Novel Twilight, ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada
orang tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight Bab 84 yang dipersembahkan oleh Admin white novel. Semoga
bisa memberi hiburan, insipirasi dan solusi bagi setiap masalah yang kamu
hadapi.
Baca Novel Twilight – CARLISLE Bab 84
16. CARLISLE
IA menuntunku ke ruangan yang tadi disebutnya sebagai
ruang kerja Carlisle. Ia berhenti sebentar di depan pintu.
"Masuklah," undang Carlisle.
Edward membuka pintu yang mengantar kami ke ruangan
beratap tinggi dengan jendela-jendela tinggi yang menghadap ke barat.
Dinding-dindingnya bersekat, kayunya berwarna lebih gelap—di mana saja
terlihat.
Kebanyakan ruas dinding dipenuhi rak buku yang
menjulang hingga di atas kepalaku dan menyimpan lebih banyak buku daripada yang
pernah kulihat selain di perpustakaan.
Carlisle duduk di belakang meja mahoni besar, di
sebuah kursi kulit. Ia baru saja menyelipkan pembatas buku pada halaman buku
tebal yang dipegangnya. Ruangan itu bagaikan ruang dekan yang ada dalam
bayanganku – hanya saja Carlisle terlihat terlalu muda untuk menempatinya.
“Apa yang bisa kulakukan untuk kalian?” ia bertanya
dengan suara menyenangkan seraya bangkit dari duduk.
"Aku ingin menunjukkan kepada Bella sebagian
sejarah kita" kata Edward.
"Well,
sejarahmu, sebenarnya."
"Kami tidak bermaksud mengganggu Anda,"
kataku meminta maaf.
"Tidak sama sekali. Dari mana kau akan
mulai?"
"The Wagonnet," jawab Edward, meletakkan
satu tangannya di bahuku, dan memutar tubuhku untuk melihat kembali pintu yang
baru kami lalui.
Setiap kali ia menyentuhku, bahkan dengan sentuhan
paling ringan sekalipun, jantungku langsung berdebar sangat cepat. Kehadiran
Carlisle membuatnya lebih memalukan lagi. Dinding yang kami hadapi sekarang
berbeda dengan yang lainnya.
Sebagai ganti rak buku, dinding ini dipenuhi gambar
berbingkai dalam segala ukuran, beberapa dengan warna terang, yang lain
hitam-putih membosankan. Aku berusaha mencari benang merah yang menghubungkan
gambar-gambar itu, tapi pengamatanku yang terburu-buru tidak menghasilkan apa
pun.
Edward menarikku ke ujung sisi kiri, memosisikanku di depan
lukisan cat minyak persegi kecil yang dibingkai kayu sederhana. Yang satu ini
tidak terlalu mencolok dibanding lukisan-lukisan yang lebih besar dan cerah;
dilukis dengan beragam gradasi warna sepia.
menggambarkan kota yang sarat dengan atap yang amat landai,
dengan puncak menara tipis di atas beberapa menara yang terserak. Sungai lebar
mengaliri bagian muka, dilintasi jembatan penuh bangunan yang tampak seperti
katedral kecil.
"London pada tahun 1650-an." kata Edward.
"London pada masa mudaku," Carlisle
menambahkan beberapa meter di belakangku.
Aku tersentak; aku tidak mendengarnya mendekat.
Edward meremas tanganku.
"Maukah kau menceritakannya?" pinta Edward.
Aku menoleh sedikit untuk melihat reaksi Carlisle.
Kami bertemu pandang dan ia tersenyum.
"Aku mau,” jawabnya.
"Tapi sebenarnya aku sudah agak terlambat. Rumah
sakit menelepon pagi tadi—dr. Snow tidak masuk karena sakit. Lagi pula, kau
mengetahui ceritanya sebaik aku," tambahnya, tersenyum pada Edward
sekarang.
Sungguh perpaduan yang aneh—dokter kota yang sibuk
dengan masalah sehari-hari, terjebak dalam pembahasan mengenai masa mudanya
pada abad ke-17 di London. Aku juga waswas, mengetahui ia mengatakannya dengan
lantang hanya demi kepentinganku. Setelah tersenyum hangat ke arahku, Carlisle
meninggalkan ruangan.
Lama sekali aku menatap gambar kecil kampung halaman
Carlisle itu.
"Lalu apa yang terjadi?" akhirnya aku
bertanya, mendongak menatap Edward, yang sedang mengamanku.
"Ketika dia menyadari apa yang terjadi
padanya?" Edward kembali memandang lukisan-lukisan itu, dan aku
memerhatikan untuk melihat gambar mana yang menarik perhatiannya sekarang.
Ternyata gambar pemandangan berukuran lebih besar
dalam warna-warna musim gugur yang muram—padang rumput kosong dan berbayang di
sebuah hutan, dengan puncak gunung di kejauhan.
"Ketika tahu dirinya telah
menjelma menjadi apa," kata Edward pelan,
"dia melawannya. Dia
berusaha menghancurkan dirinya sendiri. Tapi itu tidak mudah."
"Bagaimana?" Aku tak
bermaksud mengatakannya keraskeras, tapi kata itu meluncur begitu saja.
"Dia melompat dari ketinggian yang amat sangat,"
Edward memberitahuku, suaranya datar.
"Dia berusaha menenggelamkan dirinya di
lautan... tapi dia masih baru untuk kehidupan barunya, dan sangat kuat Sungguh
mengagumkan bahwa dia mampu menolak... memangsa... padahal dia masih begitu
baru. Sejalan dengan waktu, nalurinya bertumbuh makin kuat, mengambil alih
segalanya. Tapi dia begitu jijik pada dirinya sendiri hingga memiliki kekuatan
untuk mencoba bunuh diri dengan membiarkan dirinya kelaparan."
"Apakah itu mungkin?" suaraku terdengar
samar. "Tidak, hanya ada sangat sedikit cara untuk membunuh kami."
Mulutku membuka hendak bertanya, tapi ia menduluiku.
"Akhirnya dia sangat kelaparan, dan menjadi
lemah. Dia pergi sejauh mungkin dari manusia, sadar tekadnya mulai melemah.
Berbulan-bulan dia berkeliaran pada malam hari, mencari tempat paling sepi,
membenci dirinya sendiri. "Suatu malam sekawanan rusa melintas di tempat
persembunyiannya.
Dia begitu haus hingga menyerang tanpa berpikir lagi.
Kekuatannya pulih dan dia menyadari ada cara lain untuk mengelakkan dirinya
menjadi monster jahat yang selama ini dikhawatirkannya. Pernahkah dia memakan
daging rusa pada kehidupan silamnya? Beberapa bulan kemudian filosofi barunya
pun tercipta. Dia dapat hidup tanpa menjadi makhluk jahat. Dia menemukan jati
dirinya lagi.
Dia mulai menggunakan waktunya sebaik-baiknya. Dia pandai
dan selalu ingin belajar. Sekarang dia memiliki waktu tak terbatas. Dia belajar
pada malam hari, bekerja di siang hari. Dia berenang ke Prancis dan—"
“Dia berenang ke Prancis?"
“Orang-orang mengarungi Channell setiap saat.
Bella," Edward mengingatkanku dengan sabar.
"Kurasa itu benar. Hanya saja kedengarannya lucu
dalam konteks itu. Lanjutkan."
"Berenang sesuatu yang mudah bagi kami—"
"Segalanya mudah bagimu." kataku kagum.
Ia menunggu, wajahnya kesal.
"Aku takkan menyelamu lagi, janji."
Penutup Novel Twilight – CARLISLE Bab 84
Gimana Novel twilight – Port CARLISLE Bab 84 ? keren kan ceritanya. Tentunya kamu penasaran apa
yang akan terjadi di bab berikutnya. Jangan khawatir kami telah menyiapkannya.
Silahkan baca bab berikutnya dengan mengklik tombol navigasi bab di bawah ini.
0 comments: