Novel Twilight, ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada
orang tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight Bab 81 yang dipersembahkan oleh Admin white novel. Semoga
bisa memberi hiburan, insipirasi dan solusi bagi setiap masalah yang kamu
hadapi.
Baca Novel Twilight – Keluarga Cullen Bab 81
"Terima kasih," sahut Esme. "Kami senang
sekali kau datang." Ia berbicara penuh perasaan, dan aku menyadari ia
pasti menganggapku berani.
Aku juga menyadari bahwa Rosalie dan Emmett tak
terlihat di mana pun di rumah itu, dan aku ingat penyangkalan Edward yang
terlalu polos ketika aku bertanya padanya apakah keluarganya yang lain tidak
menyukaiku.
Ekspresi Carlisle mengalihkanku dari pikiran ini; ia
memandang Edward penuh makna, ekspresinya mendalam.
Dan sudut mata aku melihat Edward mengangguk sekali.
Aku mengalihkan pandangan, berusaha bersikap sopan.
Mataku kembali menatap instrumen indah di dekat pintu.
Tiba-tiba aku teringat khayalan masa kecilku, seandainya aku memenangkan lotre,
aku akan membeli grand piano untuk ibuku.
Ia tidak terlalu pintar memainkan piano—ia hanya
memainkan piano upright bekas kami untuk dirinya sendiri—tapi aku suka melihatnya
memainkan piano.
Ia terlihat bahagia, begitu tenggelam—bagiku ia
kelihatan seperti sosok misterius yang baru, seseorang di luar sosok
"ibu" yang kukenal selama ini. Ia mengajariku cara bermain piano,
tentu saja, tapi seperti kebanyakan anak, aku terus mengeluh hingga ia
membiarkanku berhenti berlatih.
Esme memerhatikan keprihatinanku.
"Kau bisa main piano?" tanyanya, menunjuk
piano dengan kepalanya.
Kugelengkan kepalaku. "Tidak sama sekali. Tapi
piano itu indah sekali. Apakah itu milik Anda?"
"Tidak," ia tertawa.
"Edward tidak memberitahumu dia pandai bermain
musik?"
"Tidak." Dengan marah kutatap Edward yang
memasang ekspresi tak berdosa.
"Kurasa aku seharusnya tahu." Alis Esme
yang lembut terangkat, bingung.
"Edward bisa melakukan segalanya, bukan begitu?"
kataku menjelaskan.
Jasper tertawa sinis dan Esme menatap Edward tak
setuju.
"Kuharap kau tidak pamer pada Bella—itu tidak
sopan," bentaknya.
"Hanya sedikit," Edward tertawa lepas.
Wajah Esme melembut mendengar suara itu, dan sesaat mereka saling
menatap—tatapan yang tak kumengerti—meskipun wajah Esme tampak nyaris puas.
"Sebenarnya, dia terlalu rendah hati." aku
meralatnya.
"Kalau begitu, bermainlah untuknya," bujuk
Esme.
"Kau baru saja bilang memamerkan diri tidak
sopan," sergah Edward keberatan.
"Selalu ada pengecualian terhadap setiap
peraturan," balas Esme.
"Aku ingin mendengarmu bermain piano,"
sahutku.
"Kalau begitu sudah diputuskan." Esme
mendorong Edward menuju piano. Edward menarikku bersamanya, mendudukkanku di
kursi di sampingnya.
Lama sekali ia menatapku putus asa, sebelum beralih
pada tuts-tuts pianonya.
Kemudian jari-jarinya dengan lincah menekan tuts-tuts
gading itu. dan ruangan itu pun dipenuhi irama yang begitu rumit, begitu kaya,
mustahil hanya dimainkan dengan sepasang tangan.
Aku merasakan mulutku menganga terkesima karena
permainannya, dan mendengar tawa pelan di belakangku, menertawakan reaksiku.
Edward menatapku santai, musik masih melingkupi kami tanpa henti, dan ia
berkedip.
"Kau menyukainya?"
"Kau menciptakannya?" Aku terperangah
menyadarinya.
Ia mengangguk. "Kesukaan Esme."
Aku memejamkan mata sambil menggeleng-gelengkan
kepala. "Ada apa?"
"Aku merasa amat sangat tidak berguna."
Irama musik memelan, berubah jadi lebih lembut, dan
aku terkejut menemukan melodi nina bobonya mengalun di antara sekumpulan not
yang dimainkannya.
“Kau yang menginspirasi ini," katanya lembut.
Musiknya berkembang menjadi sesuatu yang teramat manis.
Aku tak sanggup berkata-kata.
“Mereka menyukaimu, kau tahu." katanya.
"Terutama Esme.”
Aku melirik ke belakang, tapi ruangan besar itu
kosong sekarang.
"Mereka ke mana?"
"Kurasa mereka ingin memberi kita privasi."
Aku mendesah.
"Mereka menyukaiku. Tapi Rosalie dan
Emmett..." aku tidak menyelesaikan kata-kataku, tak yakin bagaimana
caranya mengekspresikan keraguanku. Ia merengut.
"Jangan khawatirkan Rosalie," karanya,
matanya melebar dan persuasif.
"Dia akan datang."
Aku mencibir. "Emmett?"
"Well,
dia pikir aku gila, dan dia benar, tapi dia tidak punya masalah denganmu. Dia
mencoba berempati dengan
Rosalie."
"Apa yang membuat Rosalie tidak suka?" Aku
tak yakin apakah ingin mengetahui jawabannya.
Ia menarik napas dalam-dalam. "Rosalie yang
paling berjuang keras... menutupi jati diri kami. Sulit baginya bila ada
seseorang dari luar mengetahui kebenarannya. Dan dia agak cemburu."
"Rosalie cemburu padaku?" tanyaku tak
percaya.
Aku berusaha membayangkan sebuah kehidupan di mana di
dalamnya ada seseorang semenawan Rosalie memiliki alasan apa pun untuk merasa
cemburu pada seseorang seperti aku.
"Kau manusia." Ia mengangkat bahu.
"Dia berharap seandainya dia juga manusia."
"Oh," gumamku, masih terkejut.
"Bahkan Jasper...”
"Ini benar-benar salahku," katanya.
"Sudah kubilang, dia yang terakhir mencoba cara
hidup kami. Aku mengingatkannya untuk menjaga jarak." Aku memikirkan
alasannya melakukan hal itu, dan bergidik.
"Esme dan Carlisle...?" lanjutku cepat,
untuk mencegahnya menyadari kengerianku.
"Senang melihatku bahagia. Sebenarnya. Esme
tidak akan peduli seandainya kau punya tiga mata dan kakimu berselaput. Selama
ini dia mengkhawatirkan aku, takut ada sesuatu yang hilang dari karakter
utamaku, bahwa aku terlalu muda ketika Carlisle mengubahku... Dia sangat
senang. Setiap kali aku menyentuhmu, dia nyaris tersedak oleh perasaan
puas."
"Alice tampak sangat... bersemangat."
"Alice punya caranya sendiri dalam melihat
hal-hal," katanya dengan bibir terkatup rapat. "Dan kau takkan
menjelaskannya, ya kan?"
Sesaat keheningan melintas di antara kami. Ia
menyadari bahwa aku tahu ia menyembunyikan sesuatu dariku. Aku tahu ia takkan
mengatakan apa-apa. Tidak sekarang.
"Jadi, tadi Carlisle bilang apa padamu?"
Alisnya menyatu. "Aku tahu kau pasti
memerhatikan."
Aku mengangkat bahu. "Tentu saja." Ia
memandangku lekat-lekat sebentar sebelum menjawab.
"Dia ingin memberitahuku beberapa hal—dia tidak
tahu apakah aku mau memberitahumu."
"Apakah kau akan memberitahuku?"
Penutup Novel Twilight – Keluarga
Cullen Bab 81
Gimana Novel twilight – Port Keluarga Cullen Bab 81 ? keren kan ceritanya.
Tentunya kamu penasaran apa yang akan terjadi di bab berikutnya. Jangan
khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan baca bab berikutnya dengan mengklik
tombol navigasi bab di bawah ini.
0 comments: