Novel Twilight (New Moon), ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada orang
tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight (New Moon) Bab 110 yang dipersembahkan oleh Admin white novel. Semoga
bisa memberi hiburan, insipirasi dan solusi bagi setiap masalah yang kamu
hadapi.
Baca Novel Twilight – VOLTERRA Bab 110
“Edward, jangan!" jeritku,
tapi suaraku hilang ditelan gemuruh lonceng yang bergaung.
Aku bisa melihatnya sekarang.
Dan bisa kulihat bahwa ia tidak melihatku. Itu benar-benar Edward, kali ini
bukan halusinasi. Dan tahulah aku delusiku ternyata lebih kacau daripada yang
kusadari; bayanganku tentang Edward tak seindah aslinya. Edward berdiri, tak
bergerak seperti patung, hanya beberapa meter dari mulut gang.
Matanya terpejam, lingkaran di
bawahnya berwarna ungu tua, kedua lengannya terkulai rileks di sisi tubuhnya,
telapak tangan mengarah ke atas. Ekspresinya sangat damai, seolah sedang
membayangkan hal-hal menyenangkan. Kulit dadanya yang seperti marmer
telanjang—sehelai kain putih teronggok dekat kakinya.
Cahaya yang memantul dari jalan
alun-alun yang dilapisi batu gemerlap samar oleh kilau yang terpantul dari
kulitnya.
Belum pernah aku melihat pemandangan yang lebih indah
daripada itu—bahkan saat aku berlari, terengah-engah dan berteriak-teriak, tak
urung aku terpesona. Dan tujuh bulan terakhir tak berarti apa-apa.
Kata-katanya di hutan dulu tak berarti apa-apa. Bukan
masalah bila ia tidak menginginkanku. Aku tidak akan pernah menginginkan hai
lain selain dirinya, tak peduli betapa pun lamanya aku hidup. Jam berdentang,
dan Edward melangkah lebar menuju cahaya.
"Tidak!" jeritku.
"Edward, lihat aku!"
Edward tidak mendengarkan.
Bibirnya tersenyum kecil. Ia
mengangkat kakinya, siap mengambil langkah yang akan membawanya langsung ke
bawah sorotan matahari.
Aku menabraknya begitu keras
hingga kekuatannya pasti akan membuatku tersungkur ke tanah seandainya kedua
lengannya tidak menangkap dan memegangiku. Benturan itu membuatku kehabisan
napas dan menyentakkan kepalaku ke belakang.
Mata Edward yang gelap
perlahan-lahan terbuka sementara jam kembali berdentang. Ia menunduk, menatapku
dengan keterkejutan tanpa suara.
"Luar biasa," ucapnya, suaranya yang merdu
itu terdengar takjub, sedikit geli.
"Carlisle benar."
"Edward," aku berusaha menarik napas, tapi
tidak ada yang suara yang keluar.
"Kau harus kembali ke tempat teduh. Kau harus
pindah!"
Edward tampak terpesona.
Tangannya membelai pipiku lembut. Sepertinya ia tidak sadar aku berusaha
memaksanya kembali. Rasanya seperti mendorong tembok. Jam berdentang tapi
Edward tidak bereaksi.
Aneh sekali, padahal aku tahu
saat itu kami berada dalam bahaya maut. Namun detik itu aku merasa damai. Utuh.
Aku bisa merasakan jantungku berpacu kencang di dadaku, darah mendesir panas
dan cepat mengisi pembuluh darahku lagi.
Paru-paruku dipenuhi aroma
harum yang menguar dari kulitnya. Seakan-akan tak pernah ada lubang di dadaku.
Aku sempurna – bukan sembuh, karena seolah-olah memang tak pernah ada luka di
sana.
“Aku tidak percaya prosesnya
ternyata cepat sekali. Aku tidak merasa apa-apa, hebat sekali mereka,"
renung Edward, memejamkan matanya lagi dan menempelkan bibirnya ke rambutku.
Suaranya bagaikan madu dan
beledu.
"Kematian, yang mengisap
madu dari desah napasmu, tak memiliki kuasa terhadir kecantikanmu,"
bisiknya, dan aku mengenali sebaris kalimat yang diucapkan Romeo di kuburan.
Jam berdentang untuk terakhir kali.
"Aroma tubuhmu juga persis
sama," sambung Edward.
"Jadi mungkin inilah
neraka. Aku tidak peduli. Aku akan menerimanya."
"Aku belum mati,"
selaku.
"Dan kau juga belum!
Kumohon, Edward, kita harus pindah. Mereka pasti tidak jauh dari sini!"
Aku memberontak dalam pelukannya, dan alis Edward
bertaut bingung.
"Apa?’ tanyanya sopan.
“Kita tidak mati, belum! Tapi
kita harus pindah dari sini sebelum keluarga Volturi—" Pemahaman
berkelebat di wajahnya saat aku bicara.
Belum lagi aku selesai bicara.
Edward tibatiba menarikku menjauhi tepi keteduhan, membalikkan badanku dengan
mudah hingga punggungku menempel di dinding bata, dan ia memunggungiku
menghadap ke gang. Kedua lengannya terbentang lebar, melindungi, di depanku.
Aku mengintip dari bawah lengannya dan melihat dua sosok
hitam keluar dari balik bayangbayang.
"Salam, Tuan-Tuan,"
suara Edward tenang dan ramah, di permukaan.
"Kurasa aku tidak
membutuhkan layanan kalian hari ini. Aku akan sangat berterima kasih, bila
kalian bersedia menyampaikan ucapan terima kasihku kepada tuan-tuan
kalian."
"Bagaimana kalau kita
pindahkan pembicaraan ke tempat lain yang lebih memadai?" suara halus
berbisik dengan nada mengancam.
"Menurutku itu tidak perlu." Suara Edward
lebih keras sekarang.
“Aku tahu instruksimu, Felix. Aku tidak melanggar
aturan apa pun."
"Felix hanya bermaksud menegaskan keberadaan
matahari," kata bayang-bayang lain dengan nada menenangkan. Mereka
tersembunyi di balik jubah abu-abu gelap yang panjangnya mencapai tanah dan
mengembang tertiup angin.
"Mari kita cari tempat yang lebih teduh."
"Aku akan menyusul tepat di belakang
kalian," ujar Edward kering.
"Bella, bagaimana kalau kau kembali ke alun-alun
dan menikmati festival?"
"Tidak, bawa gadis itu," bayang-bayang
pertama berkata entah bagaimana bisa memperdengarkan nada mengerling dalam
bisikannya.
"Kurasa tidak." Sikap pura-pura ramah yang
ditunjukkan Edward langsung lenyap. Suara Edward datar dan dingin. Ia sedikit
mengubah posisi tubuhnya, dan bisa kulihat ia siap-siap bertarung.
"Tidak." Aku hanya
mampu menggerakkan mulut tanpa suara.
"Ssst," bisik Edward,
ditujukan hanya padaku.
“Felix," bayang-bayang
kedua, yang lebih bisa mengerti, mengingatkan.
"Jangan di sini." Ia
berpaling kepada Edward.
"Aro hanya ingin bicara
lagi denganmu, kalau kau sudah memutuskan untuk tidak lagi memaksa kami menurun
keinginanmu."
“Tentu saja," Edward
setuju.
"Tapi biarkan gadis ini
pergi.”
“Aku khawatir itu tidak
mungkin," bayangbayang sopan itu menyahut dengan sikap menyesal.
"Kami memiliki aturan yang
harus ditaati.”
"Kalau begitu aku khawatir
tidak akan bisa menerima undangan Aro, Demetri."
"Baiklah kalau
begitu," dengkur Felix. Mataku sudah bisa beradaptasi dengan keadaan yang
remang-remang, dan kulihat ternyata Felix bertubuh sangat besar, tinggi dan
tebal di bagian pundak. Ukuran tubuhnya mengingatkanku pada Emmett.
“Aro pasti kecewa," desah
Demetri.
"Aku yakin dia pasti bisa
mengatasi kekecewaannya," sahut Edward. Felix dan Demetri beringsut
semakin dekat ke mulut gang sedikit demi sedikit memperlebar jarak di antara
mereka sehingga bisa menyerang Edward dari dua sisi.
Mereka bermaksud memaksanya
masuk lebih dalam ke lorong, untuk menghindari keributan. Tak ada pantulan
cahaya bisa menyentuh kulit mereka; keduanya aman di balik jubah.
Edward tidak bergerak sedikit
pun. Ia menempatkan dirinya dalam bahaya karena melindungiku.
Tiba-tiba Edward menolehkan
kepalanya dengan cepat, ke arah kegelapan lorong yang berkelokkelok. Demetri
dan Felix melakukan hal yang sama, sebagai respons atas suara atau gerakan yang
terlalu halus untuk pancaindraku.
"Bagaimana bila kita
menjaga sikap?" sebuah suara merdu mengalun menyarankan.
"Ada wanita di sini."
Penutup Novel Twilight (New Moon) – VOLTERRA Bab 110
Gimana Novel twilight (New Moon) – Port VOLTERRA Bab 110
? keren kan ceritanya. Tentunya kamu penasaran apa yang akan terjadi di bab
berikutnya. Jangan khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan baca bab
berikutnya dengan mengklik tombol navigasi bab di bawah ini.
0 comments: