Novel Twilight, ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada
orang tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight Bab 82 yang dipersembahkan oleh Admin white novel. Semoga
bisa memberi hiburan, insipirasi dan solusi bagi setiap masalah yang kamu
hadapi.
Baca Novel Twilight – Keluarga Cullen Bab 82
"Aku harus, karena aku akan sedikit... kelewat
protektif selama beberapa hari ke depan-atau minggu-dan aku tak mau kau
berpikir bahwa sebenarnya aku ini seorang tiran."
“Ada apa?"
"Sebenarnya tidak ada apa-apa. Alice hanya melihat
akan ada beberapa tamu. Mereka tahu kami ada di sini, dan
mereka penasaran.”
"Tamu?"
"Ya... well,
mereka tidak seperti kami, tentu saja— maksudku dalam kebiasaan berburu mereka.
Barangkali mereka sama sekali tidak akan datang ke kota, tapi jelas aku takkan
melepaskanmu dari pengawasanku sampai mereka pergi."
Aku bergidik ngeri.
"Akhirnya, respons yang masuk akal!"
gumamnya.
"Aku mulai berpikir kau sama sekali tidak
menyayangi dirimu." Aku mengabaikan gurauannya, memalingkan wajah, mataku
sekali lagi menjelajahi ruangan yang luas itu.
Ia mengikuti arah pandanganku.
"Tidak seperti yang kauharapkan, ya kan?"
tanyanya, suaranya terdengar arogan.
"Tidak," aku mengakuinya.
"Tidak ada peti mati, tidak ada tumpukan
kerangka di sudut; aku bahkan yakin kami tidak memiliki sarang labalaba...
pasti semua ini sangat mengecewakanmu," lanjutnya mengejek. Aku
mengabaikannya.
"Begitu ringan... begitu terbuka." Ia
terdengar lebih serius saat menjawab.
"Ini satusatunya tempat di mana kami tak perlu
bersembunyi." Lagu yang masih dimainkannya, laguku, tiba di bagian akhir,
kord terakhir berganti menjadi not yang lebih melankolis.
Not terakhir mengalun sedih dalam keheningan.
"Terima kasih," gumamku.
Aku tersadar air mata merebak di pelupuk mataku. Aku
menyekanya, malu. Ia menyentuh sudut mataku, menyeka titik air mata yang
tersisa. Ia mengangkat jarinya, mengamati tetes air itu lekatlekat.
Kemudian, begitu cepat hingga aku tak yakin ia
benar-benar melakukannya, ia meletakkan jarinya ke mulutnya untuk merasakannya.
Aku menatapnya bertanya-tanya, dan ia balas
memandangku lama sekali sebelum akhirnya tersenyum.
“Apakah kau ingin melihat ruangan lainnya di rumah
ini?"
"Tidak ada peti mati?" aku mengulanginya,
kesinisan dalam suaraku tak sepenuhnya menyamarkan perasaan waswas yang
kurasakan.
Kami menaiki anak rangga yang besar-besar, tanganku
menyusuri birai rangga yang halus bagai satin. Ruangan panjang di lantai atas
memiliki elemen kayu berwarna kuning madu, sama seperti lantai keramiknya.
"Kamar Rosalie dan Emmett... ruang kerja
Carlisle... kamar Alice..." Ia menunjukkannya sambil menuntunku melewati
pintu-pintu itu.
Ia bisa saja melanjutkan, tapi aku berhenti mendadak
dan terperanjat di akhir ruang besar itu, terkesiap memandang ornamen yang
menggantung di dinding di aras kepalaku. Edward tergelak, menertawai ekspresiku
yang bingung.
"Kau boleh tertawa," katanya.
"Bisa dibilang ironis."
Aku tidak tertawa. Tanganku terulur dengan
sendirinya, satu jari menunjuk seolah ingin menyentuh salib kayu besar itu,
warna permukaannya yang gelap mengilat, sangat kontras dengan warna dinding
yang terang dan ringan.
Aku tidak menyentuhnya, meskipun penasaran apakah
kayu yang sudah sangat tua itu terasa sama lembutnya seperti kelihatannya.
"Pasti sudah sangat tua," aku menebaknya.
Ia mengangkat bahu. "Awal 1630-an,
kurang-lebih." Aku mengalihkan pandang dari salib itu kepada Edward.
“Mengapa kalian menyimpannya di
sini?" aku bertanyatanya.
“Nostalgia. Itu milik ayah Carlisle."
“Dia mengoleksi barang-barang antik?” aku menebak
ragu-ragu.
"Tidak. Dia mengukirnya sendiri. Salib ini
digantungkan di atas altar rumah gereja tempatnya memberi pelayanan." Aku tak
yakin apakah wajahku dapat menutupi keterkejutanku, tapi aku kembali memandang
salib kuno dan sederhana itu, untuk berjaga-jaga.
Aku langsung menghitung dalam hari; salib itu berusia
lebih dari 370 tahun. Keheningan berlanjut saat aku berusaha menyimpulkan
pikiranku mengenai tahun-tahun yang begitu banyak.
"Kau baik-baik saja?" Ia terdengar waswas.
"Berapa umur Carlisle?" tanyaku pelan,
mengabaikan pertanyaannya, masih memandangi salib.
"Dia baru saja merayakan ulang tahunnya yang
ke-362," jawab Edward.
Aku kembali menatapnya, berjuta-juta pertanyaan
tersimpan di mataku.
Ia memerhatikanku dengan hati-hati ketika berbicara.
"Carlisle lahir di London, pada tahun 1640-an,
menurutnya. Lagi pula bagi orang-orang awam, saat itu perhitungan waktu belum
terlalu tepat. Meski begitu, saat itu tepat sebelum pemerintahan Cromwell."
Aku tetap menjaga ekspresiku, sadar ia mengamatiku saat aku
menyimak. Lebih mudah seandainya aku tidak mencoba memercayainya.
Penutup Novel Twilight – Keluarga
Cullen Bab 82
Gimana Novel twilight – Port Keluarga Cullen Bab 82 ? keren kan ceritanya.
Tentunya kamu penasaran apa yang akan terjadi di bab berikutnya. Jangan
khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan baca bab berikutnya dengan mengklik
tombol navigasi bab di bawah ini.
0 comments: