Novel Twilight, ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada
orang tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight Bab 89 yang dipersembahkan oleh Admin white novel. Semoga
bisa memberi hiburan, insipirasi dan solusi bagi setiap masalah yang kamu
hadapi.
Baca Novel Twilight – PERMAINAN Bab 89
"Sebenarnya, aku mengetahuinya," ujarku
tegas. Ia terkejut.
"Tapi reputasi itu tidak bisa dibenarkan, bukan
begitu? Karena keluarga Cullen tak pernah menginjakkan kaki di reservasi, ya
kan?" Bisa kulihat ucapanku yang mengingatkannya pada kesepakatan yang
mengikat dan melindungi sukunya telah membuatnya bungkam.
"Memang benar," ia menyetujuinya, matanya waspada.
"Kau kelihatannya... cukup tahu tentang keluarga
Cullen. Lebih tahu daripada yang kuduga." Aku menatapnya.
"Bahkan mungkin lebih tahu daripadamu.”
Ia mengerucutkan bibirnya yang tebal sambil
memikirkannya.
"Mungkin," ia mengalah, tapi sorot matanya
tajam.
"Apakah Charlie sama tahunya seperti
dirimu?"
Ia sudah menemukan kelemahan pertahananku.
"Charlie sangat menyukai keluarga Cullen," sahutku membentengi diri.
Ia jelas memahami bahwa aku berkelit.
Ekspresinya tidak senang, tapi tidak terkejut.
“Itu bukan urusanku," katanya. "Tapi
mungkin urusan
Charlie."
"Meskipun lagi-lagi itu adalah urusanku, entah
aku menganggap itu urusan Charlie atau tidak, ya kan?" Aku bertanya-tanya
apakah ia bahkan mengerti pertanyaan yang membingungkan itu selagi aku berusaha
untuk tidak mengatakan apa pun yang mencurigakan.
Tapi sepertinya ia mengerti. Ia mempertimbangkannya
sementara hujan mengguyur atap, satu-satunya suara yang memecah keheningan.
"Ya," akhirnya ia menyerah.
"Kurasa itu urusanmu juga."
Aku mendesah lega. "Terima kasih, Billy."
"Pikirkan saja apa yang kaulakukan, Bella,"
desaknya.
"Oke," aku buru-buru menimpali.
Wajahnya menekuk. "Maksudku, jangan lakukan apa
yang sedang kaulakukan."
Aku menatap matanya, di dalamnya tak lain hanya rasa
peduli terhadapku, dan tak ada yang bisa kukatakan. Saat itu juga pintu depan
terbanting keras, dan aku melompat mendengarnya.
"Gambar itu tak ada di mana pun di mobil."
Keluhan Jacob mencapai kami sebelum dirinya sendiri.
Ketika ia berbelok di sudut, bagian pundak bajunya
tampak basah karena hujan dan air menetes-netes dari rambutnya.
"Hmm," Billy bergumam, tiba-tiba
mengalihkan pandangannya dan memutar kursi menghadap anaknya.
"Kurasa aku meninggalkannya di rumah."
Jacob memutar-mutar bola matanya secara dramatis.
Hebat."
"Well,
Bella, beritahu Charlie"—Billy berhenti sebelum melanjutkan kata-katanya—
"bahwa kami mampir, maksudku.”
“Akan kusampaikan," gumamku.
Jacob terkejut. “Kita sudah mau pergi?"
"Charlie akan pulang larut." Billy
menjelaskan sambil meluncur melewati Jacob.
"Oh," Jacob tampak kecewa. "Well, kurasa sampai ketemu nanti.
Bella." "Tentu," timpalku.
"Jaga dirimu," Billy mengingatkanku. Aku
tak menyahut.
Jacob membantu ayahnya melewati pintu. Aku melambai
sebentar, sambil melirik trukku yang sekarang sudah kosong kemudian menutup
pintu sebelum mereka berlalu.
Aku berdiri di lorong sebentar, mendengarkan suara
mobil mereka menjauh meninggalkan pekarangan. Aku diam di Tempat, menunggu
kejengkelan dan kekhawatiranku lenyap.
Setelah ketegangan itu sedikit memudar, aku pergi ke
lantai atas untuk mengganti pakaian.
Aku mencoba beberapa atasan berbeda, tak yakin apa yang
menantiku malam ini. Saat aku berkonsentrasi pada apa yang akan terjadi, yang
baru saja lewat jadi tidak penting. Sekarang setelah tak lagi di bawah pengaruh
Jasper dan Edward, aku mulai bersiap-siap untuk tidak merasa takut sebelumnya.
Segera saja aku menyerah memilih pakaian—kukenakan atasan
flanel usang dan jins—lagi pula aku toh bakal mengenakan jas hujan semalaman.
Telepon berbunyi dan aku lari menuruni tangga untuk mengangkatnya. Hanya ada
satu suara yang ingin kudengar; yang lainnya akan membuatku kecewa. Tapi aku
tahu kalau ia ingin berbicara denganku, barangkali ia langsung muncul saja di
kamarku.
“Halo?" tanyaku, terengah-engah.
"Bella? Ini aku," kara Jessica.
“Oh, hei, Jess." Sejenak kukerahkan diriku untuk
kembali ke dunia nyata. Rasanya seperti berbulan-bulan bukannya berhari-hari
sejak terakhir aku berbicara dengan
Jessica. "Bagaimana pesta dansanya?"
“Asyik banget!" sembur Jessica.
Tak perlu dipancing lagi, ia langsung menceritakan detail
demi detail tentang malam sebelumnya. Aku menggumamkan mmm dan ahh pada saat
yang tepat, tapi tidak mudah untuk berkonsentrasi.
Jessica, Mike, pesta dansa, sekolah—semuanya terdengar
sangat tidak sesuai dengan saat ini. Mataku terus menatap jendela, mencoba
mengukur cahaya di balik awan tebal itu.
"Kaudengar apa yang kukatakan, Bella?" tanya Jess
jengkel.
"Maaf, apa?"
"Kubilang, Mike menciumku! Kau percaya?"
"Itu bagus, Jess," kataku.
"Jadi, apa yang kaulakukan kemarin?"
tantang Jessica, masih jengkel karena aku kurang menyimak. Atau mungkin ia
kecewa karena aku tidak menanyakan detailnya.
"Tidak ada, sungguh. Aku hanya berjalan-jalan di
luar menikmati matahari."
Aku mendengar suara mobil Charlie di garasi.
"Apa kau pernah mendengar kabar lagi dari Edward
Cullen?"
Pintu depan dibanting, dan aku bisa mendengar Charlie
menimbulkan suara gedebak-gedebuk di bawah tangga, meletakkan peralatannya.
"Mmm." Aku ragu, tak yakin apa lagi yang
harus kuceritakan.
"Hai. Nak!" seru Charlie saat berjalan ke
dapur. Aku melambai padanya.
Jess mendengar suara Charlie. "Oh. ayahmu ada.
Tak apa – kita ngobrol besok. Sampai ketemu di kelas Trigono.” "Sampai
ketemu. Jess." Aku menutup telepon. "Hei. Dad," kataku. Ia
sedang menggosok-gosok tangannya di bak cuci piring. "Mana ikannya?"
"Aku meletakkannya di freezer."
"Akan kuambil beberapa sebelum membeku—Billy
mengantarkan beberapa ikan goreng Harry Clearwater sore ini." Aku berusaha
terdengar bersemangat.
"Oh ya?"
Mara Charlie berbinar-binar.
"Itu kesukaanku." Charlie membersihkan diri
sementara aku menyiapkan makan malam. Dalam waktu singkat kami sudah duduk di
meja, makan dalam diam. Charlie menikmati makanannya.
Penutup Novel Twilight – PERMAINAN Bab 89
Gimana Novel twilight – Port PERMAINAN Bab 89 ? keren kan ceritanya. Tentunya kamu penasaran apa
yang akan terjadi di bab berikutnya. Jangan khawatir kami telah menyiapkannya.
Silahkan baca bab berikutnya dengan mengklik tombol navigasi bab di bawah ini.