Novel Twilight (New Moon), ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada orang
tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight (New Moon) Bab 108 yang dipersembahkan oleh Admin white novel. Semoga
bisa memberi hiburan, insipirasi dan solusi bagi setiap masalah yang kamu
hadapi.
Baca Novel Twilight – VOLTERRA Bab 108
20. VOLTERRA
KAMI memulai pendakian yang
terjal, dan jalanan makin lama makin sesak. Saat jalan berkelok semakin tinggi,
mobil-mobil berjajar berimpitan hingga sulit bagi Alice untuk menyelipnyelip di
antara mereka. Laju mobil kami melambat dan mulai merangkak di belakang Peugeot
kecil cokelat.
"Alice," erangku. Jam
di dasbor tampaknya bergerak semakin cepat.
“Hanya ini satu-satunya jalan
masuk," Alice mencoba menenangkan.
Tapi suaranya terlalu tegang
untuk bisa menenangkan Mobil-mobil terus beringsut maju, setiap kali hanya
mampu bergerak beberapa puluh senti. Terik matahari begitu cemerlang, rasanya
sudah berada tepat di atas kepala.
Mobil-mobil merayap satu per satu menuju kota. Setelah
kami semakin dekat, aku bisa melihat mobil-mobil diparkir Pinggir jalan dan orangorang turun, berjalan
kaki. Mulanya kukira itu karena mereka tidak sabar – sesuatu yang bisa
kupahami. Tapi kemudian mobil melewati
tikungan, dan aku bisa melihat
lapangan parkir di luar tembok kota, serta kerumunan orang berjalan melewati
gerbang. Tak ada yang diizinkan masuk dengan mengendarai mobil.
“Alice,” bisikku mendesak.
“Aku tahu," jawabnya.
Wajahnya seperti pahatan es.
Sekarang setelah aku
menyadarinya, dan karena mobil merayap sangat lambat hingga aku bisa melihat
keadaan sekelilingku, ternyata hari sangat berangin. Orang-orang yang
berdesak-desakan menuju pintu gerbang mencengkeram topi erat-erat dan menepis
rambut dari wajah mereka. Pakaian mereka berkibaran.
Aku juga melihat warna merah di
mana-mana. Baju merah, topi merah, bendera merah menjulur bagaikan pita-pita
panjang di samping gerbang, berkibar-kibar ditiup angin— tepat di depan mataku,
syal merah terang yang dililitkan seorang wanita di rambutnya mendadak terbang
tertiup angin.
Syal itu terpilin ke udara,
menggeliat-geliat seperti makhluk hidup. Wanita itu meraih syalnya, melompat ke
udara, tapi syal itu berkibar lebih tinggi, seutas warna merah darah dengan
latar belakang dinding tembok kuno yang kusam.
"Bella" Alice berkata dengan nada rendah dan
mendesak.
“Aku tidak bisa melihat apa yang akan diputuskan
penjaga itu di sini—kalau aku tidak bisa masuk, kau harus masuk sendiri. Kau
harus berlari. Tanya saja jalan menuju Palazzo dei Priori, dan berlarilah ke
arah yang mereka tunjukkan. Jangan sampai tersesat."
"Palazzo dei Priori,
Palazzo dei Priori," aku mengulang-ulang nama itu, berusaha menghafalnya.
"Atau ‘menara jam', kalau
mereka bisa berbahasa Inggris. Aku akan memutar dan berusaha mencari tempat
sepi di belakang kota supaya bisa memanjat tembok.” Aku mengangguk.
“Palazzo dei Priori.”
“Edward akan berada di bawah
menara jam, di utara alun-alun. Di sebelah kanannya ada gang sempit, dan dia
menunggu di sana, di bawah bayang-bayang. Kau harus menarik perhatiannya
sebelum dia keluar ke bawah terik matahari.” Aku mengangguk-angguk cepat.
Alice sudah mendekati bagian
depan barisan. Tampak seorang lelaki berserat biru laut mengarahkan arus lalu
lintas, membelokkan mobil-mobil menjauhi lapangan parkir yang penuh.
Mobil-mobil itu berputar arah dan kembali untuk mencari tempat parkir di pinggir
jalan. Lalu tibalah giliran Alice.
Lelaki berseragam itu
menggerak-gerakkan tangannya dengan sikap ogah-ogahan, tidak memerhatikan.
Alice menekan pedal gas,
menyusup di sampingnya, melaju menuju gerbang. Lelaki itu meneriakkan sesuatu
pada kami, tapi tetap berdiri di tempat, melambai-lambaikan tangan kalang-kabut
pada mobil berikut agar tidak meniru kelakuan buruk kami.
Lelaki di pintu gerbang mengenakan seragam yang sama.
Saat kami mendekat, gerombolan turis melewati kami, memenuhi trotoar, memandang
dengan sikap ingin tahu Porsche mewah yang memaksa masuk itu.
Si penjaga berdiri tepat di
tengah jalan. Alice memiringkan mobil hati-hati sebelum berhenti. Sinar
matahari menerpa jendelaku, dan Alice terlindung oleh bayang-bayang. Dengan
cekatan tangannya terulur ke belakang kursi dan menyambar sesuatu dari dalam
tasnya.
Penjaga itu menghampiri mobil
dengan ekspresi kesal, lalu dengan marah mengetuk kaca jendela Alice.
Alice menurunkan kaca jendelanya
separo, dan kulihat penjaga itu terperangah sedikit begitu melihat wajah yang
menyembul di balik kaca mobil yang gelap.
"Maaf hanya bus pariwisata
yang diperkenankan masuk k, kota hari ini, Miss," kata penjaga itu dengan
bahasa Inggris patah-patah yang berlogat kental.
Nadanya kini meminta maaf,
seolah-olah menyesal harus menyampaikan kabar buruk pada wanita yang sangat
memesona.
“Ini tur pribadi," sahut
Alice, menyunggingkan senyum memikat.
Ia mengulurkan tangan ke luar
jendela, ke terik matahari. Aku menegang, sebelum kemudian sadar bahwa ia
mengenakan sarung tangan warna kulit sebatas siku. Alice meraih tangan si
penjaga yang masih terangkat sehabis mengetuk kaca jendelanya tadi, lalu
menariknya ke dalam mobil.
Alice meletakkan sesuatu ke
telapak tangan si penjaga, lalu menutup jari-jarinya. Wajah si penjaga tampak
linglung waktu ia
menarik kembali tangannya dan
memandangi gulungan tebal uang yang kini dipegangnya. Yang terluar adalah
lembaran seribu dolar. "Apakah ini lelucon?" gumam si penjaga. Senyum
Alice membutakan. "Hanya bila Anda menganggapnya lucu."
Penjaga itu menatap Alice,
matanya membelalak lebar. Dengan gugup kulirik jam di dasbor. Kalau Edward
tetap dengan rencana semula, kami hanya punya waktu lima menit.
"Aku agak
terburu-buru," ucap Alice, masih tersenyum.
Penjaga itu mengerjap dua kali,
kemudian menyurukkan uang itu ke dalam rompinya. Ia mundur selangkah menjauhi
jendela dan melambaikan tangan, menyilakan kami lewat.
Tampaknya tak ada yang
menyadari perpindahan uang secara diam-diam tadi, Alice melaju memasuki kota,
dan kami sama-sama mengembuskan napas lega.
Jalanan sangat sempit, dilapisi bebatuan yang warnanya
sama dengan bangunan-bangunan cokelat kayu manis pudar yang menutupi jalan
dengan bayang-bayangnya. Rasanya seperti yang menutupi berada di gang.
Bendera-bendera merah menghiasi dinding, satu sama
lain hanya berjarak beberapa meter, berkibar-kibar ditiup angin yang melengking
di jalan sempit itu. Jalanan penuh sesak, dan para pejalan kaki membuat laju
kami terhambar.
"Tidak jauh lagi,” Alice menyemangatiku; tanganku
mencengkeram pegangan pintu, siap meloncat ke jalan begitu mendapat aba-aba
dari Alice.
Penutup Novel Twilight (New Moon) – VOLTERRA Bab 108
Gimana Novel twilight (New Moon) – Port VOLTERRA Bab 108
? keren kan ceritanya. Tentunya kamu penasaran apa yang akan terjadi di bab
berikutnya. Jangan khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan baca bab
berikutnya dengan mengklik tombol navigasi bab di bawah ini.
0 comments: