Novel Twilight (New Moon), ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini
terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking
Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada orang
tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight (New Moon) Bab 27 yang dipersembahkan oleh Admin white novel. Semoga
bisa memberi hiburan, insipirasi dan solusi bagi setiap masalah yang kamu
hadapi.
Baca Novel Twilight – TERBANGUN Bab 27
"Bella, ayolah!”
Aku tidak menggubrisnya,
melangkah pelanpelan tanpa pernah memutuskan secara sadar untuk menggerakkan
kakiku. Aku tidak mengerti mengapa, tapi ancaman samar yang ditunjukkan
cowok-cowok itu justru menarikku ke arah mereka. Dorongan hati yang benar-benar
tak masuk akal, tapi sudah lama sekali aku tak pernah lagi merasakan dorongan
hati apa pun... jadi kuikuti saja.
Sesuatu yang asing berdesir
dalam pembuluh darahku. Adrenalin, aku menyadari, yang sudah lama absen dalam
diriku, menggenjot denyut nadiku semakin cepat dan berjuang melawan hilangnya
sensasi. Aneh—mengapa ada adrenalin kalau aku tidak merasa takut? Rasanya
nyaris bagaikan gema masa lalu saat aku berdiri seperti ini, di jalan gelap di
Port Angeles, bersama orangorang asing.
Aku tidak melihat alasan untuk takut. Aku tidak bisa
membayangkan ada yang perlu kutakuti lagi di dunia ini, setidaknya secara
fisik. Itu salah satu keuntungan kalau sudah kehilangan segalanya.
Aku sudah separo menyeberang ketika Jess menyusul dan
menyambar lenganku.
“Bella! Kau tidak boleh masuk
ke bar!" desisnya.
"Aku bukannya mau
masuk," jawabku asal, menepis tangannya.
"Aku hanya ingin melihat
sesuatu..."
"Kau sinting, ya?"
bisiknya. "Kepingin bunuh diri?"
Pertanyaan itu menarik
perhatianku, dan mataku terfokus padanya.
"Tidak, aku tidak kepingin
bunuh diri" Suaraku defensif, tapi itu benar.
Aku tidak bermaksud bunuh diri.
Bahkan pada awalnya, saat kematian tak diragukan lagi akan mendatangkan
kelegaan, itu tidak pernah terpikir olehku. Aku terlalu banyak berutang budi
pada Charlie. Aku merasa bertanggung jawab atas Renee. Aku harus memikirkan mereka.
Dan aku sudah berjanji tidak
akan melakukan hal yang tolol atau ceroboh. Karena semua alasan itu, aku masih
bernapas hingga detik ini. Teringat pada janji itu, aku merasakan secercah
perasaan bersalah, tapi apa yang kulakukan sekarang tidak tergolong perbuatan
tolol dan ceroboh. Aku kan tidak mengiris pergelangan tanganku dengan pisau.
Mata Jess membulat, mulutnya
ternganga lebar. Pertanyaannya tentang bunuh diri tadi hanya pertanyaan
retoris, dan aku terlambat menyadarinya.
"Pergi makan sana," bujukku padanya,
melambaikan tangan ke restoran cepat saji. Aku tidak suka caranya menatapku.
"Sebentar lagi aku menyusul"
Aku berpaling darinya, kembali
menatap keempat cowok yang memandangi kami dengan sorot takjub bercampur ingin
tahu.
"Bella, hentikan sekarang
juga!"
Otot-ototku langsung mengejang,
membeku kaku di tempatku berdiri. Karena bukan suara Jessica yang menegurku
sekarang. Suara itu bernada marah, suara yang sangat kukenal, suara yang
indah—lembut bagai beledu bahkan saat sedang gusar.
Itu suaranya—aku sangat berhati-hati untuk tidak menyebut namanya—dan
terkejut karena suara itu tidak membuatku terjengkang, tidak membuatku
meringkuk di trotoar karena tersiksa oleh perasaan kehilangan. Tidak ada
kepedihan, tidak ada sama sekali.
Detik itu juga, begitu
mendengar suaranya, semuanya jadi sangat jelas. Seakan-akan kepalaku mendadak
muncul di permukaan kolam berair gelap. Aku jadi lebih menyadari semuanya—
pemandangan, suara-suara, hawa dingin yang tidak kusadari berembus tajam
menerpa wajahku, aroma yang menyeruak dari pintu bar yang terbuka.
Aku memandang berkeliling
dengan shock.
"Kembali ke Jessica,"
suara indah itu memerintahkan, masih bernada marah.
"Kau sudah berjanji—tidak
akan melakukan perbuatan tolol."
Aku sendirian. Jessica berdiri
beberapa meter dariku, menatapku dengan sorot ngeri. Bersandar di dinding,
orang-orang asing itu menonton dengan bingung, mempertanyakan sikapku yang
berdiri mematung di tengah jalan.
Aku menggeleng, berusaha
memahami. Aku tahu ia tidak ada di sana, namun tetap saja ia terasa begitu
dekat, dekat untuk pertama kalinya sejak...
sejak yang terakhir itu. Nada
marah dalam suaranya merupakan ungkapan keprihatinan amarah sama yang dulu
pernah sangat familier— sesuatu yang sudah lama tak pernah kudengar lagi,
sepertinya sudah selamanya.
"Tepati janjimu."
Suara itu mulai menghilang, seperti suara radio yang volumenya dikecilkan. Aku
mulai curiga jangan-jangan sedang berhalusinasi. Dipicu, tak diragukan lagi,
oleh kenangan itu—deja vu itu,
perasaan familier aneh bahwa aku pernah mengalami situasi yang sama. Dengan
cepat aku menelaah berbagai kemungkinan dalam pikiranku.
Opsi pertama: aku sudah
sinting. Itu istilah orang awam bagi mereka yang mendengar suarasuara dalam
pikiran mereka.
Mungkin.
Opsi kedua: Pikiran bawah sadarku memberiku apa yang
memang kuinginkan. Ini pemenuhan keinginan—kelegaan sementara dari rasa sakit
dengan merangkul pemikiran yang keliru bahwa ia peduli apakah aku hidup atau
mati. Memproyeksikan apa yang akan ia katakana seandainya A) ia ada di sini, dan
B) ia takut sesuatu yang buruk bakal terjadi padaku. Kemungkinan.
Aku tak bisa melihat opsi
ketiga, jadi aku berharap pilihannya adalah yang kedua dan ini hanya pikiran
bawah sadarku yang tak terkendali, bukannya sesuatu yang mengharuskan aku
dimasukkan ke rumah sakit jiwa.
Namun reaksiku tak bisa
dibilang waras—aku justru bersyukur Selama ini aku memang takut kehilangan
suaranya, dan dengan demikian, lebih dari yang lain, aku sangat bersyukur
pikiran bawah sadarku bisa mengenang suara itu lebih jelas daripada pikiran
sadarku.
Aku tak boleh memikirkan dia.
Itu sesuatu yang selama ini kuhindari. Tentu saja sesekali terpeleset itu
wajar; aku hanya manusia biasa. Tapi keadaanku semakin baik, jadi sekarang ini
kepedihan itu bisa kuhindari selama beberapa hari berturut-turut.
Gantinya adalah perasaan kebas
yang tak pernah berakhir. Antara merasa pedih dan tidak merasa apa-apa, aku
memilih tidak merasa apa-apa.
Aku menunggu datangnya kepedihan itu sekarang. Aku
tidak lumpuh—pancaindraku terasa luar biasa intens setelah sekian bulan
diliputi kabut—tapi kepedihan normal itu tak kunjung datang.
Satu-satunya kesakitan hanya perasaan kecewa karena
suaranya menghilang. Aku punya waktu sedetik untuk memilih.
Penutup Novel Twilight (New Moon) – TERBANGUN Bab 27
Gimana Novel twilight (New Moon) – Port TERBANGUN Bab 27 ? keren kan ceritanya. Tentunya kamu penasaran apa yang akan terjadi di bab berikutnya. Jangan khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan baca bab berikutnya dengan mengklik tombol navigasi bab di bawah ini.
0 comments: