Novel Twilight, ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada
orang tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight Bab 80 yang dipersembahkan oleh Admin white novel. Semoga
bisa memberi hiburan, insipirasi dan solusi bagi setiap masalah yang kamu
hadapi.
Baca Novel Twilight – Keluarga Cullen Bab 80
Kemudian kami meninggalkan rumah-rumah, dan memasuki
hutan berkabut. Aku mencoba memutuskan untuk bertanya atau tetap bersabar,
ketika ia tiba-tiba membelok ke jalanan tak beraspal. Jalanan itu tak bertanda,
nyaris tak tampak di antara tumbuh-tumbuhan pakis. Hutan menyelimuti kedua
sisinya, hingga jalanan di depan kami hanya kelihatan sejauh beberapa meter,
meliuk-liuk seperti ular di sekeliling pepohonan kuno.
Kemudian, setelah beberapa mil, hutan mulai menipis,
dan tiba-tiba kami berada di padang rumput kecil, atau sebenarnya halaman
rumput sebuah rumah? Meski begitu kemuraman hutan tidak memudar, karena ada
enam pohon
cedar tua yang menaungi tempat itu dengan
cabangcabangnya
yang lebar. Bayangan pepohonan itu menaungi dinding
rumah yang berdiri di antaranya, membuat serambi yang mengitari lantai dasar
tampak kuno.
Aku tak tahu apa yang kuharapkan, tapi jelas bukan
yang seperti ini. Rumah itu tampak abadi, elegan, dan barangkali berusia
ratusan tahun.
Cat putih yang membalutnya lembut dan nyaris pudar,
berlantai tiga, berbentuk persegi dan proporsional. Jendela-jendela dan
pintu-pintunya entah merupakan struktur asli atau hasil pemugaran yang
sempurna. Trukku satu-satunya kendaraan yang tampak di sana. Aku bisa mendengar
suara aliran sungai di dekat kami, tersembunyi di kegelapan hutan.
"Wow."
“Kau menyukainya?" Ia tersenyum.
"Bangunan ini memiliki pesona tersendiri."
Ia menarik ujung ekor kudaku dan tergelak.
"Siap?" ia bertanya sambil membukakan
pintuku. "Sama sekali tidak—ayo." Aku mencoba tertawa, tapi
sepertinya tenggorokanku tercekat. Aku merapikan rambut dengan gugup.
"Kau cantik." Ia menggenggam tanganku
dengan luwes,
tanpa ragu.
Kami berjalan menembus bayangan pepohonan menuju teras
rumah. Aku tahu ia bisa merasakan keteganganku; ibu jarinya membuat gerakan
melingkar yang menenangkan di punggung tanganku. Ia membukakan pintu untukku.
Bagian dalam rumah itu bahkan lebih mengejutkan lagi, lebih
tak bisa diramalkan, daripada bagian luarnya. Sangat terang sangat terbuka, dan
sangat luas. Dulunya ruangan ini pasti kumpulan beberapa kamar, namun
dindingdindingnya disingkirkan untuk menciptakan satu ruangan luas di lantai
dasar.
Di bagian belakang dinding yang menghadap selatan telah
digantikan seluruhnya dengan kaca, dan di balik bayangan pohon cedar terbentang
rerumputan luas hingga ke sungai. Tangga meliuk yang lebar dan besar
mendominasi sisi barat ruangan. Dindingdindingnya,
langit-langitnya yang tinggi, lantainya yang terbuat
dari kayu, dan karpet tebal, semuanya merupakan gradasi warna putih.
Tampak menanti untuk menyambut kami, berdiri persis di kiri
pintu, pada bagian lantai yang lebih tinggi di sisi grand piano yang
spektakuler, adalah orangtua Edward.
Aku pernah melihat dr. Cullen sebelumnya, tentu saja, tapi
tetap saja aku tak bisa menahan keterkejutanku melihat kemudaannya,
kesempurnaannya yang luar biasa. Kurasa perempuan yang berdiri di sisinya
adalah Esme, satusatunya anggota keluarga Cullen yang belum pernah kulihat. Ia
memiliki wajah yang pucat dan indah seperti yang lainnya.
Wajahnya berbentuk hati, rambutnya berombak dan halus,
berwarna cokelat karamel, mengingatkanku pada era film bisu. Tubuhnya mungil
langsing namun tidak terlalu kurus, lebih berisi dibanding yang lainnya.
Mereka mengenakan pakaian kasual berwarna terang yang
serasi dengan warna ruangan dalam rumah mereka. Mereka tersenyum menyambut
kami, tapi tidak bergerak mendekat. Kurasa mereka tak ingin membuatku takut.
"Carlisle, Esme," suara Edward memecah
keheningan yang terjadi sebentar, "ini Bella."
"Selamat datang, Bella." Langkah Carlisle
terukur, berhati-hati saat mendekatiku. Ia mengulurkan tangannya dan aku
melangkah maju untuk menjabatnya.
"Senang bisa bertemu Anda lagi, dr.
Cullen."
"Tolong panggil saja Carlisle."
"Carlisle." Aku tersenyum padanya,
kepercayaan diriku yang muncul tiba-tiba mengejutkanku. Aku bisa merasakan
Edward merasa lega di sampingku.
Esme tersenyum dan melangkah maju juga, menjabat
tanganku. Genggamannya yang kuat dan dingin persis yang kuperkirakan.
"Senang sekali bisa berkenalan denganmu,"
sahutnya tulus.
"Terima kasih. Aku juga senang bisa bertemu
Anda." Memang itulah yang kurasakan.
Pertemuan itu bagaikan pertemuan dongeng—Putri Salju
dalam wujud aslinya.
"Di mana Alice dan Jasper?" Edward
bertanya, tapi mereka tidak menjawab, berhubung keduanya muncul di puncak
tangga yang lebar.
"Hei, Edward!" Alice memanggilnya bersemangat.
Ia berlari menuruni tangga, perpaduan rambut hitam dan
kulit putih, sekonyong-konyong berhenti dengan anggun di hadapanku. Carlisle
dan Esme memelototinya, tapi aku menyukainya. Lagi pula, itu sesuatu yang
alami—baginya.
"Hai, Bella!" sapa Alice, dan ia melesat ke depan
untuk mengecup pipiku.
Bila Carlisle dan Esme sebelumnya tampak berhati-hati,
sekarang mereka tampak terkesiap. Mataku juga memancarkan rasa terkejut, tapi
aku juga sangat senang bahwa sepertinya ia menerima keberadaanku sepenuhnya.
Aku bingung melihat Edward yang mendadak kaku d. sebelahku.
Aku memandang wajahnya, tapi ekspresinya tak bisa ditebak.
"Kau memang harum, aku belum pernah memerhatikan
sebelumnya." ia berkomentar, membuatku sangat malu.
Tampaknya tak seorang pun tahu apa yang harus dikatakan,
kemudian Jasper ada di sana—tinggi bagai singa. Perasaan lega menyeruak dalam
diriku, dan tiba-tiba aku merasa nyaman terlepas di mana aku tengah berada.
Edward menatap Jasper, salah satu alisnya terangkat,
dan aku teringat akan kemampuannya.
"Halo, Bella," sapa Jasper.
Ia tetap menjaga jarak, tidak menawarkan untuk
berjabat tangan. Tapi mustahil untuk merasa gugup di dekatnya.
"Halo, Jasper." Aku tersenyum malu-malu
padanya, dan pada yang lainnya juga. "Senang bisa bertemu kalian
semua—rumah kalian sangat indah." tambahku apa adanya.
Penutup Novel Twilight – Keluarga
Cullen Bab 80
Gimana Novel twilight – Port Keluarga Cullen Bab 80 ? keren kan ceritanya.
Tentunya kamu penasaran apa yang akan terjadi di bab berikutnya. Jangan
khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan baca bab berikutnya dengan mengklik
tombol navigasi bab di bawah ini.
0 comments: