Novel Twilight, ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada
orang tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight Bab 85 yang dipersembahkan oleh Admin white novel. Semoga
bisa memberi hiburan, insipirasi dan solusi bagi setiap masalah yang kamu
hadapi.
Baca Novel Twilight – CARLISLE Bab 85
Ia tergelak misterius, dan menyelesaikan kalimatnya.
"Karena secara teknis, kami tidak perlu
bernapas." "Kau—"
"Tidak, tidak, kau sudah janji." Edward
tertawa, dengan lembut meletakkan jarinya yang dingin di bibirku. "Kau mau
mendengar ceritanya atau tidak?
"Kau tak bisa menceritakan sesuatu seperti itu
padaku, lalu berharap aku tak mengatakan apa-apa," gumamku.
Ia mengangkat tangan, memindahkannya ke leherku.
Jantungku bereaksi terhadap hal itu, tapi aku
berkeras.
"Kau tak perlu bernapas?" desakku.
"Tidak, itu tidak perlu. Hanya masalah
kebiasaan." Ia mengangkat bahu.
“Berapa lama kau tahan... tanpa bernapas?"
"Kurasa untuk waktu tak terbatas; entahlah.
Lamakelamaan rasanya agak tidak nyaman untuk tidak memiliki indra
penciuman." “Agak tidak nyaman," ulangku.
Aku tidak memerhatikan ekspresiku sendiri, tapi
sesuatu yang ditunjukkannya membuat Edward semakin muram. Tangannya terkulai di
sisinya dan ia berdiri diam tak bergerak, matanya menatap lekat wajahku.
Keheningan terus berlanjut. Tubuhnya tak bergerak
bagai baru.
“Ada apa?" aku berbisik, menyentuh wajahnya yang
membeku.
Wajahnya melembut karena sentuhanku, dan ia mendesah
“Aku terus menunggunya terjadi."
"Menunggu apa?"
"Aku tahu pada titik tertentu, sesuatu yang
kukatakan padamu atau sesuatu yang kaulihat akan sulit diterima. Kemudian kau
akan menjauh dariku, lari sambil menjeritjerit."
Ia setengah tersenyum, tapi tatapannya serius.
"Aku takkan menghentikanmu. Aku ingin ini
terjadi sebab aku ingin kau aman. Meski begitu, aku juga ingin bersamamu. Dua
hasrat yang mustahil dipertemukan..." Ia tidak menyelesaikan kalimatnya
dan hanya memandang wajahku. Menunggu.
"Aku takkan lari ke mana-mana," aku
berjanji padanya.
"Kita lihat saja," katanya, tersenyum lagi.
Aku merengut. "Jadi, lanjutkan—Carlisle berenang
ke Prancis."
Ia berhenti, kembali lagi ke ceritanya. Dengan sendirinya
matanya tertuju ke gambar lain—yang paling berwarnawarni di antara yang
lainnya, yang bingkainya paling penuh ukiran, dan yang paling besar; lebarnya
dua kali pintu di sebelahnya.
Kanvasnya sarat dengan sosok-sosok terang dalam jubah
panjang, berputar-putar mengelilingi pilar-pilar dan melewati balkon pualam.
Aku tak bisa mengatakan apakah gambar itu menggambarkan mitologi Yunani,
ataukah karakter yang melayang di atas awan dimaksudkan bersifat biblikal.
"Carlisle berenang ke Prancis, dan terus ke
Eropa, ke universitas-universitas di sana. Pada malam hari dia belajar musik,
ilmu pengetahuan, kedokteran—dan menemukan panggilan hidup dan penebusan
dirinya lewat menyelamatkan nyawa manusia." Ekspresinya penuh kekaguman,
hormat.
"Aku tak punya cukup kata-kata untuk
menggambarkan perjuangan Carlisle; dia menghabiskan dua abad untuk
menyempurnakan pengendalian dirinya dengan susah payah. Sekarang dia sudah
kebal dengan bau darah manusia, dan dia mampu melakukan pekerjaan yang
dicintainya tanpa tersiksa. Dia menemukan kedamaian yang luar biasa di sana, di
rumah sakit..." Lama sekali Edward menerawang.
Tiba-tiba ia teringat tujuan awalnya.
Ia menepukkan tangannya ke lukisan besar di depan
kami. "Dia sedang belajar di Italia ketika menemukan yang lainnya di sana.
Mereka jauh lebih beradab dan berpendidikan daripada makhluk-makhluk penghuni
gorong-gorong di London."
Ia menyentuh empat sosok yang terlukis di balkon
paling tinggi, yang dengan tenang memandang kekacauan di bawah mereka. Aku
mengamari sosok-sosok itu dengan saksama, lalu tersadar, seraya tertawa kaget,
bahwa aku mengenali pria berambut keemasan itu.
"Solimena sangat terinspirasi oleh teman-teman
Carlisle. Dia sering melukiskan mereka sebagai dewa," Edward tertawa.
"Aro, Marcus, Caius," katanya,
memperkenalkan tiga lainnya, dua berambut hitam, yang satu lagi berambut putih
bagai salju.
“Penjaga malam di gedung seni."
“Apa yang terjadi pada mereka?" tanyaku lantang,
ujung jariku hanya satu senti dari figur-figur di kanvas itu.
“Mereka masih di sana." Ia mengangkat bahu.
"Seperti selama entah siapa yang tahu berapa
ribu tahun ini. Carlisle tinggal hanya sebentar bersama mereka, hanya beberapa
dekade. Dia sangat mengagumi keberadaban mereka, kehalusan budi bahasa mereka,
tapi mereka tetap berusaha memulihkan ketidaksukaan Carlisle terhadap makanan
utamanya, begitulah mereka menyebutnya. Mereka mencoba membujuknya, dan dia
berusaha memengaruhi mereka, keduanya sama-sama tidak berhasil. Karena itu
Carlisle memutuskan untuk mencoba Dunia Baru. Dia berkhayal menemukan yang lain
seperti dirinya. Dia sangat kesepian, kau tahu."
Dia tidak menemukan siapa-siapa untuk waktu yang
lama. Tapi mengingat monster telah menjelma menjadi makhluk dongeng, dia
mendapati dirinya dapat berinteraksi dengan manusia, seolah-olah dia salah satu
dari mereka. Dia mulai menerapkan metode pengobatan. Dan meskipun hasratnya
untuk menjalin persahabatan tak terelakkan lagi; dia tak dapat mempertaruhkan
identitasnya.
Ketika epidemi influenza merebak, dia bekerja
bermalam-malam di sebuah rumah sakit di Chicago. Bertahun-tahun dia telah
mempertimbangkan sebuah gagasan dalam benaknya, dan dia nyaris memutuskan untuk
melakukannya—berhubung dia tak bisa mendapatkan teman, dia akan menciptakannya.
“Dia tak sepenuhnya yakin bagaimana terjadinya
perubahan dalam dirinya, jadi dia merasa ragu. Dan dia benci mengambil hidup
seseorang seperti hidupnya telah diambil. Dalam pemikiran itulah dia
menemukanku. Tak ada harapan untukku; aku dibiarkan berbaring di bangsal
bersama orangorang sekarat. Dia telah merawat orangtuaku, dan tahu aku sebatang
kara. Dia memutuskan untuk mencobanya..." Suara Edward, nyaris berbisik
sekarang, memelan.
Diam-diam matanya menerawang ke jendela-jendela di
sebelah barat. Aku bertanya-tanya apa yang mengisi pikirannya sekarang,
kenangan Carlisle ataukah ingatannya sendiri. Aku menunggu dalam diam.
Ketika ia kembali padaku, senyuman malaikat yang
lembut menghiasi wajahnya.
"Dan sejak itu hidup kami sempurna," ia
menyimpulkan.
"Apakah sejak itu kau selalu tinggal bersama
Carlisle.” tanyaku.
"Hampir selalu." Ia meletakkan tangannya di
pinggangku dan menarikku bersamanya sambil berjalan ke pintu.
Aku menoleh memandang dinding yang dipenuhi gambar
itu, bertanya-tanya apakah aku akan pernah mendengarkan kisah yang lainnya.
Penutup Novel Twilight – CARLISLE Bab 85
Gimana Novel twilight – Port CARLISLE Bab 85 ? keren kan ceritanya. Tentunya kamu penasaran apa
yang akan terjadi di bab berikutnya. Jangan khawatir kami telah menyiapkannya.
Silahkan baca bab berikutnya dengan mengklik tombol navigasi bab di bawah ini.
0 comments: