Novel Twilight (New Moon), ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada orang
tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight (New Moon) Bab 105 yang dipersembahkan oleh Admin white novel. Semoga
bisa memberi hiburan, insipirasi dan solusi bagi setiap masalah yang kamu
hadapi.
Baca Novel Twilight – BERPACU Bab 105
“Hentikan, Bella, atau kita
berbalik di New York dan kembali ke Forks.”
“Apa?”
“Kau tahu maksudku. Kalau kita
terlambat menyelamatkan Edward, aku akan berusaha sekuat tenaga mengembalikanmu
ke Charlie, dan aku tak mau kau berulah macam-macam. Mengerti?”
"Tentu, Alice."
Alice mundur sedikit agar bisa
memelototiku.
"Jangan macam-macam."
"Sumpah pramuka " tukasku. Alice memutar
bola matanya.
"Biarkan aku
berkonsentrasi sekarang. Aku akan mencoba melihat apa yang
direncanakannya."
Sebelah tangan Alice tetap
merangkulku, tapi ia menyandarkan kepalanya ke kursi dan memejamkan mata. Ia
menempelkan tangan satunya ke sisi wajah, mengusap-usapkan ujung jarinya ke
pelipis.
Aku mengawasinya dengan takjub.
Akhirnya ia
diam, tak bergerak sama sekali.
Menit-menit berlalu, dan kalau aku tidak mengenalnya, aku mungkin mengira Alice
tertidur.
Aku tidak berani mengganggunya untuk bertanya. Aku tidak mengizinkan diriku membayangkan kengerian yang akan kami hadapi, atau, yang lebih mengerikan, kemungkinan bahwa kami bakal gagal—tidak kalau aku tak ingin menjerit sekeraskerasnya.
Aku juga tak bisa
mengantisipasi apa-apa. Mungkin kalau aku sangat, sangat, sangat beruntung, aku
bisa menyelamatkan Edward, bagaimanapun caranya. Tapi aku tidak setolol itu,
mengira dengan menyelamatkannya, aku bisa tinggal bersamanya. Aku tidak
berbeda, tidak lebih istimewa daripada sebelumnya. Tak ada alasan baru mengapa
ia menginginkanku sekarang. Bertemu dengannya dan kemudian kehilangan dia
lagi...
Kulawan rasa sedih itu. Ini harga yang harus kubayar
untuk menyelamatkan hidupnya. Aku akan membayarnya.
Film diputar, dan penumpang di sebelahku
memasang headphone. Terkadang aku melihat juga sosok-sosok yang berkelebat di
layar monitor yang kecil, tapi tidak tahu apakah itu film roman atau horor.
Rasanya seperti berabad-abad
baru pesawat mulai mengurangi ketinggian untuk mendarat di New York City. Alice
bergeming dalam trance-nya. Aku bingung harus bagaimana. Kuulurkan tanganku
untuk menyentuhnya, tapi lalu kutarik lagi. Ini terjadi belasan kali sebelum
pesawat terguncang menyentuh landasan.
"Alice," kataku
akhirnya.
“Alice, kita harus turun."
Aku menyentuh lengannya.
Pelan-pelan sekali mata Alice
terbuka. Ia menggeleng sebentar.
“Ada yang baru?" tanyaku
pelan, takut terdengar lelaki di sebelahku.
“Tidak juga," jawab Alice
sambil mengembuskan napas, nyaris tak bisa kutangkap.
"Dia semakin dekat. Dia
sedang memutuskan bagaimana dia akan memintanya.”
“Kami harus berlari mengejar pesawat yang akan membawa
kami ke Italia, tapi itu bagus – lebih baik begitu daripada harus menunggu.
Alice memejamkan mata dan kembali hanyut ke trance seperti sebelumnya”. Aku
menunggu sesabar mungkin.
Ketika hari kembali gelap aku membuka penutup jendela
untuk memandang ke luar, ke kegelapan yang menghampar tak ada bedanya dengan
memandangi penutup jendela. Aku bersyukur selama beberapa bulan ini aku banyak
berlatih mengendalikan pikiran. Jadi, alihalih memikirkan berbagai kemungkinan
mengerikan, tak peduli apa pun kata Alice, aku tidak berniat tetap hidup, aku
berkonsentrasi memikirkan masalah-masalah lain yang lebih ringan. Misalnya
saja, apa yang akan kukatakan pada Charlie sepulangnya aku nanti? Itu masalah
pelik yang cukup menyita pikiran selama beberapa jam.
Dan Jacob? Ia berjanji akan menunggu, tapi apakah
janji itu masih berlaku? Apakah aku akan sendirian di Forks nanti, tanpa
siapa-siapa sama sekali? Mungkin aku tidak ingin benahan hidup, tak peduli apa
pun yang terjadi. Rasanya baru beberapa detik kemudian Alice mengguncang
bahuku—ternyata aku ketiduran. "Bella," desisnya, suaranya agak
terlalu keras di kabin gelap yang dipenuhi orang-orang yang sedang tidur.
Aku tidak mengalami
disorientasi—tidurku belum cukup lama.
"Ada apa?"
Mata Alice berkilat di bawah lampu baca remang-remang
dari barisan di belakang kami.
"Tidak ada apa-apa." Alice tersenyum senang.
"Kabar baik. Mereka berunding, tapi sudah memutuskan
untuk menolak permintaannya."
"Keluarga Volturi?"
gumamku, masih mengantuk.
"Tentu saja, Bella,
perhatikan. Aku bisa melihat apa yang akan mereka katakan."
"Beritahu aku."
Seorang pramugara
berjingkat-jingkat menyusuri lorong, menghampiri kami.
"Boleh saya ambilkan
bantal untuk Anda?" Bisikan pelannya seperti menegur kami karena kami
bercakap-cakap cukup keras.
"Tidak, terima
kasih." Alice menengadah dan tersenyum lebar padanya, senyumnya luar biasa
manis. Pramugara itu tampak keheranan saat berbalik dan tersaruk-saruk kembali
ke tempatnya.
"Beritahu aku,"
bisikku, nyaris tak terdengar. Alice berbisik-bisik di telingaku.
"Mereka tertarik
padanya—menurut mereka, bakat Edward bisa sangat berguna. Mereka akan
menawarinya tinggal bersama mereka."
"Apa yang akan dikatakan Edward?"
"Aku belum bisa melihatnya, tapi berani taruhan
pasti seru" Alice nyengir lagi.
"Ini kabar baik pertama—titik terang pertama.
Mereka tertarik; mereka benar-benar tak ingin menghancurkan dia—mubazir,
begitulah istilah yang akan digunakan Aro—dan mungkin itu cukup membuat Edward
menjadi kreatif. Semakin banyak waktu yang dia habiskan untuk memikirkan
rencananya, semakin baik bagi kita."
Penjelasan itu tak cukup
membuatku berharap, membuatku merasakan kelegaan yang jelas sekali dirasakan
Alice. Masih begitu banyak kemungkinan kami bisa terlambat. Dan kalau aku tidak
bisa melewati tembok kota Volturi, aku tidak akan mampu menghentikan Alice
menyeretku kembali ke rumah.
"Alice?"
"Apa?"
"Aku bingung. Bagaimana
kau bisa melihat sejelas itu? Sementara di lain waktu, kau melihat
kejadian-kejadian yang sangat jauh – peristiwa peristiwa yang tidak terjadi?'
“Mata Alice berubah kaku. Aku
bertanya-tanya dalam hati apakah ia bisa menebak isi pikiranku."Aku bisa
melihatnya dengan jelas karena peristiwanya langsung dan dekat, dan karena aku
benar-benar berkonsentrasi.
Kejadian-kejadian yang sangar
jauh datang sendiri – itu hanya pencuatan sekelebat, kemungkinan-kemungkinan
saman Tambahan lagi, aku melihat jenisku lebih jelas daripada aku melihat jenismu.
Edward bahkan lebih mudah lagi, karena hubunganku sangat dekat dengannya.
"Kau bisa melihatku
kadang-kadang," aku mengingatkannya.
Alice menggeleng. "Tidak
sejelas aku melihat Edward." Aku mendesah.
"Kalau saja kau benar-benar bisa melihat masa depanku
dengan tepat. Awalnya, waktu kau pertama kali melihat hal-hal tentang aku,
bahkan sebelum kita bertemu..."
"Apa maksudmu?"
“Kau melihatku menjadi seperti
kalian." Aku mengatakannya nyaris tanpa suara.
Alice mendesah. "Itu
merupakan kemungkinan pada waktu itu."
"Pada waktu itu," aku
mengulangi.
“Sebenarnya, Bella..."
Alice ragu-ragu sejenak, kemudian sepertinya mengambil pilihan.
"Jujur saja, rasanya ini
jadi semakin konyol. Aku berdebat dengan diriku, apakah aku harus mengubahmu
sendiri.”
Kutatap Alice, membeku oleh
perasaan shock. Serta-merta pikiranku
menolak kata-katanya. Aku tidak boleh terlalu berharap, takut ia berubah
pikiran.
Penutup Novel Twilight (New Moon) – BERPACU Bab 105
Gimana Novel twilight (New Moon) – Port BERPACU Bab 105 ?
keren kan ceritanya. Tentunya kamu penasaran apa yang akan terjadi di bab
berikutnya. Jangan khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan baca bab
berikutnya dengan mengklik tombol navigasi bab di bawah ini.