Novel Twilight, ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada
orang tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight Bab 91 yang dipersembahkan oleh Admin white novel. Semoga
bisa memberi hiburan, insipirasi dan solusi bagi setiap masalah yang kamu
hadapi.
Baca Novel Twilight – PERMAINAN Bab 91
"Pejamkan saja matamu, kau akan baik-baik
saja." Kugigit bibirku, melawan rasa panik.
Ia mencondongkan tubuh mengecup keningku, kemudian
mengerang. Aku menatapnya, bingung.
"Kau harum sekali ketika hujan," jelasnya.
"Dalam artian yang baik, atau buruk?"
tanyaku hati-hati.
Ia mendesah.
"Keduanya, selalu keduanya." Aku tak tahu
bagaimana dapat melihat jalan dalam kegelapan dan guyuran hujan, tapi entah
bagaimana ia menemukan jalan kecil yang tidak bisa dibilang jalan dan lebih
menyerupai jalan setapak pegunungan. Untuk waktu yang cukup lama kami tak
mungkin bercakap-cakap, karena aku melonjak-lonjak seperti mata bor.
Meski begitu Edward kelihatannya menikmati
perjalanan, tersenyum lebar sepanjang jalan.
Kemudian kami tiba di ujung jalan; pepohonan
membentuk dinding hijau pada ketiga sisi Jeep. Hujan tinggal gerimis, setiap
detik semakin pelan, dan langit tampak lebih terang di balik awan.
"Maaf, Bella, kita harus jalan kaki dari
sini."
"Kau tahu? Aku akan menunggu di sini saja."
"Apa yang terjadi dengan semua nyalimu? Kau
sangat luar biasa pagi ini."
"Aku belum melupakan pengalaman
terakhirku." Mungkinkah itu baru kemarin?
Ia mengitari bagian depan mobil, dan menuju sisiku
dalam kelebatan. Ia mulai melepaskan kaitan sabuk pengamanku.
“Biar aku yang melakukannya, kau terus saja,"
protesku.
“Hmmm...," ia berpikir sambil cepat-cepat
menyelesaikannya. “Sepertinya aku harus memanipulasi ingatanmu."
Sebelum aku bereaksi. ia
menarikku dari Jeep dan membuatku berdiri di tanah. Nyaris tak berembun
sekarang ini; Alice benar.
"Memanipulasi ingatanku?" tanyaku gugup.
"Semacam itu." Ia memerhatikanku lekat-lekat,
dengan hati-hati, tapi jauh di dalam matanya ada rasa humor.
Ia meletakkan kedua tangannya di Jeep di kedua sisi
kepalaku dan mencondongkan tubuh, memaksaku menempel ke pintu.
Ia mencondongkan rubuhnya semakin dekat, wajahnya hanya
beberapa senti dariku. Aku tak bisa melepaskan diri.
"Nah." desahnya, aromanya saja telah
mengganggu proses berpikirku, "apa tepatnya yang kaukhawatirkan?"
"Well, mm, menabrak pohon—"
aku menelan ludah "— dan sekarat. Kemudian mual."
Ia menahan senyum. Kemudian ia menunduk dan dengan
lembut menyapukan bibir dinginnya di lekukan leherku.
"Kau masih khawatir sekarang?" gumamnya di
atas kulitku.
"Ya." Aku berusaha berkonsentrasi.
"Tentang menabrak pepohonan dan menjadi mual."
Menggunakan hidungnya, ia menyusuri leherku hingga ke
ujung dagu. Napasnya yang dingin menggelitik kulitku.
"Sekarang?" Bibirnya berbisik di rahangku.
"Pepohonan," aku terengah.
"Mual."
Ia mengangkat wajah untuk mengecup kelopak mataku.
"Bella, kau tidak berpikir aku akan menabrak
pohon, kan?"
“Tidak, tapi aku mungkin." Tak ada kepercayaan
diri dalam suaraku. Ia mengendus kemenangan yang mudah. Perlahan-lahan ia
mencium menuruni pipiku, berhenti tepat di sudut mulutku.
“Akankah kubiarkan pohon melukaimu?" Bibirnya
nyaris menyapu bibir bawahku yang gemetaran. “Tidak," desahku. Aku tahu
pertahananku nyaris hancur, tapi tak ada yang bisa kulakukan.
“Kaulihat," katanya, bibirnya bergerak di
bibirku.
"Tak ada perlu dikhawatirkan, ya kan?"
"Tidak," aku mendesah, menyerah.
Kemudian dengan dua tangan ia meraih wajahku nyaris
dengan kasar, dan menciumku sepenuh hati, bibirnya yang tak mau berkompromi
melumat bibirku.
Sungguh tak ada alasan untuk perilakuku. Jelas aku
mestinya tahu lebih baik saat ini. Namun toh aku tak bisa menahan diri untuk
tidak bereaksi seperti kali pertama. Bukannya tetap diam dengan aman, lenganku
malah terangkat dan memeluk erat lehernya, dan sekonyongkonyong aku pun melebur
dengan tubuhnya yang kaku.
Aku mendesah dan mengangkat bibirku. Ia tergagap
mundur, dengan mudah melepaskan cengkeramanku.
"Sialan, Bella!" ujarnya, terengah-engah.
"Kau akan menjadi alasan kematianku, aku
bersumpah." Aku berjongkok, mengaitkan tanganku di lutut agar tidak jatuh
ke tanah.
"Kau tidak bisa mati," gumamku, berusaha
mengatur napas.
"Aku mungkin memercayai itu sebelum aku bertemu
denganmu. Sekarang, ayo kita keluar dari sini sebelum aku melakukan sesuatu
yang sangat bodoh," geramnya.
Ia mengangkatku ke punggungnya seperti sebelumnya,
dan bisa kulihat ia berusaha keras untuk memperlakukanku selembut sebelumnya.
Aku mengunci kedua kakiku di pinggangnya, dan melingkarkan tanganku erat-erat
di lehernya.
"Jangan lupa untuk memejamkan mata," ia
mengingatkan dengan nada kasar.
Aku cepat-cepat membenamkan wajahku di bahunya, di
bawah lenganku sendiri, dan memejamkan mata. Dan aku nyaris tak bisa merasakan
bahwa kami sedang bergerak. Aku bisa merasakannya meluncur di bawahku,
tapi ia bisa saja sedang berjalan di jalan setapak,
gerakannya
terlalu halus. Aku tergoda untuk mengintip, hanya
untuk melihat apakah ia benar-benar terbang menembus hutan seperti sebelumnya,
tapi aku menahannya.
Tidak sebanding dengan rasa pusing yang menyiksa itu.
Aku menghibur diriku sendiri dengan mendengarkan irama napasnya yang teratur.
Aku tidak begitu yakin apakah kami sudah berhenti
hingga tangannya meraih ke belakang dan menyentuh rambutku.
"Sudah sampai. Bella."
Aku memberanikan diri membuka mata, dan cukup yakin,
kami sudah berhenti. Dengan kaku kulepaskan cengkeramanku dan rubuhnya dan
merosot ke tanah, mendarat di punggungku.
"Oh!" dengusku ketika terempas ke tanah
yang basah. Ia menatapku tak percaya, jelas-jelas tak yakin apakah ia masih
terlalu marah padaku untuk menganggapku lucu.
Tapi ekspresiku yang kebingungan membuatnya santai,
dan ia pun tertawa terbahak-bahak. Aku bangkit berdiri, mengabaikannya sambil
membersihkan lumpur dan bagian belakang jaketku. Itu hanya membuatnya tertawa
lebih keras. Merasa jengkel, aku mulai melangkah ke dalam hutan. Aku merasakan
lengannya memeluk pinggangku.
"Kau mau ke mana, Bella?"
"Nonton pertandingan bisbol. Kau kelihatannya
tidak tertarik lagi bermain, tapi aku yakin yang lain akan bersenang-senang
tanpa dirimu."
"Kau berjalan ke arah yang salah."
Aku berbalik tanpa melihat ke arahnya, dan berjalan
menghentak ke arah sebaliknya. Ia menangkapku lagi.
“Jangan marah, aku tak dapat menahan diri. Kau
seharusnya melihat wajahmu sendiri." Ia tergelak sebelum bisa menahannya.
"Oh, jadi hanya kau yang berhak marah?"
tanyaku, alisku terangkat. "Aku tidak marah padamu.”
"Bella, kau akan menjadi alasan kematianku?"
aku mengingatkannya dengan nada sinis.
"Itu hanya pernyataan sesungguhnya."
Aku berusaha menjauhkan diri darinya lagi, tapi ia
menangkapku dengan cepat.
Penutup Novel Twilight – PERMAINAN Bab 91
Gimana Novel twilight – Port PERMAINAN Bab 91 ? keren kan ceritanya. Tentunya kamu penasaran apa
yang akan terjadi di bab berikutnya. Jangan khawatir kami telah menyiapkannya.
Silahkan baca bab berikutnya dengan mengklik tombol navigasi bab di bawah ini.
0 comments: