Novel Twilight (New Moon), ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada orang
tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight (New Moon) Bab 39 yang dipersembahkan oleh Admin white novel. Semoga
bisa memberi hiburan, insipirasi dan solusi bagi setiap masalah yang kamu
hadapi.
Baca Novel Twilight – PENGULANGAN Bab 39
7. PENGULANGAN
ENTAH apa yang kulakukan di
sini. Apakah aku berusaha mendorong
diriku kembali ke keadaan seperti zombie? Apakah aku sudah berubah menjadi
masokis—senang disiksa? Seharusnya aku langsung ke La Push.
Aku merasa jauh. jauh lebih
sehat bila bersama Jacob, Ini bukan hal yang sehat untuk dilakukan. Tapi aku
terus saja mengendarai trukku pelanpelan menembus jalan yang ditumbuhi
semaksemak liar di kiri-kanan-nya, meliuk-liuk menerobos pepohonan yang
melengkung di atas kepala bagai terowongan hijau yang hidup.
Kedua tanganku gemetar, dan aku
mempererat cengkeramanku pada setir.
Aku tahu sebagian alasanku
melakukan ini karena mimpi buruk itu; sekarang setelah aku benar-benar
terbangun, kehampaan mimpi itu menggerogoti saraf-sarafku, seperti anjing
mengkhawatirkan di mana tulangnya dikubur.
Ada sesuatu yang harus dicari.
Tak bisa diraih dan mustahil, tidak peduli dan tidak perhatian... tapi dia ada
di luar sana, di suatu tempat. Aku harus memercayai hal itu.
Sebagian yang lain adalah sensasi pengulangan aneh
seperti yang kurasakan di sekolah tadi,
tanggal yang kebetulan itu.
perasaan bahwa aku memulai dari awal lagi—mungkin akan begitulah hari pertamaku
jadinya bila aku sungguh-sungguh menjadi orang yang paling tidak biasa di
kafeteria siang itu.
Kata-kata itu memenuhi
kepalaku, tanpa nada, seolah-olah aku membaca dan bukan mendengarnya langsung:
Nantinya akan
terasa seolah-olah aku tak pernah ada.
Aku membohongi diri sendiri
dengan membagi alasan kedatanganku ke sini menjadi hanya dua bagian. Aku tak
mau mengakui motivasi terbesar.
Karena secara mental itu tidak
waras. Sebenarnya, aku ingin mendengar suaranya lagi, seperti delusi aneh yang
kualami Jumat malam lalu.
Untuk waktu yang singkat itu,
ketika suaranya datang dari bagian lain selain ingatan sadarku, ketika suaranya
terdengar sempurna dan semanis madu, bukan gaung lemah seperti yang biasa
dimunculkan kenanganku, aku bisa mengingatnya tanpa merasa sedih. Itu tidak
bertahan lama; kepedihan itu kembali menyerangku, sesuatu yang aku yakin pasti
akan terjadi setelah aku melakukan tindakan ceroboh ini.
Tapi momen-momen berharga saat
aku bisa mendengarnya lagi bagaikan rayuan yang tak bisa ditolak. Aku harus
mencari cara untuk mengulangi pengalaman itu... atau mungkin istilah yang lebih
tepat adalah episode.
Aku berharap deja
vu adalah kuncinya. Itu sebabnya aku akan pergi ke rumahnya, yang tak
pernah kuinjak lagi sejak pesta
ulang tahunku yang sial itu, beberapa bulan silam. Tumbuh-tumbuhan lebat dan
nyaris menyerupai hutan belantara merayap lamban di samping jendela trukku,
meluncur dan meluncur terus. Kupercepat laju trukku, mulai gelisah.
Sudah berapa lama aku menyetir?
Bukankah seharusnya aku sudah sampai di rumah itu? Tetumbuhan begitu menyemak
hingga jalan yang kulalui tampak asing.
Bagaimana kalau aku tak bisa
menemukannya?
Aku bergidik. Bagaimana kalau
tidak ada bukti nyata sama sekali?
Kemudian kelebatan pepohonan
mulai merenggang, persis seperti yang kucari, hanya saja sekarang tidak terlalu
kentara. Flora di sini tidak menunggu lama untuk mengklaim kembali tanah yang
dibiarkan tak dijaga.
Pakis-pakisan tinggi sudah
menyusup ke padang rumput di sekeliling rumah, mengimpit batang-batang pohon
cedar, bahkan sampai ke teras yang lebar. Seolah-olah halaman
dibanjiri—setinggi pinggang—dengan gelombang hijau berombak-ombak.
Dan rumah itu ada di sana, tapi
tidak sama. Meski tidak ada yang berubah di bagian luar, namun kekosongan
berteriak dari jendelajendelanya yang melompong. Mengerikan. Untuk pertama kali
semenjak melihat rumah indah ini, aku merasa ini tempat yang tepat untuk
kediaman vampir.
Kuinjak rem dalam-dalam, berpaling. Aku tak berani
maju lebih jauh lagi.
Tapi tak ada yang terjadi.
Tidak ada suara apaapa dalam benakku.
Aku membiarkan mesin truk tetap menyala dan melompat
ke dalam lautan pakis. Mungkin, seperti Jumat malam lalu, kalau aku melangkah
maju... Pelan-pelan aku berjalan menghampiri bagian depan rumah yang sepi dan
kosong, mesin trukku menggemuruh menenangkan di belakangku.
Aku berhenti sesampainya di tangga teras, karena tidak
ada apa-apa di sini. Tidak tersisa sedikit pun kesan bahwa mereka pernah di
sini... bahwa ia pernah di sini. Rumah itu memang masih berdiri kokoh, tapi itu
tidak banyak berarti. Realita konkretnya tidak akan mengenyahkan kehampaan
mimpi burukku. Aku tidak berjalan lebih dekat lagi. Aku tidak ingin melongok ke
dalam jendela. Entah mana yang lebih berat dilihat.
Bila ruangan-ruangan di dalamnya melompong, bergaung
kosong dari lantai ke langit-langit, itu pasti akan sangat menyakitkan. Seperti
waktu nenekku meninggal, saat ibuku berkeras menyuruhku tetap di luar sebelum
Beliau dimakamkan. Alasannya, aku tidak perlu melihat Gran seperti itu,
mengingatnya seperti itu, lebih baik mengingatnya seperti waktu ia masih hidup.
Tapi apakah tidak lebih buruk bila semuanya tetap
sama? Bila sofa-sofa itu masih berada di tempat aku terakhir kali melihatnya,
lukisanlukisan masih terpajang di dinding—dan lebih parah lagi, piano itu masih
bertengger di panggungnya yang rendah? Itu hanya bisa ditandingi dengan rumah
ini lenyap tanpa bekas, melihat benda-benda itu teronggok begitu saja.
Bahwa semua masih sama, tak
disentuh dan dilupakan, ditinggalkan pemiliknya.
Sama seperti aku.
Aku berbalik memunggungi kekosongan yang menyayat hati itu
dan bergegas kembali ke truk. Hampir saja aku berlari. Aku ingin secepatnya
pergi dari sini, kembali ke dunia manusia. Aku merasa diriku hampa, dan aku
ingin bertemu Jacob.
Mungkin ada penyakit lain yang berkembang dalam diriku,
kecanduan lain, seperti kekebasan yang kurasakan sebelumnya. Aku tak peduli.
Kuinjak pedal gas dalam-dalam, memacu trukku secepat mungkin, menggelinding
menuju "obat" yang dapat memuaskan kecanduanku. Jacob sudah
menungguku. Dadaku seakan merileks begitu melihatnya, membuatku mudah bernapas.
Penutup Novel Twilight (New Moon) – PENGULANGAN Bab 39
Gimana Novel twilight (New Moon) – Port PENGULANGAN Bab 39 ? keren kan ceritanya. Tentunya kamu penasaran apa yang akan
terjadi di bab berikutnya. Jangan khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan
baca bab berikutnya dengan mengklik tombol
navigasi bab di bawah ini.
0 comments: