Novel Twilight (New Moon), ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada orang
tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight (New Moon) Bab 34 yang dipersembahkan oleh Admin white novel. Semoga
bisa memberi hiburan, insipirasi dan solusi bagi setiap masalah yang kamu
hadapi.
Baca Novel Twilight – TEMAN-TEMAN Bab 34
Dad tahu dia sedang memperbaiki
Volkswagen?"
“Yeah, kalau tidak salah Billy
pernah menceritakannya."
Interogasi harus terhenti saat
Charlie mulai mengunyah, tapi ia terus mengamati wajahku sambil makan.
Usai makan malam aku
menyibukkan diri, membersihkan dapur dua kali, kemudian mengerjakan PR
pelan-pelan di ruang depan sementara Charlie menonton pertandingan hoki. Aku
menunggu selama mungkin, tapi akhirnya
Charlie mengatakan malam sudah
larut. Ketika aku tidak menjawab, ia bangkit, meregangkan otot, lalu pergi
tidur, mematikan lampu. Dengan enggan aku mengikutinya.
Saat menaiki tangga, aku merasakan
sisa-sisa perasaan senang aneh yang kurasakan sore tadi menyusut dari dalam
diriku, digantikan perasaan takut memikirkan apa yang akan kuhadapi sekarang.
Aku tidak kebas lagi. Malam ini
akan, tak diragukan lagi, sama mengerikannya dengan semalam. Aku berbaring di
tempat tidur dan bergelung rapat-rapat, menanti datangnya serangan. Kupejamkan
mataku erat-erat dan... tahu-tahu, hari sudah pagi.
Kupandangi cahaya keperakan
pucat yang menerobos jendela kamarku, terperangah. Untuk pertama kali dalam
empat bulan lebih, aku bisa tidur tanpa bermimpi. Bermimpi atau menjerit. Entah
emosi mana yang lebih kuat—lega ataukah shock.
Aku berbaring diam di tempat
tidurku selama beberapa menit, menunggu perasaan itu datang kembali. Karena
pasti ada yang datang. Kalau bukan kepedihan, maka mati rasa. Aku menunggu,
tapi tak terjadi apa-apa. Aku merasa lebih bugar daripada yang kurasakan
beberapa bulan belakangan ini.
Aku tak yakin ini bakal bertahan. Rasanya seperti
berdiri di tubir yang licin dan berbahaya, dan bergerak sedikit saja pasti
bakal membuatku tergelincir. Mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar dengan
mata tiba-tiba jernih—menyadari betapa aneh kelihatannya, terlalu resik,
seolaholah aku tidak tinggal di sini sama sekali—benarbenar berbahaya.
Kutepis pikiran itu dari
benakku, dan berkonsentrasi, sambil berpakaian, pada fakta bahwa aku akan
bertemu Jacob lagi hari ini. Pikiran itu membuatku nyaris merasa.., penuh
harapan. Mungkin akan sama seperti kemarin.
Mungkin aku tak perlu
mengingatkan diriku untuk tampak tertarik dan mengangguk atau tersenyum pada
interval tertentu, seperti yang kulakukan pada orang-orang lain. Mungkin...
tapi aku tak yakin ini akan bertahan juga. Tidak yakin hari ini akan
sama—begitu mudah—seperti kemarin. Aku tidak akan menyiapkan diri untuk
kekecewaan seperti itu.
Saat sarapan, Charlie bersikap
hati-hati. Ia berusaha menyembunyikan sikap penasarannya, mengarahkan mata ke
telurnya sampai yakin aku tidak melihat.
"Apa yang akan kaulakukan
hari ini?" tanyanya, mengamati benang yang terlepas di pinggiran
mansetnya, seakan-akan tidak terlalu memerhatikan jawabanku.
"Aku mau main ke rumah
Jacob lagi" Charlie mengangguk tanpa mendongak.
"Oh," ujarnya.
"Dad keberatan?" Aku
pura-pura khawatir.
"Aku bisa tinggal di
rumah..."
Charlie buru-buru mendongak, sorot panik terpancar
dari wajahnya.
"Tidak, tidak! Pergi saja. Kebetulan Harry akan
datang untuk nonton pertandingan denganku."
"Mungkin Harry bisa
menjemput Billy sekalian," aku menyarankan. Semakin sedikit saksi mata,
semakin baik.
"Wah, ide bagus."
Aku tak yakin apakah
pertandingan itu hanya alasan untuk "mengusirku" dari rumah, tapi
Charlie tampak cukup bersemangat sekarang. Ia langsung menghampiri pesawat
telepon sementara aku memakai jas hujan. Aku merasa sedikit waswas dengan buku
cek yang tersimpan di saku jaketku. Aku tak pernah menggunakannya Di luar hujan
turun seperti air ditumpahkan dari ember.
Aku harus mengendarai trukku
lebih pelan lagi; aku nyaris tak bisa melihat mobil lain di depan trukku. Tapi
akhirnya aku sampai juga di jalan berlumpur yang menuju ke rumah Jacob. Sebelum
aku sempat mematikan mesin, pintu depan sudah terbuka dan Jacob berlari
menyongsongku sambil membawa payung hitam besar. Ia memegangi payung itu
menaungi pintu trukku.
"Charlie menelepon tadi—katanya kau sudah jalan
ke sini," Jacob menjelaskan sambil nyengir.
Dengan enteng, tanpa harus dikomando lagi oleh
otot-otot yang mengelilinginya, bibirku merekah membentuk senyuman. Perasaan
hangat yang aneh menggelegak menaiki kerongkonganku, padahal air hujan yang memercik
ke pipiku dingin seperti es.
"Hai, Jacob."
"Pintar juga kau,
mengusulkan supaya Billy dijemput," Jacob mengangkat tangannya untuk ber-high five denganku.
Aku harus mengulurkan tangan
tinggi-tinggi untuk membalasnya dan Jacob tertawa. Harry datang menjemput Billy
beberapa menit kemudian. Jacob mengajakku melihat-lihat kamarnya yang kecil
sambil menunggu orangorang dewasa pergi.
"Jadi kita ke mana, Pak
Montir?" tanyaku begitu pintu depan ditutup Billy.
Jacob mengeluarkan kertas yang
terlipat dari saku dan meluruskannya.
"Kita mulai dari tempat
penimbunan barang bekas, siapa tahu kita beruntung. Proyek ini bisa jadi agak
mahal lho," ia mengingatkanku.
"Kedua motor itu perlu
dipermak habis-habisan agar bisa berfungsi lagi." Karena wajahku tidak
tampak waswas, Jacob menambahkan,
"Maksudku mungkin bisa
habis lebih dari seratus dolar.”
Aku mengeluarkan buku cek dan mengibasngibaskannya memutar
bola mata seolah meremehkan kekhawatirannya.
“Itu sih enteng." Hari ini lumayan aneh. Aku
menikmatinya. Bahkan saat di tempat penimbunan barang bekas sekalipun, di bawah
guyuran hujan dan berlepotan lumpur setinggi pergelangan kaki.
Awalnya aku penasaran apakah itu hanya aftershock setelah kehilangan perasaan kebas, tapi menurutku itu
bukan penjelasan yang cukup masuk akal.
Penutup Novel Twilight (New Moon) – TEMAN-TEMAN Bab 34
Gimana Novel twilight (New Moon) – Port TEMAN-TEMAN Bab 34 ? keren kan ceritanya. Tentunya kamu penasaran apa yang akan
terjadi di bab berikutnya. Jangan khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan
baca bab berikutnya dengan mengklik tombol
navigasi bab di bawah ini.