Tuesday, February 1, 2022

Bab 84 Novel Twilight – CARLISLE - Baca Di Sini

Novel Twilight, ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.

Dalam novel ini Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis, permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.

Sebelum kamu membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada orang tua tetaplah hal yang harus diutamakan.

Ok, Silahkan baca novel Twilight Bab 84 yang dipersembahkan oleh Admin white novel. Semoga bisa memberi hiburan, insipirasi dan solusi bagi setiap masalah yang kamu hadapi.

Baca Novel Twilight – CARLISLE Bab 84

16. CARLISLE

IA menuntunku ke ruangan yang tadi disebutnya sebagai ruang kerja Carlisle. Ia berhenti sebentar di depan pintu.

"Masuklah," undang Carlisle.

Edward membuka pintu yang mengantar kami ke ruangan beratap tinggi dengan jendela-jendela tinggi yang menghadap ke barat. Dinding-dindingnya bersekat, kayunya berwarna lebih gelap—di mana saja terlihat.

Novel Twilight


Kebanyakan ruas dinding dipenuhi rak buku yang menjulang hingga di atas kepalaku dan menyimpan lebih banyak buku daripada yang pernah kulihat selain di perpustakaan.

Carlisle duduk di belakang meja mahoni besar, di sebuah kursi kulit. Ia baru saja menyelipkan pembatas buku pada halaman buku tebal yang dipegangnya. Ruangan itu bagaikan ruang dekan yang ada dalam bayanganku – hanya saja Carlisle terlihat terlalu muda untuk menempatinya.

“Apa yang bisa kulakukan untuk kalian?” ia bertanya dengan suara menyenangkan seraya bangkit dari duduk.

"Aku ingin menunjukkan kepada Bella sebagian sejarah kita" kata Edward.

"Well, sejarahmu, sebenarnya."

"Kami tidak bermaksud mengganggu Anda," kataku meminta maaf.

"Tidak sama sekali. Dari mana kau akan mulai?"

"The Wagonnet," jawab Edward, meletakkan satu tangannya di bahuku, dan memutar tubuhku untuk melihat kembali pintu yang baru kami lalui.

Setiap kali ia menyentuhku, bahkan dengan sentuhan paling ringan sekalipun, jantungku langsung berdebar sangat cepat. Kehadiran Carlisle membuatnya lebih memalukan lagi. Dinding yang kami hadapi sekarang berbeda dengan yang lainnya.

Sebagai ganti rak buku, dinding ini dipenuhi gambar berbingkai dalam segala ukuran, beberapa dengan warna terang, yang lain hitam-putih membosankan. Aku berusaha mencari benang merah yang menghubungkan gambar-gambar itu, tapi pengamatanku yang terburu-buru tidak menghasilkan apa pun.

Edward menarikku ke ujung sisi kiri, memosisikanku di depan lukisan cat minyak persegi kecil yang dibingkai kayu sederhana. Yang satu ini tidak terlalu mencolok dibanding lukisan-lukisan yang lebih besar dan cerah; dilukis dengan beragam gradasi warna sepia.

menggambarkan kota yang sarat dengan atap yang amat landai, dengan puncak menara tipis di atas beberapa menara yang terserak. Sungai lebar mengaliri bagian muka, dilintasi jembatan penuh bangunan yang tampak seperti katedral kecil.

"London pada tahun 1650-an." kata Edward.

"London pada masa mudaku," Carlisle menambahkan beberapa meter di belakangku.

Aku tersentak; aku tidak mendengarnya mendekat. Edward meremas tanganku.

"Maukah kau menceritakannya?" pinta Edward.

Aku menoleh sedikit untuk melihat reaksi Carlisle. Kami bertemu pandang dan ia tersenyum.

"Aku mau,” jawabnya.

"Tapi sebenarnya aku sudah agak terlambat. Rumah sakit menelepon pagi tadi—dr. Snow tidak masuk karena sakit. Lagi pula, kau mengetahui ceritanya sebaik aku," tambahnya, tersenyum pada Edward sekarang.

Sungguh perpaduan yang aneh—dokter kota yang sibuk dengan masalah sehari-hari, terjebak dalam pembahasan mengenai masa mudanya pada abad ke-17 di London. Aku juga waswas, mengetahui ia mengatakannya dengan lantang hanya demi kepentinganku. Setelah tersenyum hangat ke arahku, Carlisle meninggalkan ruangan.

Lama sekali aku menatap gambar kecil kampung halaman Carlisle itu.

"Lalu apa yang terjadi?" akhirnya aku bertanya, mendongak menatap Edward, yang sedang mengamanku.

"Ketika dia menyadari apa yang terjadi padanya?" Edward kembali memandang lukisan-lukisan itu, dan aku memerhatikan untuk melihat gambar mana yang menarik perhatiannya sekarang.

Ternyata gambar pemandangan berukuran lebih besar dalam warna-warna musim gugur yang muram—padang rumput kosong dan berbayang di sebuah hutan, dengan puncak gunung di kejauhan.

"Ketika tahu dirinya telah menjelma menjadi apa," kata Edward pelan,

"dia melawannya. Dia berusaha menghancurkan dirinya sendiri. Tapi itu tidak mudah."

"Bagaimana?" Aku tak bermaksud mengatakannya keraskeras, tapi kata itu meluncur begitu saja.

"Dia melompat dari ketinggian yang amat sangat," Edward memberitahuku, suaranya datar.

"Dia berusaha menenggelamkan dirinya di lautan... tapi dia masih baru untuk kehidupan barunya, dan sangat kuat Sungguh mengagumkan bahwa dia mampu menolak... memangsa... padahal dia masih begitu baru. Sejalan dengan waktu, nalurinya bertumbuh makin kuat, mengambil alih segalanya. Tapi dia begitu jijik pada dirinya sendiri hingga memiliki kekuatan untuk mencoba bunuh diri dengan membiarkan dirinya kelaparan."

"Apakah itu mungkin?" suaraku terdengar samar. "Tidak, hanya ada sangat sedikit cara untuk membunuh kami."

Mulutku membuka hendak bertanya, tapi ia menduluiku.

"Akhirnya dia sangat kelaparan, dan menjadi lemah. Dia pergi sejauh mungkin dari manusia, sadar tekadnya mulai melemah. Berbulan-bulan dia berkeliaran pada malam hari, mencari tempat paling sepi, membenci dirinya sendiri. "Suatu malam sekawanan rusa melintas di tempat persembunyiannya.

Dia begitu haus hingga menyerang tanpa berpikir lagi. Kekuatannya pulih dan dia menyadari ada cara lain untuk mengelakkan dirinya menjadi monster jahat yang selama ini dikhawatirkannya. Pernahkah dia memakan daging rusa pada kehidupan silamnya? Beberapa bulan kemudian filosofi barunya pun tercipta. Dia dapat hidup tanpa menjadi makhluk jahat. Dia menemukan jati dirinya lagi.

Dia mulai menggunakan waktunya sebaik-baiknya. Dia pandai dan selalu ingin belajar. Sekarang dia memiliki waktu tak terbatas. Dia belajar pada malam hari, bekerja di siang hari. Dia berenang ke Prancis dan—"

“Dia berenang ke Prancis?"

“Orang-orang mengarungi Channell setiap saat. Bella," Edward mengingatkanku dengan sabar.

"Kurasa itu benar. Hanya saja kedengarannya lucu dalam konteks itu. Lanjutkan."

"Berenang sesuatu yang mudah bagi kami—"

"Segalanya mudah bagimu." kataku kagum.

Ia menunggu, wajahnya kesal.

"Aku takkan menyelamu lagi, janji."

 

Penutup Novel Twilight – CARLISLE Bab 84

Gimana Novel twilight – Port CARLISLE Bab 84 ? keren kan ceritanya. Tentunya kamu penasaran apa yang akan terjadi di bab berikutnya. Jangan khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan baca bab berikutnya dengan mengklik tombol navigasi bab di bawah ini.

Selanjutnya
Sebelumnya

0 comments: