"Maaf, kita belum berkenalan, bukan? Aku hanya
merasa seperti sudah mengenalmu, dan aku cenderung suka mendului. Saudaramu
memperkenalkan kita kemarin, dengan cara yang aneh. Begini, aku juga memiliki
sebagian bakat seperti yang dimiliki saudaramu, hanya saja aku memiliki
batasan, sedangkan dia tidak." Aro menggelengkan kepala; nadanya iri.
"Dan juga jauh lebih kuat," Edward
menambahkan dengan nada kering.
Ditatapnya Alice sementara ia menjelaskan dengan
cepat.
"Aro membutuhkan kontak fisik untuk bisa
mendengarkan pikiranmu, tapi dia bisa mendengar lebih banyak daripada aku. Kau
tahu aku hanya bisa mendengarkan pikiran yang sedang melintas dalam pikiranmu
saat ini. Aro bisa mendengar semua pikiran yang pernah singgah di kepalamu.
Penutup Novel Twilight (New Moon) – VONIS Bab 114
Gimana Novel twilight (New Moon) – Port VONIS Bab 114 ?
keren kan ceritanya. Tentunya kamu penasaran apa yang akan terjadi di bab
berikutnya. Jangan khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan baca bab
berikutnya dengan mengklik tombol navigasi bab di bawah ini.