Novel Twilight, ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada
orang tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight Bab 78 yang dipersembahkan oleh Admin white novel. Semoga
bisa memberi hiburan, insipirasi dan solusi bagi setiap masalah yang kamu
hadapi.
Baca Novel Twilight – Keluarga Cullen Bab 78
15. KELUARGA CULLEN
CAHAYA suram dari satu lagi hari mendung akhirnya
membangunkanku. Aku berbaring, lengan menutupi mata, mengantuk dan pusing.
Sesuatu, sebuah mimpi yang coba kuingat, mencoba
menyusup masuk ke dalam kesadaranku.
Aku mengerang dan berguling ke sisi, berharap bisa
tertidur lagi. Lalu bayangan hari kemarin membanjiri kesadaranku. "Oh!"
Aku bangun dan duduk begitu cepat hingga kepalaku pusing.
"Rambutmu terlihat seperti tumpukan jerami...
tapi aku menyukainya." Suaranya yang tenang terdengar dari kursi goyang di
sudut kamar.
"Edward! Kau tidak pergi!” aku berseru gembira,
dan tanpa berpikir langsung menghambur ke pangkuannya.
Begitu menyadari apa yang kulakukan, aku membeku,
terkejut karena semangatku yang menggebu. Aku menatapnya, khawatir tindakanku
telah melewati batas.
Tapi ia tertawa.
"Tentu saja," jawabnya kaget, tapi
kelihatan senang melihat reaksiku. Tangannya mengusap-usap punggungku. Aku
membaringkan kepalaku hati-hati di bahunya, menghirup aroma kulitnya.
"Aku yakin itu mimpi."
"Kau tidak sekreatif itu, lagi," dengusnya.
"Charlie!" Aku teringat, tanpa berpikir
melompat menuju pintu.
"Dia pergi sejam yang lalu—setelah memasang
kembali kabel akimu, kalau boleh kutambahkan. Harus kuakui, aku kecewa.
Benarkah hanya itu yang diperlukan untuk menghentikanmu, seandainya kau
bertekad pergi?" Aku menimbang-nimbang dari tempatku berdiri, ingin sekali
kembali padanya, tapi khawatir napasku bau.
"Kau tidak biasanya sebingung ini di pagi
hari," ujarnya.
Ia merentangkan lengannya untuk menyambutku lagi.
Undangan yang nyaris tak sanggup kutolak.
"Aku butuh waktu sebentar untuk menjadi manusia,"
aku mengakuinya.
"Kutunggu."
Aku melompat ke kamar mandi, sama sekali tak memahami
emosiku. Aku tak mengenali diriku, di dalam maupun di luar.
Wajah yang ada di cermin praktis asing— matanya
terlalu ceria, bintik-bintik merah menyebar di tulang pipiku. Setelah menggosok
gigi aku merapikan rambutku yang berantakan. Kupercikkan air dingin ke wajahku,
dan berusaha bernapas secara normal, tapi nyaris gagal.
Setengah berlari aku kembali ke kamar. Rasanya
seperti mukjizat bahwa ia masih di sana, lengannya masih menantiku. Ia
meraihku, dan jantungku berdebar tak keruan.
"Selamat datang lagi," gumamnya, membawaku
ke dalam
Ia menggoyang-goyangkan tubuhku sebentar dalam
keheningan, sampai aku menyadari ia telah berganti pakaian, dan rambutnya sudah
rapi.
"Kau pergi?" tuduhku, sambil menyentuh
kerah kausnya yang masih baru.
"Aku tak bisa pergi mengenakan pakaian yang sama
dengan ketika aku datang—apa yang akan dipikirkan para tetangga?" Aku
mencibir.
"Kau tidur sangat pulas semalam; aku tak
melewatkan apa pun." Matanya berkilat-kilat. "Kau mengigau lebih
awal."
Aku menggeram. "Apa yang kaudengar?" Mata
keemasannya melembut. "Kaubilang kau mencintaiku."
"Kau sudah tahu itu," aku mengingatkannya,
menyusupkan kepalaku.
"Tapi toh aku senang mendengarnya." Kusembunyikan
wajahku di bahunya.
"Aku mencintaimu," bisikku.
"Kau hidupku sekarang" jawabnya sederhana.
Tak ada lagi yang perlu dikatakan saat itu. Ia
bergerak maju-mundur sementara ruangan semakin terang.
“Saatnya sarapan," akhirnya ia berkata, dengan kasualuntuk
membuktikan, aku yakin, bahwa ia mengingat semua kelemahan manusiaku.
Jadi aku mencekik tenggorokanku dengan kedua tangan
dan mataku membelalak ke arahnya. Ia terperanjat. "Bercanda!" aku
nyengir. “Padahal katamu aku tidak
bisa berakting!”
Ia mengerutkan dahi, jijik. "Tidak lucu."
"Itu sangat lucu, dan kau tahu itu." Tapi
hati-hati aku mengamati mata emasnya, memastikan ia memaafkanku.
Dan tampaknya aku dimaafkan.
"Boleh kuulangi?" tanyaku. "Saatnya
sarapan untuk manusia." "Oh, baiklah."
Ia mengusungku di bahunya yang kokoh, dengan lembut,
namun dengan kecepatan yang membuatku menahan napas. Aku memprotes saat ia
dengan mudah membawaku menuruni tangga, tapi ia mengabaikanku. Ia mendudukkanku
di kursi.
Ruang dapur terang, ceria, seolah-olah menyerap
suasana hatiku.
"Apa menu sarapannya?" tanyaku riang.
Pertanyaanku membuatnya berpikir sebentar. "Mm,
aku tak yakin. Kau mau apa?" Alis pualamnya berkerut.
Aku tersenyum, melompat berdiri.
"Tidak apa-apa, aku bisa mengurus diriku sendiri
dengan cukup baik. Perhatikan caraku berburu." Aku mengambil mangkuk dan
sekotak sereal. Bisa kurasakan tatapannya ketika aku menuang susu dan mengambil
sendok. Kuletakkan makananku di meja, lalu berhenti.
"Kau mau sesuatu?" tanyaku, tak ingin
bersikap tidak sopan.
Ia memutar bola matanya. "Makan saja. Bella.”
Aku duduk di meja makan, memerhatikannya sambil menyuap sereal. Ia
memandangiku, mempelajari setiap gerakanku.
Itu membuatku tidak nyaman. Aku berdehem untuk
bicara, mengalihkan perhatiannya.
"Apa acara hari ini?" tanyaku.
"Hmmm..." Aku melihatnya berhati-hati
memikirkan jawabannya. "Bagaimana menurutmu kalau kita bertemu
keluargaku?”
Aku menelan liurku.
“Apa sekarang kau takut?" ia terdengar berharap.
"Ya," aku mengakui; bagaimana mungkin aku menyangkalnya—ia bisa melihatnya
di mataku. "Jangan khawatir." Ia mencibir. "Aku akan
melindungimu."
"Aku tidak takut pada mereka" jelasku.
"Aku khawatir mereka takkan... menyukaiku.
Tidakkah mereka akan, Well, terkejut
kau membawa seseorang... seperti aku... ke rumah menemui mereka? Tahukah mereka
aku tahu tentang mereka?"
"Oh, mereka sudah mengetahui semuanya. Kau tahu,
kemarin mereka bertaruh"—ia tersenyum, tapi suaranya parau—
"apakah aku membawamu kembali, meski aku tak mengerti
mengapa mereka mau bertaruh melawan Alice. Bagaimanapun kami sekeluarga tak
pernah menyimpan rahasia. Sebenarnya kami memang tidak mungkin berahasia,
terutama dengan kemampuanku membaca pikiran dan Alice melihat masa depan, dan
semuanya."
Penutup Novel Twilight – Keluarga
Cullen Bab 78
Gimana Novel twilight – Port Keluarga Cullen Bab 78 ? keren kan ceritanya.
Tentunya kamu penasaran apa yang akan terjadi di bab berikutnya. Jangan
khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan baca bab berikutnya dengan mengklik
tombol navigasi bab di bawah ini.
0 comments: