Novel Twilight (New Moon), ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada orang
tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight (New Moon) Bab 113 yang dipersembahkan oleh Admin white novel. Semoga
bisa memberi hiburan, insipirasi dan solusi bagi setiap masalah yang kamu
hadapi.
Baca Novel Twilight – VONIS Bab 113
21. VONIS
KAMI berada di aula yang terang
benderang dan tidak mencolok. Dindingnya putih kusam, lantainya dilapisi karpet
abu-abu. Lampu-lampu neon persegi panjang terpasang dalam jarak yang sama di
sepanjang langit-langit. Hawa di sini lebih hangat, dan aku bersyukur
karenanya. Ruangan ini tampak sangat ramah dibandingkan saluran pembuangan limbah
berdinding batu yang gelap dan mengerikan tadi.
Sepertinya Edward tidak
sependapat dengan penilaianku. Matanya memandang garang ke lorong aula yang
panjang, ke sosok kurus hitam yang berdiri di ujung sana, dekat lift. Ia
menarikku bersamanya, sementara Alice berjalan di sisiku yang lain.
Pintu yang berat menutup dengan
suara berderit di belakang kami, kemudian terdengar bunyi gerendel digeser.
Jane menunggu di dekat lift, sebelah tangan memegangi pintu agar tetap terbuka
untuk kami.
Ekspresinya apatis.
Begitu masuk ke lift, tiga vampir yang bekerja untuk
keluarga Volturi terlihat semakin rileks. Mereka menyingkapkan jubah mereka,
membiarkan penutup kepala terbuka dan terkulai di pundak.
Baik Felix maupun Demetri sama-sama memiliki kulit
sewarna zaitun—kelihatan aneh dikombinasikan dengan raut wajah mereka yang
pucat seperti kapur. Rambut hitam Felix dipangkas pendek, sementara rambut
Demetri tergerai lepas berombak-ombak ke bahunya. Mata mereka merah tua di
bagian pinggir, tapi semakin gelap hingga nyaris hitam di sekitar pupil. Di
balik jubah, baju mereka modern, pucat, dan biasa.
Aku mengkeret di sudut, menempel pada Edward.
Tangannya masih menggosok-gosok lenganku. Matanya tak pernah lepas memandangi
Jane. Perjalanan dengan lift singkat saja; kami melangkah memasuki ruangan yang
kelihatannya seperti ruang penerimaan tamu yang mewah.
Dinding-dindingnya berlapis panel kayu, lantainya
ditutup karpet tebal empuk berwarna hijau. Tak ada jendela, tapi
lukisan-lukisan besar bergambar pemandangan daerah pedesaan Tuscan yang
diterangi cahaya lampu benderang tergantung di mana-mana sebagai pengganti
jendela. Sofa-sofa kulit berwarna lembut ditata membentuk kelompok-kelompok
yang nyaman, dan meja-meja mengilap dihiasi vas-vas kristal penuh karangan
bunga berwarna-warni meriah.
Aroma bungabunga itu mengingatkanku pada rumah duka.
Di tengah ruangan berdiri konter tinggi mengilap dari kayu mahoni. Aku
ternganga keheranan melihat seorang wanita berdiri di baliknya. Wanita itu
bertubuh tinggi, dengan kulit gelap dan mata hijau. Ia akan terlihat sangat
cantik di perusahaan lain—tapi tidak di sini. Karena ia juga manusia, sama
seperti aku. Aku tidak mengerti apa yang dikerjakan wanita manusia itu di sini,
sikapnya begitu rileks, dikelilingi para vampir. Wanita itu tersenyum sopan
menyambut kedatangan kami.
“Selamat siang, Jane,” sapanya.
Tidak ada keterkejutan di wajahnya saat ia melirik
rombongan Jane. Tidak juga Edward yang dada telanjangnya berkilau samar
tertimpa cahaya lampu putih, atau bahkan aku, yang acak-acakan dan sangat jelek
bila dibandingkan dengannya. Jane menangguk.
“Gianna.”
Ia terus berjalan menuju sepasang pintu ganda di
bagian belakang ruangan, dan kami semua mengikuti. Saat Felix melewati meja. ia
mengedipkan mata pada Gianna, dan wanita itu tertawa. Di sisi dalam pintu kayu
itu terdapat ruang penerimaan tamu lain yang berbeda jenisnya.
Bocah lelaki pucat bersetelan abu-abu mutiara bisa
dikira kembaran Jane. Rambutnya lebih gelap, dan bibirnya tidak sepenuh bibir
Jane, namun sama memikatnya. Ia maju menghampiri kami. Sambil tersenyum
tangannya terulur pada Jane.
"Jane."
"Alec," sahut Jane
memeluk pemuda itu. Mereka berciuman pipi.
Kemudian pemuda itu menatap
kami.
"Mereka mengirimmu keluar
untuk membawa satu tapi kau kembali dengan membawa dua... setengah," kata
pemuda itu, menatapku.
"Bagus sekali." Jane
tertawa—suaranya ceria seperti celotehan bayi.
"Selamat datang kembali,
Edward," Alec menyapanya.
"Sepertinya suasana hatimu
sudah lebih baik."
“Sedikit," Edward
membenarkan dengan nada datar.
Kulirik wajah Edward yang
keras, dan bertanya-tanya dalam hati bagaimana mungkin suasana hatinya bisa
lebih buruk dari sekarang. Alec terkekeh, dan memerhatikan aku yang menempel
erat di sisi Edward.
"Jadi, inikah si pembuat
heboh itu?" tanyanya, skeptis.
Edward hanya tersenyum,
ekspresinya sinis.
Kemudian tubuhnya mengejang.
"Bodoh," ucap Felix
dengan nada biasa-biasa saja dari belakang.
Edward berbalik, geraman rendah
terdengar dari dadanya. Felix tersenyum—tangannya terangkat, telapak tangan
mengarah ke atas; ia menekukkan jari-jarinya dua kali, mengundang Edward untuk
maju.
Alice menyentuh lengan Edward.
"Sabar," ia
mengingatkan.
Mereka bertukar pandang cukup
lama, dan aku berharap bisa mendengar apa yang dikatakan Alice padanya.
Menurutku pasti ada hubungannya dengan tidak menyerang Felix, karena Edward
menarik napas dalam-dalam dan berpaling kembali pada Alec.
"Aro pasti sangat senang bisa bertemu lagi
denganmu," kata Alec, seolah tidak terjadi apa-apa.
"Kalau begitu jangan
biarkan dia menunggu terlalu lama," saran Jane. Edward mengangguk satu
kali.
Alec dan Jane, bergandengan
tangan, berjalan mendului kami memasuki aula lain yang luas dan sarat
hiasan—apakah ruangan ini ada ujungnya? Mereka mengabaikan pintu-pintu di ujung
aula—pintu-pintu itu seluruhnya dilapisi emas— berhenti di tengah jalan sebelum
mencapai ujungnya, dan menggeser panel yang menutupi pintu kayu polos. Pintu
itu tidak terkunci. Alec membukakannya untuk Jane.
Penutup Novel Twilight (New Moon) – VONIS Bab 113
Gimana Novel twilight (New Moon) – Port VONIS Bab 113 ?
keren kan ceritanya. Tentunya kamu penasaran apa yang akan terjadi di bab
berikutnya. Jangan khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan baca bab
berikutnya dengan mengklik tombol navigasi bab di bawah ini.