Novel Twilight (New Moon), ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada orang
tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight (New Moon) Bab 5 yang dipersembahkan oleh Admin white novel. Semoga
bisa memberi hiburan, insipirasi dan solusi bagi setiap masalah yang kamu
hadapi.
Baca Novel Twilight – PESTA Bab 5
Jantungku berdebar sangat keras
di bawah telapak tangan.
"Menurutmu, apakah aku bisa
jadi semakin baik dalam hal ini?" tanyaku,
menujukannya pada diriku
sendiri. "Bahwa jantungku suatu saat nanti akan berhenti mencoba melompat
keluar dari dadaku setiap kali kau menyentuhku?"
"Aku benar-benar berharap
itu tidak akan terjadi," jawab Edward, sedikit puas pada diri sendiri.
Kuputar bola mataku.
"Ayo kita nonton keluarga
Capulet dan Montague saling menghabisi, bagaimana?"
"Your wish, my command"
Edward duduk berselonjor di
sofa sementara aku menyetel film, mempercepat bagian pembukaan.
Waktu aku duduk di pinggir sofa
di depannya, Edward merangkul pinggangku dan menarikku ke dadanya. Memang tidak
senyaman bersandar di punggung sofa, karena dada Edward keras dan dingin—dan
sempurna—seperti pahatan es, tapi aku jelas lebih menyukainya.
Edward menarik selimut tua yang
tersampir di punggung sofa dan menghamparkannya menutupi tubuhku, supaya aku
tidak membeku karena bersentuhan dengan tubuhnya.
"Kau tahu, sebenarnya aku
kurang suka pada Romeo," Edward berkomentar saat filmnya mulai.
"Memangnya Romeo kenapa?" tanyaku, agak tersinggung. Romeo salah satu
karakter fiksi
favoritku. Sampai aku bertemu
Edward, aku sempat agak-agak naksir padanya. "Well, pertama-tama, dia mencintai Rosaline ini—apa menurutmu itu
bukan plin-plan namanya? Kemudian, beberapa menit setelah pernikahan mereka,
dia membunuh sepupu Juliet. Itu sangat tidak cerdas. Kesalahan demi kesalahan.
Masa menghancurkan
kebahagiaannya sendiri?" Aku mendesah. "Kau mau aku menontonnya
sendirian?"
“Tidak, toh aku akan lebih
banyak menontonmu." Jari-jarinya menyusur membentuk pola di kulit
lenganku, membuat bulu kudukku meremang.
"Kau bakal menangis,
tidak?"
"Kemungkinan besar,"
aku mengakui,
"kalau aku
memerhatikan."
"Aku tidak akan
mengganggumu kalau begitu." Tapi aku merasakan bibirnya di rambutku, dan itu
sangat mengganggu.
Akhirnya film itu berhasil
menyita perhatianku, sebagian besar berkat “jasa" Edward membisikkan
dialog-dialog Romeo di telingaku—suaranya yang merdu bak beledu membuat suara
si aktor terdengar lemah dan kasar. Dan aku benar-benar menangis, membuat
Edward geli, saat Juliet terbangun dan menemukan suami barunya sudah meninggal.
"Harus kuakui, aku agak iri padanya dalam hal
ini," kata Edward, mengeringkan air mataku dengan seberkas rambutku.
"Dia cantik sekali."
Edward mengeluarkan suara
seperti jijik. "Aku bukan iri karena ceweknya—tapi karena mudahnya dia
bunuh diri," Edward mengklarifikasi dengan nada menyindir. "Kalian
manusia gampang sekali mati! Tinggal menelan setabung kecil ekstrak
tumbuhan..."
"Apa?" aku kaget.
"Itu pernah terpikir
olehku, dan aku tahu dari pengalaman Carlisle, prosesnya tidak sesederhana itu.
Aku bahkan tidak tahu berapa kali dia mencoba bunuh diri awalnya... begitu
sadar dia sudah berubah menjadi..." Suara Edward, yang sempat berubah
serius, kini ceria lagi.
"Dan sampai sekarang
ternyata dia masih sehat walafiat." Aku berbalik supaya bisa membaca
ekspresi wajahnya.
"Ngomong apa sih kau?"
tuntutku.
"Apa maksudmu, itu pernah
terpikir olehmu?"
"Musim semi lalu, waktu
kau... nyaris terbunuh..." Edward terdiam sejenak untuk menarik napas
dalam-dalam, berusaha keras kembali memperdengarkan nada menggoda.
"Tentu saja aku berusaha
fokus untuk menemukanmu hidup-hidup, tapi sebagian otakku menyusun rencana
cadangan. Seperti kataku tadi, tak semudah yang bisa dilakukan manusia".
Sedetik, kenangan akan
perjalanan terakhirku ke Phoenix membanjiri otakku dan membuatku merasa pusing.
Aku bisa melihat semuanya dengan sangat jelas—terik matahari yang menyilaukan,
gelombang panas yang menguap dari beton saat aku berlari sekuat tenaga,
tergesa-gesa, dan putus asa, untuk menemukan vampir sadis yang ingin menyiksaku
sampai mati. James, menunggu di ruang cermin bersama ibuku sebagai sandera—
atau aku menyangka begitu. Aku tidak tahu itu hanya tipuan. Sama halnya James
juga tidak tahu saat itu Edward sedang lari untuk menyelamatkan aku; Edward
tiba tepat waktu, meski nyaris terlambat.
Tanpa berpikir, jari-jariku
meraba bekas luka berbentuk bulan sabit di tanganku yang suhunya selalu
beberapa derajat lebih rendah daripada bagian kulitku yang lain. Aku
menggeleng—seolah ingin menepis kenangan buruk itu jauh-jauh—dan berusaha
mencerna maksud Edward. Perutku melilit.
"Rencana cadangan?"
ulangku.
"Well, aku tidak mau hidup tanpa kau," Edward memutar bola
matanya, seolah-olah jawaban itu sudah sangat jelas, tak perlu ditanyakan lagi.
"Tapi aku tak tahu
bagaimana melakukannya—aku tahu Emmett dan Jasper tidak akan mau membantu...
jadi kupikir mungkin aku akan pergi ke Italia dan melakukan sesuatu untuk
memprovokasi Volturi." Aku tidak ingin percaya bahwa Edward serius, tapi
matanya terlihat muram, terfokus pada sesuatu di kejauhan saat ia
mempertimbangkan berbagai cara untuk menghabisi nyawanya sendiri.
Seketika aku marah.
"Apa itu Volturi?"
tuntutku.
"Volturi itu nama sebuah keluarga," Edward
menjelaskan, matanya masih tampak muram. "Keluarga sejenis kami, sangat
tua dan berkuasa.
Di dunia kami, mereka bisa
dianggap keluarga bangsawan, kurasa. Carlisle pernah tinggal sebentar dengan
mereka dulu, di Italia, sebelum kemudian menetap di Amerika—kau ingat
ceritanya?" "Tentu saja aku ingat."
Aku tidak akan pernah lupa saat pertama kali aku ke rumah
Edward, mansion putih besar jauh di pelosok hutan, di tepi sungai, atau kamar
tempat Carlisle—yang bisa dianggap ayah Edward—menyimpan koleksi lukisan yang
menggambarkan sejarah pribadinya.
Lukisan yang paling meriah, paling berwarna-warni, sekaligus
yang paling besar yang ada di sana, menggambarkan kehidupan Carlisle di Italia.
Tentu saja aku ingat potret diri kwartet lelaki kalem, masing-masing berwajah
memesona seperti malaikat serafin, berdiri di balkon paling tinggi, di tengah
pusaran berbagai warna yang bercampur aduk.
Walaupun lukisan itu sudah berabad-abad usianya, Carlisle—si
malaikat pirang—tetap tak berubah. Dan aku ingat ketiga malaikat lain, kenalan
Carlisle dari masa awal hidupnya. Edward tak pernah menyebut nama Volturi untuk
trio rupawan itu, dua berambut hitam, satu berambut seputih salju.
Penutup Novel Twilight (New Moon) – PESTA Bab 5
Gimana Novel twilight (New Moon) – Port ACARA ISTIMEWA Bab 5 ? keren kan ceritanya. Tentunya kamu penasaran apa yang akan
terjadi di bab berikutnya. Jangan khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan
baca bab berikutnya dengan mengklik tombol
navigasi bab di bawah ini.