Novel Twilight (New Moon), ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada orang
tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight (New Moon) Bab 4 yang dipersembahkan oleh Admin white novel. Semoga
bisa memberi hiburan, insipirasi dan solusi bagi setiap masalah yang kamu
hadapi.
Baca Novel Twilight – PESTA Bab 4
Edward punya banyak uang—aku bahkan tidak ingin
membayangkan jumlahnya. Uang hampir tak ada artinya bagi Edward atau anggota
keluarga Cullen lainnya. Itu hanya sesuatu yang semakin bertambah karena mereka
memiliki waktu tak terbatas dan saudara perempuan dengan kemampuan ajaib
memprediksi tren pasar modal.
Edward sepertinya tidak mengerti mengapa aku tidak
ingin ia menghabiskan uangnya untukku— mengapa aku justru merasa tidak enak
bila diajak makan di restoran mahal di Seattle, mengapa ia tidak diizinkan
membelikan aku mobil yang bisa melaju di atas kecepatan 88 kilometer per jam,
atau mengapa aku tidak membiarkan ia membayar uang kuliahku (konyolnya, ia
sangat antusias terhadap Rencana B). Edward menganggapku senang bersikap sulit
padahal sebenarnya tidak perlu.
Tapi bagaimana aku bisa
membiarkannya memberiku banyak hal sementara aku tidak bisa membalasnya? Ia,
entah untuk alasan apa, ingin bersamaku. Jika ia memberiku hal lain lagi, itu
hanya akan membuat kami makin tidak seimbang.
Waktu terus berjalan, baik
Edward maupun Alice tak lagi mengungkit masalah hari ulang tahunku, jadi aku
mulai merasa sedikit rileks. Kami duduk di meja kami yang biasa saat makan
siang.
Ada semacam gencatan senjata aneh di meja kami. Kami
bertiga—Edward, Alice, dan aku— duduk di sisi meja paling selatan. Karena
sekarang anggota keluarga Cullen lain yang "lebih tua" dan lebih
mengerikan (dalam kasus Emmett, jelas) sudah lulus, Alice dan Edward tidak
terlihat terlalu mengancam, jadi bukan hanya kami yang duduk di meja ini.
Teman-temanku yang lain, Mike dan Jessica (yang sedang
dalam fase canggung sehabis putus), Angela dan Ben (yang hubungannya berhasil
melewati musim panas dengan selamat), Eric, Conner, Tyler, dan Lauren (walaupun
yang terakhir itu tidak termasuk kategori teman) semua duduk di meja yang sama,
di seberang garis pemisah yang tak kasatmata. Garis itu lenyap di
hari-hari cerah saat Edward dan
Alice bolos sekolah, dan pada hari seperti itu, obrolan bisa berlangsung sangat
lancar dan melibatkan aku. Edward dan Alice tidak menganggap sikap
teman-temanku yang agak mengasingkan mereka itu aneh atau menyinggung perasaan,
seperti yang pasti bakal kurasakan kalau itu terjadi padaku.
Mereka nyaris tidak
memerhatikannya. Orangorang selalu merasa agak canggung berdekatan dengan
keluarga Cullen, malah bisa dibilang nyaris takut, untuk alasan yang mereka
sendiri tak bisa jelaskan. Aku pengecualian yang jarang dalam hal itu.
Terkadang justru Edward yang merasa terganggu melihat betapa nyaman aku di
dekatnya.
Menurutnya itu berbahaya bagi
kesehatanku— pendapat yang selalu kutolak mentah-mentah setiap kali ia
mengutarakannya. Siang berlalu dengan cepat. Sekolah usai, dan seperti biasa,
Edward mengantarku ke truk. Tapi kali ini, ia membukakan pintu penumpang. Alice
pasti membawa mobilnya pulang supaya Edward bisa memastikan aku tidak kabur.
Aku bersedekap dan tidak
menunjukkan tandatanda bakal segera berteduh dari hujan yang menderas.
"Sekarang kan hari ulang
tahunku, jadi boleh dong aku yang menyetir?"
"Aku berpura-pura hari ini
bukan hari ulang tahunmu, seperti yang kauinginkan.”
"Kalau ini bukan hari
ulang tahunku, berarti aku tidak harus pergi ke rumahmu malam ini...”
"Baiklah," Edward
menutup pintu dan berjalan melewatiku untuk membuka pintu pengemudi.
"Selamat ulang
tahun."
"Ssst," desahku
setengah hati.
Aku naik melewati pintu yang
sudah terbuka, dalam hati berharap Edward menerima tawaranku yang lain. Edward
mengotak-atik radio sementara aku menyetir, menggeleng sebal.
"Sinyal radiomu jelek
sekali." Keningku berkerut. Aku tidak suka Edward menjelek-jelekkan
trukku. Trukku bagus kok— punya kepribadian.
"Kepingin stereo yang bagus? Naik mobilmu
saja." Aku begitu gugup menghadapi rencana Alice,
ditambah suasana hatiku yang memang sudah muram, jadi
kata-kata yang keluar dari mulutku terdengar lebih tajam daripada yang
sebenarnya kumaksudkan. Aku jarang marah kepada Edward, dan nadaku yang ketus
membuat Edward mengatupkan bibir rapat-rapat menahan senyum. Setelah aku
memarkir trukku di depan rumah Charlie, Edward merengkuh wajahku dengan kedua
tangan.
Ia memegangku sangat hati-hati, hanya ujung-ujung
jarinya yang menempel lembut di pelipis, tulang pipi, dan daguku. Seolah-olah
aku gampang pecah. Dan itu benar—bila dibandingkan dengan dia, paling tidak.
“Seharusnya hari ini suasana hatimu lebih baik
dibanding kan hari-hari lain" bisiknya.
Aroma napasnya yang manis membelai wajahku.
"Dan kalau suasana hatiku
jelek?" tanyaku, napasku tidak teratur.
Bola mata Edward yang keemasan
menyalanyala.
"Sayang sekali."
Kepalaku sudah berputar-putar
saat Edward mendekatkan kepalanya ke wajahku dan menempelkan bibirnya yang
sedingin es ke bibirku. Tepat seperti yang ia inginkan, sudah pasti, aku
langsung melupakan semua kekhawatiranku dan berkonsentrasi untuk ingat
menghirup napas dan mengeluarkannya.
Bibir Edward terus menempel di
bibirku, dingin, licin, dan lembut, sampai aku merangkulkan kedua tanganku ke
lehernya dan membiarkan diriku hanyut dalam ciumannya, agak terlalu antusias
malah. Aku bisa merasakan bibirnya tertekuk ke atas saat ia melepaskan wajahku
dan melepaskan tanganku yang mendekap tengkuknya erat-erat.
Edward sangat berhati-hati dalam
utusan hubungan fisik, karena ia ingin aku tetap hidup. Meski tahu aku harus
memberi jarak aman antara kulitku dengan gigi Edward yang setajam silet dan
berlapis racun itu, aku cenderung melupakan halhal remeh semacam itu saat ia
menciumku.
"Jangan nakal,"
desahnya di pipiku.
Edward menempelkan bibirnya
sekali lagi dengan lembut ke bibirku, kemudian melepaskan pelukannya, melipat
kedua lenganku di perut.
Denyut nadi menggemuruh di
telingaku.
Kutempelkan sebelah tanganku ke dada.
Penutup Novel Twilight (New Moon) – PESTA Bab 4
Gimana Novel twilight (New Moon) – Port PESTA Bab 4 ? keren kan ceritanya. Tentunya kamu penasaran apa yang akan
terjadi di bab berikutnya. Jangan khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan
baca bab berikutnya dengan mengklik tombol
navigasi bab di bawah ini.
0 comments: