Novel Twilight (New Moon), ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada orang
tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight (New Moon) Bab 3 yang dipersembahkan oleh Admin white novel. Semoga
bisa memberi hiburan, insipirasi dan solusi bagi setiap masalah yang kamu
hadapi.
Baca Novel Twilight – PESTA Bab 3
"Hanya mengecek,"
Edward menyurukkan jarijarinya ke rambut perunggunya yang berantakan.
"Siapa tahu kau berubah pikiran. Kebanyakan orang sepertinya menikmati
hari ulang tahun dan hadiah."
Alice tertawa, suaranya bergemerincing, seperti genta
angin. "Tentu saja kau akan menikmatinya. Semua orang akan bersikap baik
padamu hari ini dan menuruti kemauanmu, Bella. Hal terburuk apa
yang bisa terjadi?" Itu
pertanyaan retoris yang tak perlu dijawab.
"Bertambah tua," aku
tetap menjawab, dan suaraku kedengarannya tidak semantap yang kuinginkan.
Di sampingku, senyum Edward
mengejang kaku.
"Delapan belas kan tidak
terlalu tua," sergah Alice. "Bukankah wanita biasanya menunggu sampai
mereka berumur 29 baru merasa tua?"
"Delapan belas berarti
lebih tua daripada Edward," aku bergumam. Edward mendesah.
"Teknisnya begitu,"
sambung Alice, menjaga nadanya tetap ringan.
"Tapi kan, hanya setahun
lebih tua."
Dan kupikir... kalau aku bisa
merasa yakin akan masa depan yang kuinginkan, yakin aku bisa bersama Edward
selamanya, juga Alice dan semua anggota keluarga Cullen yang lain (lebih
disukai tidak sebagai wanita tua yang keriputan)...
maka satu atau dua tahun lebih
tua takkan terlalu masalah bagiku. Tapi tekad Edward sudah bulat bahwa tidak
akan ada perubahan bagiku di masa depan. Masa depan yang membuatku jadi seperti
dia—membuatku abadi juga.
Kebuntuan, begitulah ia menyebutnya.
Jujur saja, aku tidak benar-benar bisa memahami jalan
pikiran Edward. Apa enaknya bisa mati? Menjadi vampir tampaknya bukan hal yang
tidak enak—setidaknya kalau
melihat bagaimana keluarga Cullen menjalaninya.
"Jam berapa kau akan
datang ke rumah?" sambung Alice, mengganti topik.
Dari ekspresinya, ia
merencanakan sesuatu yang justru ingin kuhindari.
"Aku tidak tahu aku punya
rencana datang ke sana."
"Oh, yang benar saja,
Bella!" keluh Alice.
"Kau tidak akan merusak
kegembiraan kami, kan?"
"Lho, kusangka di hari
ulang tahunku aku berhak menentukan apa yang aku inginkan."
"Aku akan menjemputnya di
rumah Charlie usai sekolah," kata Edward pada Alice, tak menggubrisku sama
sekali.
"Aku harus kerja,"
protesku.
"Ah, siapa bilang,"
tukas Alice dengan nada menang.
"Aku sudah bicara dengan
Mrs. Newton mengenainya. Dia mau kok mengganti jadwal shiftmu. Dia kirim salam
'Selamat Ulang Tahun'."
"Aku—aku tetap tidak bisa
datang," kataku terbata-bata, gelagapan mencari alasan.
"Aku, Well belum sempat nonton Romeo
and Juliet untuk kelas bahasa Inggris."
Alice mendengus. "Ah, kau
sudah hafal Romeo and Juliet!'
"Tapi kata Mr. Berty, kami harus melihat
sandiwara itu dilakonkan untuk bisa sepenuhnya menghargainya—karena begitulah
yang diinginkan Shakespeare." Edward memutar bola matanya.
"Kau kan sudah nonton
filmnya," tuduh Alice.
"Tapi versi yang 1960-an
belum. Kata Mr. Berty, versi itulah yang terbaik."
Akhirnya, Alice menghapus
senyum kemenangan itu dari wajahnya dan memelototiku.
"Ini bias mudah, atau bisa
juga sulit, Bella, tapi pokoknya—" Edward memotong ancamannya.
"Rileks, Alice. Kalau
Bella ingin nonton film. dia boleh nonton film. Ini kan hari ulang
tahunnya."
"Nah, kan," imbuhku.
"Aku akan membawanya ke
sana sekitar jam tujuh," sambung Edward.
"Kau punya banyak waktu
untuk menyiapkan semuanya." Tawa Alice kembali berderai.
"Kedengarannya asyik.
Sampai nanti malam, Bella! Bakalan asyik, lihat saja nanti" Ia
nyengir—senyum lebarnya menampakkan sederet giginya yang sempurna dan
mengilat—lalu mengecup pipiku dan berlari menuju kelas pertamanya sebelum aku
sempat merespons.
“Edward, please—" aku mulai memohon, tapi Edward menempelkan jarinya
yang dingin ke bibirku.
"Nanti saja kita diskusikan. Kita bisa terlambat
masuk kelas.”
Tidak ada yang repot-repot memandangi kami saat kami
sepera biasa mengambil tempat di bagian belakang kelas (sekarang hampir semua
kelas kami sama—luar biasa bagaimana Edward bisa membuat para pegawai tata
usaha yang wanita mau membantunya).
Edward dan aku sudah bersama-sama cukup lama sehingga
tak lagi menjadi sasaran gosip. Bahkan Mike Newton sudah tak lagi melayangkan
pandangan muram yang dulu sempat membuatku merasa sedikit bersalah. Sekarang ia
malah tersenyum, dan aku senang karena sepertinya ia bisa menerima bahwa kami
hanya bisa berteman.
Mike banyak berubah selama liburan musim panas
kemarin—wajahnya kini tidak lagi bulat tembam, membuat tulang pipinya tampak
semakin menonjol, dan rambut pirang pucatnya pun dipotong model baru; kini
rambutnya tidak jabrik lagi, melainkan sedikit lebih panjang dan di-gel
hati-hati untuk menimbulkan kesan agak berantakan. Mudah saja mengetahui dari
mana ia mendapatkan inspirasi model rambut itu—tapi penampilan Edward bukan
sesuatu yang bisa diperoleh dengan cara meniru.
Seiring dengan berjalannya hari, aku mempertimbangkan
beberapa cara untuk mangkir dari entah acara apa yang akan dilangsungkan di
rumah keluarga Cullen malam ini. Pasti menyebalkan jika harus mengikuti
perayaan padahal suasana hatiku justru sedang ingin berduka. Tapi, yang lebih
parah lagi, pasti akan ada perhatian dan hadiah-hadiah di sana.
Perhatian bukan sesuatu yang diinginkan orang kikuk
yang gampang cedera seperti aku. Tak ada
yang ingin menjadi sorotan bila
besar kemungkinan kau bakal jatuh terjerembab. Dan aku sudah terang-terangan
meminta—Well, memerintahkan, lebih
tepatnya—agar tidak ada yang memberiku kado tahun ini. Kelihatannya bukan hanya
Charlie dan Renee yang memutuskan untuk tidak menggubrisnya.
Aku tidak pernah punya banyak
uang, tapi itu bukan masalah bagiku. Renee membesarkan aku dengan gaji guru TK.
Pekerjaan Charlie juga tidak memberinya gaji besar—dia kepala polisi di sini,
di Forks yang hanya kota kecil.
Satu-satunya pendapatan
pribadiku hanya didapat dari hasil bekerja tiga kali seminggu di toko perlengkapan
olahraga setempat. Di kota sekecil ini, bisa mendapat pekerjaan saja sudah
untung.
Setiap sen yang kuhasilkan langsung masuk ke tabungan untuk biaya kuliah nanti. (Kuliah itu Rencana B. Aku masih berharap bisa menjalankan Rencana A, tapi Edward ngotot ingin tetap mempertahankan aku sebagai manusia...)
Penutup Novel Twilight (New Moon) – PESTA Bab 3
Gimana Novel twilight (New Moon) – Port PESTA Bab 3 ? keren kan ceritanya. Tentunya kamu penasaran apa yang akan
terjadi di bab berikutnya. Jangan khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan
baca bab berikutnya dengan mengklik tombol
navigasi bab di bawah ini.