Novel Twilight (New Moon), ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini
terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking
Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada orang
tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight (New Moon) Bab 100 yang dipersembahkan oleh Admin white novel. Semoga
bisa memberi hiburan, insipirasi dan solusi bagi setiap masalah yang kamu
hadapi.
Baca Novel Twilight – PEMAKAMAN Bab 100
"Siapa itu, kenapa kau
menutup telepon begitu saja?" aku terkesiap, marah.
"Ini rumahku, dan itu
teleponku!"
"Tenang! Justru dia yang
menutup telepon duluan!"
"Dia? Dia siapa?"
Jacob menyemburkan gelar itu
dengan nada mengejek.
"Dr. Carlisle
Cullen."
"Mengapa kau tidak
memberikan teleponnya padaku?!"
"Dia tidak minta bicara
denganmu kok," jawab Jacob dingin. Wajahnya tenang, tanpa ekspresi, tapi
kedua tangannya gemetar.
"Dia bertanya di mana
Charlie dan kujawab. Kurasa aku tidak melanggar etika apa pun."
"Dengar aku, Jacob
Black—"
Tapi Jacob jelas tidak
mendengarkan katakataku. Ia menoleh ke belakang dengan cepat, seolah-olah ada
orang yang memanggilnya dari ruangan lain. Matanya membelalak lebar dan
tubuhnya mengejang, lalu mulai bergetar. Otomatis aku ikut mendengarkan juga,
tapi tidak terdengar suara apa-apa.
"Bye, Bells."
semburnya, lalu tergesa-gesa menuju pintu depan.
Aku berlari mengejarnya. "Ada apa?” Kemudian aku
menabraknya, saat ia berhenti, menggoyang-.oyanskan badan dengan bertumpu Pada
tumit, memaki pelan.
Tiba-tiba ia berbalik lagi, menyenggolku keras. Aku
goyah dan rubuh ke lantai, kedua kakiku tersangkut di kakinya.
"Sialan, aduh!” protesku saat Jacob buru-buru
menyentakkan kakinya, membebaskannya dari belitan kakiku.
Susah payah aku bangkit kembali
sementara Jacob berlari menuju pintu belakang; mendadak ia kembali membeku.
Alice berdiri tak bergerak di kaki tangga.
"Bella," panggilnya
dengan suara tercekat.
Aku cepat-cepat berdiri dan
menghambur mendapatinya. Mata Alice nanar dan menerawang jauh, wajahnya tegang
dan pucat pasi seperti mayat. Tubuhnya yang langsing bergetar karena pergolakan
di dalam dirinya.
"Alice, ada apa?"
pekikku. Aku merengkuh wajahnya dengan kedua tangan, berusaha menenangkannya.
Matanya mendadak terfokus ke mataku, membelalak oleh
kesedihan. "Edward," hanya itu yang ia bisikkan. Tubuhku bereaksi lebih
cepat daripada yang sanggup ditangkap oleh otakku begitu mendengar jawabannya.
Awalnya aku tak mengerti mengapa ruangan berputar atau
dari mana raungan hampa di telingaku ini berasal. Pikiranku bergerak sangat
lambat, tak mampu mencerna wajah Alice yang muram dan apa hubungan hal itu
dengan Edward, sementara tubuhku saat itu sudah goyah, mencari kelegaan dalam
ketidaksadaran sebelum kenyataan dapat menghantamku telak-telak.
Tangga terlihat miring dalam
sudut yang sangat tidak lazim.
Suara Jacob yang marah
tiba-tiba terdengar di telingaku, mendesis menghamburkan kata-kata makian.
Samar-samar aku merasa tidak senang. Teman-teman barunya jelas memberi pengaruh
yang tidak baik.
Aku terbaring di sofa tanpa
mengerti mengapa aku bisa berada di sana, dan Jacob masih terus
mengumpat-umpat. Rasanya seperti ada gempa bumi—sofa berguncang-guncang di
bawah tubuhku.
"Kauapakan dia?"
tuntut Jacob.
Alice tak menggubrisnya.
"Bella? Bella, sadarlah. Kita harus bergegas."
"Jangan mendekat,"
tegur Jacob.
"Tenanglah, Jacob Black,"
Alice memerintahkan.
"Jangan sampai kau berubah
dalam jarak sedekat itu dengannya."
"Kurasa aku tidak punya
masalah dalam mengendalikan diri," sergah Jacob, tapi suaranya terdengar
sedikit lebih dingin.
“Alice?" Suaraku lemah.
"Apa yang terjadi?" tanyaku,
walaupun aku tidak ingin mendengarnya.
"Aku tidak tahu,"
Alice tiba-tiba meraung.
"Apa yang dia
pikirkan?!"
Susah payah aku berusaha mengangkat tubuhku, meski
kepalaku pusing. Sadarlah aku bahwa aku mencengkeram tangan Jacob untuk
menyeimbangkan diri. Dialah yang berguncangguncang, bukan sofanya.
Alice mengeluarkan ponsel perak
kecil dari dalam tas sementara mataku memandanginya. Jari-jarinya menekan cepat
serangkaian tombol, begitu cepatnya hingga tampak kabur.
"Rose, aku harus bicara
dengan Carlisle sekarang.” Suaranya
tajam saat melontarkan katakata itu.
"Baiklah, pokoknya segera
setelah dia kembali. Tidak, aku akan naik pesawat. Dengar, kau sudah dapat
kabar dari Edward?” Alice terdiam sekarang, mendengarkan dengan ekspresi yang
semakin lama semakin ngeri.
Mulutnya ternganga, membentuk
huruf O penuh kengerian, dan ponsel di tangannya bergetar hebat.
"Mengapa?” ia terkesiap.
“Mengapa kau berbuat begitu,
Rosalie?”
Apa pun jawabannya, itu membuat
dagu Alice mengeras karena marah. Matanya berkilat-kilat dan menyipit.
“Well kau salah besar dua kali, Rosalie, jadi itu pasti akan jadi
masalah, bukan?" tanyanya tajam.
"Ya, benar. Dia baik-baik
saja—ternyata aku salah... Ceritanya panjang... Tapi kau juga salah dalam hal
itu, karena itulah aku menelepon... Ya, memang itulah yang kulihat."
Suara Alice sangat kaku dan bibirnya tertarik ke
belakang.
"Sudah agak terlambat untuk itu, Rose. Simpan
saja penyesalanmu untuk orang yang memercayainya." Alice menutup ponsel
lipatnya keras-keras.
Ia tampak tersiksa saat
berpaling menatapku.
"Alice," semburku
cepat-cepat. Aku belum sanggup membiarkannya bicara. Aku butuh beberapa detik
lagi sebelum ia berbicara dan katakatanya
menghancurkan apa yang tersisa
dalam hidupku.
"Alice, Carlisle sudah
kembali. Dia baru saja menelepon..."
Alice menatapku kosong.
"Kapan?" tanyanya
dengan suara bergaung hampa.
"Setengah menit sebelum
kau muncul."
“Apa katanya?” Ia benar-benar
fokus sekarang, menunggu jawabanku.
“Aku tidak sempat bicara
dengannya." Mataku melirik Jacob.
Alice mengalihkan tatapannya
yang tajam menusuk pada Jacob. Jacob tersentak, tapi bergeming di dekatku. Ia
duduk dengan sikap canggung, hampir seperti berusaha menamengiku dengan
tubuhnya.
"Dia minta bicara dengan
Charlie, dan kukatakan Charlie tidak ada," sergah Jacob dengan nada tidak
senang.
"Hanya itu?" tuntut
Alice, suaranya sedingin es.
"Lalu dia langsung menutup
telepon," bentak Jacob. Sekujur tubuhnya bergetar, membuatku ikut
terguncang.
Alice menyentakkan kepalanya kembali ke arahku.
"Bagaimana persisnya kata-katanya?"
"Dia bilang, Dia tidak ada
di sini,” dan waktu Carlisle bertanya Charlie ke mana, Jacob menjawab,
“Dia sedang menghadiri
pemakaman.” Alice mengerang dan merosot lemas.
"Katakan padaku,
Alice," bisikku.
"Itu tadi bukan Carlisle,"
katanya dengan sikap tak berdaya.
"Jadi menurutmu aku
pembohong?" raung Jacob dari sampingku.
Alice mengabaikannya,
memfokuskan diri pada wajahku yang kebingungan.
"Itu tadi Edward."
Alice mengucapkannya sambil berbisik dengan suara tercekat.
"Dia mengira kau sudah
mati."
Pikiranku mulai bekerja lagi.
Kata-kata itu bukanlah yang kutakutkan, dan kelegaan menjernihkan pikiranku.
"Rosalie memberi tahu dia bahwa aku bunuh diri, benar,
kan?" tanyaku, mendesah saat tubuhku mulai rileks kembali.
"Benar," Alice mengakui, matanya berkilat marah.
"Dalam pembelaannya, dia memang benarbenar memercayainya.
Mereka terlalu mengandalkan penglihatanku meskipun penglihatanku tidak
sempurna.
Tapi Rosalie sampai melacak keberadaan Edward hanya untuk
menyampaikan hal itu! Apakah dia tidak sadar... atau peduli...?" Suara
Alice menghilang dalam kengerian.
Penutup Novel Twilight (New Moon) – PEMAKAMAN Bab 100
Gimana Novel twilight (New Moon) – Port PEMAKAMAN Bab 100 ? keren kan ceritanya. Tentunya kamu penasaran apa yang akan terjadi di bab berikutnya. Jangan khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan baca bab berikutnya dengan mengklik tombol navigasi bab di bawah ini.
0 comments: