Novel Twilight (New Moon), ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada orang
tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight (New Moon) Bab 6 yang dipersembahkan oleh Admin white novel. Semoga
bisa memberi hiburan, insipirasi dan solusi bagi setiap masalah yang kamu
hadapi.
Baca Novel Twilight – PESTA Bab 6
Ia menyebut mereka Aro, Caius, dan Marcus, malaikat
malam penjaga seni...
"Intinya, kau tidak boleh membuat kesal keluarga
Volturi," sambung Edward, memutus lamunanku.
"Kecuali kau memang ingin mati— atau apa sajalah
istilahnya untuk kami." Suaranya
sangat tenang, sehingga
terkesan ia nyaris bosan oleh kemungkinan itu.
Kemarahanku berubah menjadi kengerian.
Kurengkuh wajahnya yang seperti marmer dan kuremas kuat-kuat.
"Kau jangan sekali-kali,
jangan sekali-kali, berpikir seperti itu lagi!" sergahku.
"Tak peduli apa pun yang
terjadi padaku, kau tidak boleh mencelakakan dirimu sendiri!"
"Aku tidak akan pernah
membahayakan dirimu lagi, jadi itu tidak perlu diperdebatkan lagi."
"Membahayakan aku! Kusangka kita sudah sepakat semua
ketidakberuntungan itu adalah salahku?" Amarahku menjadi-jadi.
"Beraniberaninya kau
berpikir begitu?" Pikiran bahwa Edward tak mau hidup lagi, bahkan walaupun
aku sudah mati, terasa sangat menyakitkan.
"Apa yang akan kaulakukan,
bila situasinya dibalik?" "Itu lain."
Tampaknya Edward tidak mengerti
di mana letak perbedaannya. Ia berdecak.
"Bagaimana kalau sesuatu terjadi padamu?"
Aku pucat memikirkan kemungkinan itu.
"Kau mau aku menghabisi nyawaku sendiri?''
Secercah kepedihan menyaput garis-garis wajahnya yang sempurna.
"Kurasa aku bisa mengerti
maksudmu... sedikit," Edward mengakui.
"Tapi apa yang bisa
kulakukan tanpa kau?"
"Apa pun yang sudah
kaulakukan selama ini sebelum aku datang dan memperumit keberadaanmu."
Edward mendesah.
"Kau membuatnya terdengar
sangat mudah."
“Seharusnya memang begitu. Aku
toh tidak semenarik itu.”
Edward sudah hendak membantah,
tapi lalu mengurungkan niatnya.
"Tidak perlu
diperdebatkan," ia mengingatkan aku.
Mendadak, ia mengubah posisi
duduknya menjadi lebih formal, menggeserku ke samping sehingga kami tak lagi
berdempetan.
"Charlie?" tebakku.
Edward tersenyum. Sejurus
kemudian aku mendengar suara mobil polisi menderu memasuki halaman. Aku
mengulurkan tangan, meraih tangan Edward dan menggenggamnya erat-erat. Hanya
itu yang bisa ditolerir ayahku.
Charlie masuk sambil menenteng
kardus pizza.
"Hai, Anak-anak." Ia nyengir padaku.
"Kupikir, sekali-sekali boleh juga kau dibebaskan
dari tugas memasak dan mencuri piring di hari ulang tahunmu. Lapar?"
"Tentu. Trims, Dad."
Charlie tak pernah mengomentari
kondisi Edward yang kelihatannya tak punya selera makan. Ia sudah terbiasa
melihat Edward melewatkan makan malam.
"Anda tidak keberatan saya
mengajak Bella keluar malam ini, kan?" tanya Edward setelah Charlie dan
aku selesai makan.
Kupandangi Charlie penuh harap.
Siapa tahu ayahku memiliki konsep bahwa ulang tahun adalah acara keluarga, jadi
aku harus tinggal di rumah—ini ulang tahun pertamaku bersamanya, ulang tahun
pertama sejak ibuku, Renee, menikah lagi dan pindah ke Florida, jadi aku tidak
tahu bagaimana ayahku menyikapinya.
"Boleh saja—malam ini
Mariners main lawan Sox," Charlie menjelaskan, dan harapanku langsung
musnah.
"Jadi aku tidak bisa
menemani... Ini" Charlie meraup kamera yang ia belikan atas saran Renee
(karena aku membutuhkan foto-foto untuk mengisi albumku) dan melemparnya ke
arahku.
Seharusnya Dad tidak melemparkan
kamera itu padaku— sejak dulu aku memiliki kelemahan dalam hal koordinasi.
Kamera itu menyapu ujungujung jariku, dan terpental k lantai. Edward
menyambarnya sebelum benda itu jatuh membentur lantai linoleum.
"Gesit juga kau," komentar Charlie.
"Kalau malam ini ada acara seru di rumah keluarga
Cullen, Bella, jangan lupa memotret. Kau tahu sendiri bagaimana ibumu—dia pasti
sudah tak sabar ingin segera melihat foto-foto itu."
"Ide bagus, Charlie,"
kata Edward, menyerahkan kamera itu padaku.
Aku mengarahkan kamera itu pada Edward, dan
menjepretnya.
"Berfungsi dengan baik."
"Bagus. Hei, kirim salam pada Alice, ya. Dia
sudah lama tidak main ke sini." Sudut-sudut mulut Charlie tertarik ke
bawah.
"Baru juga tiga hari, Dad," aku mengingatkan
ayahku.
Charlie tergila-gila pada Alice. Ia jadi dekat
dengannya musim semi lalu ketika Alice membantuku melewati masa-masa pemulihan
yang sulit; Charlie merasa sangat berterima kasih pada Alice karena
menyelamatkannya dari keharusan memandikan anak perempuan yang sudah hampir
dewasa.
"Akan kusampaikan padanya."
"Oke. Bersenang-senanglah kalian malam ini"
Jelas, itu pengusiran secara halus, Charlie sudah beringsut ke ruang duduk dan
pesawat televisi. Edward tersenyum menang dan meraih tanganku, menarikku keluar
dari dapur. Sesampainya di trukku, Edward membukakan pintu penumpang untukku
lagi, dan kali ini aku tidak membantah.
Aku masih sulit menemukan belokan tersamar yang menuju
rumahnya di kegelapan malam seperti ini. Edward mengemudikan mobil ke arah
utara melintasi Forks, kentara sekali jengkel dengan batas kecepatan yang bisa
ditempuh Chevy-ku yang berasal dari zaman prasejarah ini. Mesinnya mengerang
lebih keras daripada biasanya saat
Edward menggenjotnya di atas
kecepatan delapan puluh kilometer per jam. "Pelan-pelan," aku mengingatkan
dia.
"Tahu apa yang bakal
sangat kausukai? Audi coupe mungil yang bagus sekali. Suara mesinnya halus,
tenaganya kuat..."
"Nggak ada yang salah
dengan trukku. Dan omong-omong tentang hal tidak penting yang berharga mahal,
kalau kau tahu apa yang bagus untukmu, kau tidak mengeluarkan uang untuk
membeli hadiah ulang tahun."
"Satu sen pun tidak"
"Bagus."
"Bisakah kau
membantuku?"
"Tergantung apa yang
kauminta."
Edward mendesah, wajahnya yang
tampan tampak serius.
"Bella, ulang tahun
terakhir yang kami rayakan adalah saat Emmett berulang tahun di tahun 1935.
Tolonglah santai sedikit, dan jangan terlalu menyulitkan malam ini. Mereka
semua sangat bersemangat."
Selalu agak mengagetkanku
setiap kali Edward menyinggung hal-hal semacam itu.
"Baiklah, aku akan
bersikap manis.”
"Mungkin seharusnya aku
mengingatkanmu..."
"Ya, please"
"Waktu kubilang mereka semua sangat
bersemangat... maksudku mereka semua."
"Semua?" Aku
tersedak.
"Lho, kukira Emmett dan
Rosalie sedang di Afrika." Semua orang di Forks mengira anak-anak keluarga
Cullen yang sudah dewasa pindah ke luar kota untuk kuliah tahun ini ke
Darmouth, tapi aku tahu yang sebenarnya.
“Emmett ingin datang."
"Tapi... Rosalie?”
Penutup Novel Twilight (New Moon) – PESTA Bab 6
Gimana Novel twilight (New Moon) – Port PESTA Bab 6
? keren kan ceritanya. Tentunya kamu penasaran apa yang akan terjadi di bab
berikutnya. Jangan khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan baca bab
berikutnya dengan mengklik tombol navigasi bab di bawah ini.
0 comments: