Novel Twilight (New Moon), ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada orang
tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight (New Moon) Bab 9 yang dipersembahkan oleh Admin white novel. Semoga
bisa memberi hiburan, insipirasi dan solusi bagi setiap masalah yang kamu
hadapi.
Baca Novel Twilight – JAHITAN Bab 9
2. JAHITAN
HANYA Carlisle yang tetap
tenang. Pengalaman bekerja di UGD selama berabad-abad tergambar jelas dalam
suaranya yang tenang dan berwibawa.
"Emmett, Rose, bawa Jasper
keluar." Kali ini tanpa senyum, Emmett mengangguk.
"Ayolah, Jasper."
Jasper meronta-ronta dalam cengkeraman Emmett,
menggeliat-geliat, menyorongkan giginya ke arah saudaranya, matanya masih liar.
Wajah Edward pucat pasi saat ia menghambur dan membungkuk di atas tubuhku,
posisinya jelas
melindungi. Geraman rendah
bernada memperingatkan terdengar dari sela-sela giginya yang terkatup rapat.
Aku tahu ia tidak bernapas.
Rosalie, wajah malaikatnya tampak puas, maju selangkah di depan Jasper—menjaga
jarak dengan giginya—dan membantu Emmett menyeret Jasper keluar lewat pintu
kaca yang dibukakan Esme, sebelah tangan menutup mulut dan hidungnya.
Wajah Esme yang berbentuk hati
tampak malu. "Akubenar-benar minta maaf, Bella," jeritnya sambil
mengikuti yang lain-lain ke halaman.
"Beri aku jalan,
Edward," gumam Carlisle. Sedetik berlalu, kemudian Edward mengangguk
lambat-lambat dan merilekskan posisinya. Carlisle berlutut di sebelahku,
mencondongkan tubuh untuk memeriksa lenganku. Bisa kurasakan perasaan shock membeku di wajahku, jadi aku
berusaha mengubahnya.
"Ini, Carlisle," kata
Alice, mengulurkan handuk. Carlisle menggeleng.
"Terlalu banyak serpihan
kaca di lukanya." Ia mengulurkan tangan dan merobek bagian bawah taplak
meja putih menjadi kain panjang tipis. Dililitkannya kain itu di bawah siku
untuk membentuk semacam bebat. Bau anyir darah membuat kepalaku pening.
Telingaku berdenging.
"Bella," kata Carlisle lirih.
"Kau mau aku mengantarmu ke rumah sakit, atau kau
mau aku merawatnya di sini saja?"
"Di sini saja, please," bisikku.
Kalau ia membawaku ke rumah
sakit, cepat atau lambat Charlie pasti bakal tahu.
"Biar kuambilkan tasmu,”
kata Alice.
"Mari kita bawa dia ke
meja dapur," kata Carlisle pada Edward.
Edward mengangkatku dengan
mudah, sementara Carlisle memegangi lenganku agar tetap stabil.
"Bagaimana keadaanmu,
Bella?" tanya Carlisle.
"Baik-baik saja,"
Suaraku terdengar cukup mantap, dan itu membuatku senang.
Wajah Edward kaku seperti batu.
Alice telah menunggu di sana.
Tas Carlisle sudah diletakkan di meja, bersama lampu meja kecil yang menyala
terang dicolokkan ke dinding. Edward mendudukkan aku dengan lembur ke kursi,
sementara Carlisle menarik kursi lain. Ia langsung bekerja.
Edward berdiri di sampingku,
sikapnya masih protektif, masih menahan napas.
"Pergilah, Edward,"
desahku.
"Aku bisa mengatasinya,” Edward bersikeras.
Tapi dagunya kaku; sorot matanya menyala-nyala oleh dahaga
yang coba dilawannya sekuat tenaga, jauh lebih parah baginya ketimbang bagi
yang lainlain.
"Kau tidak perlu sok jadi
pahlawan," tukasku.
"Carlisle bisa mengobatiku
tanpa bantuanmu. Pergilah dan hirup udara segar."
Aku meringis saat Carlisle
melakukan sesuatu di lenganku yang rasanya perih.
"Aku akan tetap di
sini," bantah Edward. "Kenapa kau senang menyiksa diri sendiri?”
gumamku.
Carlisle memutuskan menengahi.
"Edward, lebih baik kau menemui Jasper sebelum dia jadi tak terkendali.
Aku yakin dia marah pada dirinya sendiri, dan aku ragu dia mau mendengarkan
nasihat yang lain selain kau sekarang ini."
"Benar," dukungku
penuh semangat.
"Cari Jasper sana."
"Lebih baik kau melakukan
sesuatu yang berguna," imbuh Alice.
Mata Edward menyipit karena
kami mengeroyoknya seperti itu, tapi akhirnya ia mengangguk sekali dan berlari
kecil dengan lincah melalui pintu dapur sebelah belakang. Aku yakin ia belum
menarik napas sekali pun sejak jariku teriris tadi.
Perasaan kebas dan mati rasa
menyebar di sekujur lenganku. Meski perihnya hilang, namun itu membuatku
teringat pada lukaku, jadi kupandangi saja wajah Carlisle dengan saksama untuk
mengalihkan pikiran dari apa yang dilakukan tangannya.
Rambut Carlisle berkilau emas di
bawah cahaya lampu sementara ia membungkuk di atas lenganku. Bisa kurasakan
secercah rasa mual mengaduk-aduk perutku, tapi aku bertekad takkan membiarkan
kegelisahan menguasaiku.
Sekarang tak ada lagi rasa
sakit, yang ada hanya perasaan seperti ditarik-tarik yang berusaha kuabaikan.
Tak ada alasan untuk muntah-muntah seperti bayi. Seandainya tak berada dalam
jangkauan pandanganku, aku pasti takkan menyadari Alice akhirnya menyerah dan
menyelinap ke luar ruangan. Dengan senyum kecil meminta maaf, ia lenyap di
balik pintu dapur.
"Well, itu berarti semuanya," desahku. "Aku bisa
mengosongkan ruangan, paling tidak."
"Itu bukan salahmu,"
hibur Carlisle sambil terkekeh.
"Itu bisa terjadi pada
siapa pun."
"Bisa," ulangku.
"Tapi biasanya hanya
terjadi padaku."
Lagi-lagi Carlisle tertawa.
Ketenangan sikap Carlisle jauh lebih menakjubkan saat dibandingkan reaksi yang
lainnya. Tak tampak secercah pun kegugupan di wajahnya. Carlisle bekerja dengan
gerakan-gerakan cepat dan mantap.
Satu-satunya suara lain selain
embusan napas kami yang pelan hanya bunyi kling kling saat pecahan-pecahan
kecil kaca dijatuhkan satu demi satu ke meja.
"Bagaimana kau bisa melakukannya?" desakku.
"Bahkan Alice dan Esme..." Aku tak
menyelesaikan kata-kataku, hanya menggeleng heran. Walaupun mereka semua juga
sudah meninggalkan diet
tradisional vampir seperti
halnya Carlisle, tapi hanya dia yang sanggup mencium aroma darah tanpa merasa
tergoda sedikit pun untuk mencicipinya. Jelas, itu jauh lebih sulit daripada
yang terlihat.
"Latihan bertahun-tahun,”
jawab Carlisle.
"Sekarang aku sudah hampir
tidak menyadari baunya lagi.”
"Menurutmu, apakah akan
lebih sulit bila kau cuti lama dari rumah sakit? Dan tidak selalu berdekatan
dengan darah?"
"Mungkin," Carlisle
mengangkat bahu, tapi kedua tangannya tetap mantap.
"Aku tak pernah merasa
perlu cuti lama-lama." Ia menyunggingkan senyum ceria ke arahku.
"Aku terlalu menikmati
pekerjaanku."
Kling, kling, kling. Kaget juga
aku melihat banyaknya serpihan kaca di lenganku. Aku tergoda untuk melirik
tumpukan yang semakin bertambah, hanya untuk melihat ukurannya, tapi aku tahu
ide itu takkan membantuku menahan keinginan untuk tidak muntah.
"Apa sebenarnya yang kaunikmati?" tanyaku. Sungguh
tak masuk akal—bertahun-tahun berjuang dan menyangkal diri untuk bisa mencapai
suatu titik di mana ia bisa menahannya begitu mudah.
Lagi pula aku ingin terus mengajaknya bicara; obrolan
membantu mengalihkan pikiran dari perutku yang mual.
Penutup Novel Twilight (New Moon) – JAHITAN Bab 9
Gimana Novel twilight (New Moon) – Port JAHITAN Bab
9 ? keren kan ceritanya. Tentunya kamu penasaran apa yang akan terjadi di bab
berikutnya. Jangan khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan baca bab
berikutnya dengan mengklik tombol navigasi bab di bawah ini.
0 comments: