Novel Twilight, ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada
orang tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight Bab 79 yang dipersembahkan oleh Admin white novel. Semoga
bisa memberi hiburan, insipirasi dan solusi bagi setiap masalah yang kamu
hadapi.
Baca Novel Twilight – Keluarga Cullen Bab 79
"Dan Jasper membuat kalian semua nyaman untuk
menumpahkan kegelisahan kalian, jangan lupa itu." "Kau
menyimak," ia tersenyum senang.
“Aku cukup dikenal akan hal ini kadang-kadang." Aku
meringis,
"jadi, apakah Alice sudah melihat kedatanganku?"
Reaksinya aneh. "Kira-kira begitu," katanya jengah, berpaling
sehingga aku tidak melihat matanya. Aku menatapnya penasaran.
“Apakah itu enak?” tanyanya, tiba-tiba berbalik
menghadapku dan menatap sarapanku dengan pandangan menggoda.
“Jujur, makananmu itu tidak terlalu mengundang
selera."
"Well,
sama sekali bukan beruang pemarah...," gumamku, mengabaikan tatapan
marahnya.
Aku masih bertanya-tanya mengapa ia bereaksi seperti
itu saat aku menyebut soal Alice. Aku buru-buru menghabiskan serealku, sambil
berspekulasi.
Ia berdiri di tengah dapur, mirip patung Adonis lagi,
menerawang ke luar jendela belakang. Kemudian tatapannya kembali padaku, dan ia
memamerkan senyumnya yang menawan. "Dan kurasa kau juga harus
memperkenalkanku pada ayahmu."
"Dia sudah mengenalmu," aku
mengingatkannya.
"Maksudku sebagai pacarmu."
Aku menatapnya curiga. "Kenapa?"
"Bukankah begitu kebiasaannya?" tanyanya
polos.
"Aku tidak tahu," aku mengakui. Pengalaman
berkencanku yang minim tidak cukup bagiku untuk mengetahui kebiasaan itu. Bukan
berarti aturan berkencan yang normal berlaku di sini.
"Itu tidak perlu, kau tahu. Aku tidak berharap kau...
maksudku, kau tak perlu berpura-pura demi aku." Senyumnya penuh kesabaran.
"Aku tidak berpura-pura." Aku mengumpulkan
sisa serealku ke ujung mangkuk, menggigit bibir.
"Kau akan memberitahu Charlie bahwa aku pacarmu
atau tidak?" desaknya.
"Apakah kau boyfriend-ku?" Kutekan
ketakutanku membayangkan Edward dan Charlie dan kata
"boyfriend— pacar" dalam ruangan yang sama
pada waktu bersamaan.
"Kuakui itu pengertian bebas mengenai kata
'boy’”
"Aku mendapat kesan sebenarnya kau lebih dari
itu." aku mengaku, memandangi meja.
"Well,
aku tidak tahu apakah kita perlu memberitahunya semua detail mengerikan
itu." Ia meraih ke seberang meja, mengangkat daguku dengan jarinya yang
dingin dan lembut.
"Tapi dia akan memerlukan penjelasan mengapa aku
sering kemah. Aku tak ingin Kepala Polisi Swan menetapkan larangan
untukku."
"Benarkah?" aku sekonyong-konyong waswas.
"Benarkah kau akan berada di sini?"
"Selama yang kauinginkan," ia meyakinkanku.
“Aku akan selalu menginginkanmu," aku mengingatkannya.
"Selamanya."
Perlahan ia mengelilingi meja, setelah beberapa senti
dariku ia menghentikan langkah, mengulurkan tangan untuk menyentuhkan ujung
jarinya ke pipiku. Ekspresinya penuh makna.
“Apa itu membuatmu sedih?" tanyaku. Ia tak
menyahut. Lama sekali ia menatap ke dalam mataku.
"Kau sudah selesai?" ia akhirnya bertanya.
Aku melompat berdiri. "Ya."
"Berpakaianlah—aku akan menunggu di sini."
Sulit memutuskan apa yang harus kukenakan.
Aku ragu ada buku etika yang menjelaskan bagaimana
seharusnya berpakaian ketika kekasih vampirmu hendak memperkenalkanmu kepada
keluarga vampirnya. Lega rasanya bisa berpikir begitu. Aku tahu aku sengaja tak
mau memikirkannya.
Akhirnya aku mengenakan satu-satunya rok yang
kumiliki – rok panjang, berwarna khaki, masih kasual. Aku mengenakan blus biru
tua yang pernah dipujinya. Lirikan singkat di cermin memberitahu rambutku
benar-benar berantakan, jadi aku mengucirnya jadi ekor kuda.
“Oke.” Aku melompat-lompat menuruni tangga.
“Aku sudah pantas bepergian.”
Ia menunggu di ujung tangga, lebih dekat dari yang
kukira, dan aku langsung menghambur ke arahnya. Ia memegangiku beberapa saat
sebelum tiba-tiba menarikku lebih dekat.
"Kau salah lagi," gumamnya di telingaku.
"Kau sangat tidak pantas—tak seorang pun boleh
terlihat begitu menggoda, itu tidak adil."
"Menggoda bagaimana?" tanyaku. "Aku
bias mengganti...”
Ia mendesah, menggeleng-gelengkan kepala.
"Kau sangat konyol." Dengan lembut ia
menempelkan bibirnya yang sejuk di dahiku, dan ruangan pun berputar. Aroma
napasnya membuatku mustahil bisa berpikir.
"Haruskah aku menjelaskan bagaimana kau
membuatku tergoda?" katanya.
Jelas itu pertanyaan retoris. Jemarinya perlahan
menelusuri tulang belakangku, napasnya semakin menderu di permukaan kulitku.
Tanganku membeku di dadanya, dan aku kembali melayang. Ia memiringkan kepala
perlahan, dan menyentuhkan bibir dinginnya ke bibirku untuk kedua kalinya,
dengan sangat hati-hati membukanya.
Kemudian aku tak sadarkan diri.
“Bella?" suaranya terdengar kaget ketika ia
menangkap dan memegangiku.
“Kau... membuatku... jatuh pingsan," aku
meracau.
"Apa yang akan kulakukan denganmu!" ia
menggerutu, putus asa.
"Kemarin aku menciummu, dan kau menyerangku!
Hari ini kau pingsan di hadapanku!" Aku tertawa lemah, membiarkan
lengannya menahanku sementara kepalaku masih berputar-putar.
"Dan katamu aku bisa melakukan segalanya.” ia
mendesah.
"Itulah masalahnya" Aku masih pusing,
"Kau terlalu pintar melakukannya. Amat sangat
terlalu pintar."
"Kau merasa sakit?" ia bertanya; ia pernah
melihatku Seperti ini sebelumnya.
"Tidak – pingsanku kali ini berbeda. Aku tak
tahu apa yang terjadi." Aku menggeleng menyesalinya.
"Kurasa aku lupa bernapas."
"Aku tak bisa membawamu ke mana-mana dalam
keadaan seperti ini.”
"Aku baik-baik saja,” aku bersikeras. “Lagi pula
keluargamu toh bakal menganggapku gila. jadi apa bedanya?"
Ia mengamati ekspresiku beberapa saat. "Aku
sangat menyukai warna kulitmu," ujarnya tak disangka-sangka.
Wajahku memerah senang dan berpaling.
"Begini, aku berusaha sangat keras untuk tidak
memikirkan apa yang akan kulakukan, jadi bisakah kita berangkat sekarang?"
tanyaku.
"Dan kau khawatir, bukan karena kau akan pergi
ke rumah yang isinya vampir semua, tapi karena kaupikir vampir-vampir itu tak
akan menerimamu, betul?"
"Betul," aku langsung menjawabnya, menyembunyikan
keterkejutanku pada kata-katanya yang terdengar wajar.
Ia menggeleng. "Kau sulit dipercaya."
Aku menyadari, saat ia mengemudikan trukku meninggalkan
pusat kota, aku sama sekali tak tahu di mana ia tinggal. Kami melewati jembatan
di Sungai Calawah, jalanan membentang ke utara, rumah-rumah yang kami lalui
semakin jarang, dan semakin besar.
Penutup Novel Twilight – Keluarga
Cullen Bab 79
Gimana Novel twilight – Port Keluarga Cullen Bab 79 ? keren kan ceritanya.
Tentunya kamu penasaran apa yang akan terjadi di bab berikutnya. Jangan
khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan baca bab berikutnya dengan mengklik
tombol navigasi bab di bawah ini.
0 comments: