Tuesday, February 1, 2022

Bab 78 Novel Twilight – Keluarga Cullen - Baca Di Sini

Novel Twilight, ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.

Dalam novel ini Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis, permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.

Sebelum kamu membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada orang tua tetaplah hal yang harus diutamakan.

Ok, Silahkan baca novel Twilight Bab 78 yang dipersembahkan oleh Admin white novel. Semoga bisa memberi hiburan, insipirasi dan solusi bagi setiap masalah yang kamu hadapi.

Baca Novel Twilight – Keluarga Cullen Bab 78

15. KELUARGA CULLEN

CAHAYA suram dari satu lagi hari mendung akhirnya membangunkanku. Aku berbaring, lengan menutupi mata, mengantuk dan pusing.

Sesuatu, sebuah mimpi yang coba kuingat, mencoba menyusup masuk ke dalam kesadaranku.

Aku mengerang dan berguling ke sisi, berharap bisa tertidur lagi. Lalu bayangan hari kemarin membanjiri kesadaranku. "Oh!" Aku bangun dan duduk begitu cepat hingga kepalaku pusing.

"Rambutmu terlihat seperti tumpukan jerami... tapi aku menyukainya." Suaranya yang tenang terdengar dari kursi goyang di sudut kamar.

Novel Twilight


"Edward! Kau tidak pergi!” aku berseru gembira, dan tanpa berpikir langsung menghambur ke pangkuannya.

Begitu menyadari apa yang kulakukan, aku membeku, terkejut karena semangatku yang menggebu. Aku menatapnya, khawatir tindakanku telah melewati batas.

Tapi ia tertawa.

"Tentu saja," jawabnya kaget, tapi kelihatan senang melihat reaksiku. Tangannya mengusap-usap punggungku. Aku membaringkan kepalaku hati-hati di bahunya, menghirup aroma kulitnya.

"Aku yakin itu mimpi."

"Kau tidak sekreatif itu, lagi," dengusnya.

"Charlie!" Aku teringat, tanpa berpikir melompat menuju pintu.

"Dia pergi sejam yang lalu—setelah memasang kembali kabel akimu, kalau boleh kutambahkan. Harus kuakui, aku kecewa. Benarkah hanya itu yang diperlukan untuk menghentikanmu, seandainya kau bertekad pergi?" Aku menimbang-nimbang dari tempatku berdiri, ingin sekali kembali padanya, tapi khawatir napasku bau.

"Kau tidak biasanya sebingung ini di pagi hari," ujarnya.

Ia merentangkan lengannya untuk menyambutku lagi.

Undangan yang nyaris tak sanggup kutolak.

"Aku butuh waktu sebentar untuk menjadi manusia,"

aku mengakuinya.

"Kutunggu."

Aku melompat ke kamar mandi, sama sekali tak memahami emosiku. Aku tak mengenali diriku, di dalam maupun di luar.

Wajah yang ada di cermin praktis asing— matanya terlalu ceria, bintik-bintik merah menyebar di tulang pipiku. Setelah menggosok gigi aku merapikan rambutku yang berantakan. Kupercikkan air dingin ke wajahku, dan berusaha bernapas secara normal, tapi nyaris gagal.

Setengah berlari aku kembali ke kamar. Rasanya seperti mukjizat bahwa ia masih di sana, lengannya masih menantiku. Ia meraihku, dan jantungku berdebar tak keruan.

"Selamat datang lagi," gumamnya, membawaku ke dalam

Ia menggoyang-goyangkan tubuhku sebentar dalam keheningan, sampai aku menyadari ia telah berganti pakaian, dan rambutnya sudah rapi.

"Kau pergi?" tuduhku, sambil menyentuh kerah kausnya yang masih baru.

"Aku tak bisa pergi mengenakan pakaian yang sama dengan ketika aku datang—apa yang akan dipikirkan para tetangga?" Aku mencibir.

"Kau tidur sangat pulas semalam; aku tak melewatkan apa pun." Matanya berkilat-kilat. "Kau mengigau lebih awal."

Aku menggeram. "Apa yang kaudengar?" Mata keemasannya melembut. "Kaubilang kau mencintaiku."

"Kau sudah tahu itu," aku mengingatkannya, menyusupkan kepalaku.

"Tapi toh aku senang mendengarnya." Kusembunyikan wajahku di bahunya.

"Aku mencintaimu," bisikku.

"Kau hidupku sekarang" jawabnya sederhana.

Tak ada lagi yang perlu dikatakan saat itu. Ia bergerak maju-mundur sementara ruangan semakin terang.

“Saatnya sarapan," akhirnya ia berkata, dengan kasualuntuk membuktikan, aku yakin, bahwa ia mengingat semua kelemahan manusiaku.

Jadi aku mencekik tenggorokanku dengan kedua tangan dan mataku membelalak ke arahnya. Ia terperanjat. "Bercanda!" aku nyengir. “Padahal katamu aku tidak

bisa berakting!”

Ia mengerutkan dahi, jijik. "Tidak lucu."

"Itu sangat lucu, dan kau tahu itu." Tapi hati-hati aku mengamati mata emasnya, memastikan ia memaafkanku.

Dan tampaknya aku dimaafkan.

"Boleh kuulangi?" tanyaku. "Saatnya sarapan untuk manusia." "Oh, baiklah."

Ia mengusungku di bahunya yang kokoh, dengan lembut, namun dengan kecepatan yang membuatku menahan napas. Aku memprotes saat ia dengan mudah membawaku menuruni tangga, tapi ia mengabaikanku. Ia mendudukkanku di kursi.

Ruang dapur terang, ceria, seolah-olah menyerap suasana hatiku.

"Apa menu sarapannya?" tanyaku riang.

Pertanyaanku membuatnya berpikir sebentar. "Mm, aku tak yakin. Kau mau apa?" Alis pualamnya berkerut.

Aku tersenyum, melompat berdiri.

"Tidak apa-apa, aku bisa mengurus diriku sendiri dengan cukup baik. Perhatikan caraku berburu." Aku mengambil mangkuk dan sekotak sereal. Bisa kurasakan tatapannya ketika aku menuang susu dan mengambil sendok. Kuletakkan makananku di meja, lalu berhenti.

"Kau mau sesuatu?" tanyaku, tak ingin bersikap tidak sopan.

Ia memutar bola matanya. "Makan saja. Bella.” Aku duduk di meja makan, memerhatikannya sambil menyuap sereal. Ia memandangiku, mempelajari setiap gerakanku.

Itu membuatku tidak nyaman. Aku berdehem untuk bicara, mengalihkan perhatiannya.

"Apa acara hari ini?" tanyaku.

"Hmmm..." Aku melihatnya berhati-hati memikirkan jawabannya. "Bagaimana menurutmu kalau kita bertemu keluargaku?”

Aku menelan liurku.

“Apa sekarang kau takut?" ia terdengar berharap. "Ya," aku mengakui; bagaimana mungkin aku menyangkalnya—ia bisa melihatnya di mataku. "Jangan khawatir." Ia mencibir. "Aku akan melindungimu."

"Aku tidak takut pada mereka" jelasku.

"Aku khawatir mereka takkan... menyukaiku. Tidakkah mereka akan, Well, terkejut kau membawa seseorang... seperti aku... ke rumah menemui mereka? Tahukah mereka aku tahu tentang mereka?"

"Oh, mereka sudah mengetahui semuanya. Kau tahu, kemarin mereka bertaruh"—ia tersenyum, tapi suaranya parau—

"apakah aku membawamu kembali, meski aku tak mengerti mengapa mereka mau bertaruh melawan Alice. Bagaimanapun kami sekeluarga tak pernah menyimpan rahasia. Sebenarnya kami memang tidak mungkin berahasia, terutama dengan kemampuanku membaca pikiran dan Alice melihat masa depan, dan semuanya."

Penutup Novel Twilight – Keluarga Cullen Bab 78

Gimana Novel twilight – Port Keluarga Cullen Bab 78 ? keren kan ceritanya. Tentunya kamu penasaran apa yang akan terjadi di bab berikutnya. Jangan khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan baca bab berikutnya dengan mengklik tombol navigasi bab di bawah ini.

Selanjutnya
Sebelumnya

0 comments: