Novel Twilight (New Moon), ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada orang
tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight (New Moon) Bab 109 yang dipersembahkan oleh Admin white novel. Semoga
bisa memberi hiburan, insipirasi dan solusi bagi setiap masalah yang kamu
hadapi.
Baca Novel Twilight – VOLTERRA Bab 109
Alice memacu mobil dengan cepat
sambil sesekali mengerem mendadak, dan orang-orang di jalan mengacungkan tinju
mereka kepada kami dan meneriakkan kata-kata bernada marah yang untungnya tidak
kumengerti.
Ia berbelok memasuki jalan
kecil yang tak mungkin diperuntukkan bagi mobil; orang-orang yang shock sampai harus menempelkan tubuh
rapat-rapat ke ambang pintu di pinggir jalan saat kami lewat.
Kami menemukan jalan lain di
ujungnya. Bangunan-bangunan di sini lebih tinggi; lantai teratas condong ke
jalan dan bertemu di tengah sehingga tak ada sinar matahari menyentuh
trotoar—bendera-bendera merah yang berkibar di tiap-tiap sisi nyaris
bersentuhan.
Kerumunan orang di sini bahkan
lebih padat daripada di tempat lain. Alice menghentikan mobil. Aku sudah
membuka pintu sebelum mobil sepenuhnya berhenti.
Alice menuding ke jalan yang melebar ke sepetak ruang
terbuka yang terang benderang.
"Di sana— kita sekarang di selatan alun-alun.
Larilah menyeberangi alun-alun, ke kanan menara jam. Aku akan mencari jalan
memutar—" Napas Alice mendadak terkesiap, dan saat ia bicara lagi;
suaranya berupa desisan.
"Mereka ada di mana-mana!”
Aku langsung tegang, tapi Alice
mendorongku keluar mobil.
"Lupakan mereka. Waktumu
tinggal dua menit. Lari, Bella, lari!" teriaknya, turun dari mobil sambil
bicara.
Aku tak sempat melihat Alice
melebur dalam bayang-bayang. Aku juga tak sempat menutup pintu mobil di
belakangku. Kudorong seorang wanita yang menghalangi jalanku dan berlari
sekencang-kencangnya dengan kepala tertunduk, tidak menggubris apa pun kecuali
batu-batu tidak rata di bawah kakiku.
Keluar dari lorong yang gelap,
mataku dibutakan cahaya matahari yang menyorot tajam ke alunalun utama. Angin
menderu menerpaku, menerbangkan rambut hingga menutupi mata dan semakin
membutakan mataku. Tidak heran aku tidak melihat pagar betis di depanku sampai
aku menabraknya.
Tak ada ruang lowong, tak ada
celah sedikit pun di antara tubuh-tubuh yang saling berimpitan itu.
Kudorong mereka dengan marah, melawan tangan tangan yang
balas mendorongku. Kudengar seruan-seruan kesal dan bahkan jerit kesakitan saat
aku berjuang menerobos kerumunan, tapi tidak ada yang dilontarkan dalam bahasa
yang kukenal.
Wajah-wajah kabur yang penuh amarah dan kekagetan, lagi-lagi
dikelilingi warna merah. Seorang wanita berambut pirang cemberut padaku, dan
syal merah yang melilit lehernya tampak seperti luka mengerikan. Seorang anak
yang dipanggul di atas bahu seorang laki-laki,
menunduk dan nyengir padaku,
bibirnya terbuka, memamerkan taring vampir dari plastik. Kerumunan itu
mendesak-desakku, memutar badanku ke arah yang salah. Aku senang ada menara jam
yang bisa menjadi patokan, kalau tidak aku pasti sudah kehilangan arah.
Tapi kedua jarum jam yang
terpampang di sana beringsutingsut mengarah ke matahari yang tak kenal belas
kasihan, dan walaupun aku mendorong kerumunan sekuat tenaga, aku tahu aku
terlambat. Aku balikan belum sampai setengah jalan.
Aku tidak akan berhasil. Aku
tolol, lamban, dan aku manusia, dalami semua akan mari karenanya.
Aku berharap Alice bisa keluar.
Aku berharap Alice akan melihatku dari balik bayang-bayang gelap dan tahu aku
telah gagal, supaya ia bisa pulang ke Jasper.
Aku memasang telinga, berusaha
mendengarkan di balik seruan-seruan bernada marah, suara yang akan menjadi
pertanda bahwa hal yang kutakutkan telah terjadi: napas tertahan, mungkin
teriakan, saat seseorang melihat Edward.
Namun saat itu ada celah di
tengah kerumunan—aku bisa melihat ruang kosong di depan. Cepat-cepat aku
berlari menghampirinya, tidak menyadarinya sampai tulang keringku memar
menabrak bata. Rupanya ada kolam air mancur besar berbentuk segiempat, tepat di
tengah alun-alun.
Aku nyaris menangis lega saat mengayunkan kakiku ke
pinggir kolam dan berlari mengarungi air
selutut. Air bercipratan di
sekelilingku saat aku berlari melintasi air kolam. Bahkan di bawah terik
matahari, angin yang bertiup terasa sangat dingin, dan basah membuat dingin itu
menyakitkan.
Tapi kolam air mancur itu
sangat lebar; aku jadi bisa menyeberangi pusat alun-alun hanya dalam beberapa
detik. Aku tidak berhenti saat mencapai sisi seberang—aku menggunakan dinding
kolam yang rendah sebagai tumpuan, dan melemparkan diri ke tengah kerumunan.
Kini orang-orang justru
menghindariku, tak ingin terciprat air dingin yang menetes-netes dari bajuku
yang basah saat aku berlari. Aku menengadah, menatap jam lagi. Dentang lonceng
yang dalam dan menggemuruh bergaung ke segenap penjuru alun-alun.
Getarannya terasa hingga ke
batu-batu di bawah kakiku. Anak-anak menangis, menutup telinga. Dan aku mulai
berteriak sambil berlari,
"Edward!" jeritku,
tahu itu sia-sia. Kerumunan ini terlalu berisik, dan suaraku terengah-engah
karena lelah. Tapi aku tak bisa berhenti berteriak. Jam kembali berdentang. Aku
berlari melewati seorang anak dalam gendongan ibunya— rambutnya nyaris putih di
bawah cahaya matahari yang terik. Sekelompok lelaki jangkung, semuanya
mengenakan blazer merah, berteriak mengingatkan saat aku menghambur menerobos
mereka. Jam berdentang lagi.
Di balik para lelaki berblazer itu, tampak celah di
tengah kerumunan, ruang kosong di antara para pengunjung yang berdesak-desakan
di sekelilingku. Mataku menyapu lorong gelap di sebelah kanan alun-alun
segiempat luas di bawah menara jam. Aku tak bisa melihat jalan—terlalu banyak
orang yang menghalangiku. Jam kembali berdentang.
Sulit melihat sekarang. Tanpa kerumunan yang menahan angin,
angin menampar wajahku dan membakar mataku. Entah itukah yang membuat air
mataku merebak, atau apakah aku menangis kalah saat jam kembali berdentang.
Sebuah keluarga kecil beranggotakan empat orang berdiri paling dekat dengan
mulut gang. Dua gadis mengenakan gaun merah, dengan pita senada menghiasi
rambut gelap mereka yang diikat ke belakang. Sang ayah tidak tinggi.
Sepertinya aku bisa melihat sesuatu yang benderang di
keteduhan, tepat di atas bahunya. Aku menghambur ke arah mereka, berusaha
melihat dari balik air mataku yang pedih. Jam berdentang, dan gadis terkecil
menutup telinganya rapat-rapat. Gadis yang lebih tua, tingginya hanya
sepinggang ibunya, merangkul kaki sang ibu dan memandang ke dalam bayang-bayang
di belakang mereka.
Kulihat gadis itu menarik-narik siku ibunya dan menuding ke
keteduhan. Jam berdentang, dan aku sudah sangat dekat sekarang. Aku sudah cukup
dekat sehingga bisa mendengar suara si sadis kecil yang melengking tinggi.
Ayahnya menatapku terperanjat saat aku menghambur
menghampiri mereka, meneriakkan nama Edward berkali-kali dengan suara serak. Si
gadis yang lebih tua tertawa terkikik dan mengatakan sesuatu pada ibunya,
menuding lagi ke bayang-bayang dengan sikap tidak sabar.
Aku meliuk melewati sang ayah—ia buru-buru berkelit,
mengamankan bayinya agar tidak tertabrak olehku—dan berlari sekencangkencangnya
ke ruang gelap di belakang mereka sementara jam berdentang nyaring di atas
kepalaku.
Penutup Novel Twilight (New Moon) – VOLTERRA Bab 109
Gimana Novel twilight (New Moon) – Port VOLTERRA Bab 109
? keren kan ceritanya. Tentunya kamu penasaran apa yang akan terjadi di bab
berikutnya. Jangan khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan baca bab
berikutnya dengan mengklik tombol navigasi bab di bawah ini.
0 comments: