Novel Twilight (New Moon), ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada orang
tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight (New Moon) Bab 26 yang dipersembahkan oleh Admin white novel. Semoga
bisa memberi hiburan, insipirasi dan solusi bagi setiap masalah yang kamu
hadapi.
Baca Novel Twilight – TERBANGUN Bab 26
Sisa film itu dipenuhi adegan
serangan zombie serta jeritan tanpa henti segelintir orang yang masih hidup,
jumlah mereka menyusut cepat. Awalnya aku menyangka tak ada adegan yang bakal
membuatku terusik. Tapi aku merasa gelisah, dan awalnya aku tak tahu kenapa.
Baru setelah menjelang akhir
cerita, saat memandangi wajah si zombie yang kurus cekung, terseok-seok
menghampiri manusia terakhir yang menjerit-jerit ketakutan, aku menyadari apa
masalahnya.
Adegannya berganti-ganti antara
wajah ketakutan si tokoh wanita, dengan wajah mati tanpa ekspresi makhluk yang
mengejarnya, berganti-ganti, semakin lama makin dekat. Dan sadarlah aku sosok
mana yang paling menyerupai aku.
Aku berdiri.
"Mau ke mana kau? Kira-kira dua menit lagi
filmnya habis," desis Jess.
"Aku perlu minum,"
gumamku sambil lari ke pintu keluar.
Aku duduk di bangku di luar
pintu teater dan berusaha sangat keras untuk tidak memikirkan keironisannya.
Tapi memang ironis, kalau dipikirpikir, bahwa, pada akhirnya, justru akulah
yang berubah jadi zombie. Sungguh tak terduga sama sekali.
Bukan berarti aku dulu tak
pernah bermimpi menjadi monster mistis—hanya saja itu bukan mayat hidup
menyeramkan. Kugelengkan kepalaku kuat-kuat untuk mengenyahkan pikiran itu,
merasa panik. Aku tak boleh memikirkan apa yang pernah kuimpikan dulu.
Sungguh menyedihkan menyadari
diriku bukan lagi tokoh utama, bahwa kisahku sudah berakhir. Jessica keluar
dari pintu teater, sejenak tampak ragu, mungkin bertanya-tanya ke mana harus
mulai mencariku. Begitu melihatku ia tampak lega, tapi hanya sesaat. Kemudian
ia kelihatan kesal. “Apakah filmnya terlalu seram bagimu?" tanyanya.
"Yeah," jawabku.
"Kurasa aku ini penakut."
"Lucu juga." Keningnya berkerut.
"Aku tidak mengira kau ketakutan—aku menjerit
terus, tapi tak pernah mendengarmu menjerit sekali pun. Jadi aku tidak mengerti
kenapa kau malah keluar." Aku mengangkat bahu.
"Aku cuma ketakutan." Jessica rileks
sedikit.
"Rasa-rasanya itu tadi memang film paling seram
yang pernah kutonton. Berani taruhan, malam ini kita pasti bakal bermimpi
buruk."
"Tak diragukan lagi,"
sahutku, berusaha menjaga suaraku tetap normal.
Aku tahu aku pasti bakal
bermimpi buruk, tapi tidak ada zombie dalam mimpiku. Mata Jessica menatap
wajahku sekilas, lalu membuang muka. Mungkin aku tak berhasil membuat suaraku
terdengar normal.
"Kau mau makan di
mana?" tanya Jess.
"Terserah."
"Oke."
Jess mulai mengoceh tentang
aktor utama film tadi sementara kami berjalan beriringan. Aku mengangguk-angguk
saat ia mencerocos penuh semangat, memuji-muji ketampanan si aktor. Aku sendiri
tak ingat pernah melihat lelaki yang bukan zombie dalam film itu.
Aku tidak memerhatikan ke mana
Jessica mengajakku. Aku hanya samar-samar menyadari di luar sudah gelap dan
suasananya lebih sepi. Agak lama baru aku tersadar mengapa suasana sepi.
Jessica sudah berhenti mengoceh. Kupandangi dia dengan sikap meminta maaf,
berharap aku tidak membuatnya tersinggung.
Jessica tidak sedang melihat ke arahku. Wajahnya
tegang; ia menatap lurus ke depan dan berjalan cepat. Kulihat matanya jelalatan
ke kanan, ke seberang jalan, lalu melihat ke arah depan lagi, berulang kali.
Saat itulah baru aku
memerhatikan keadaan sekelilingku.
Kami berada di trotoar yang
tidak diterangi lampu jalan. Toko-toko kecil yang berjajar di sepanjang jalan
sudah tutup semua, etalaseetalasenya gelap gulita. Setengah blok di depan,
lampu-lampu jalan kembali menyala, dan tampak olehku di sana, lengkungan kuning
cemerlang McDonald's yang hendak didatanginya.
Di seberang jalan ada saru toko
yang masih buka. Etalasenya diberi penutup di bagian dalam dan tampak
reklame-reklame neon menyala, iklan berbagai merek bir, bersinar di depannya.
Reklame terbesar berwarna hijau cerah, bertuliskan nama barnya—One-Eyed Pete’s.
Dalam hati aku bertanya-tanya
apakah bar itu mengusung tema bajak laut yang tidak terlihat dari luar. Pintu
besinya dibiarkan terbuka; bagian dalamnya remang-remang, dan dengungan pelan
suara-suara pengunjung dan denting es batu membentur gelas terbawa hingga ke
seberang jalan. Tampak empat cowok bersandar di dinding sebelah pintu. Kulirik
lagi Jessica.
Matanya terpaku pada jalan di
depannya dan ia berjalan cepat. Ia tidak tampak ketakutan—hanya waswas,
berusaha untuk tidak menarik perhatian.
Aku berhenti tanpa berpikir, memandangi keempat cowok
itu dengan perasaan deja vu yang
sangat kuat. Jalan yang berbeda, malam yang berbeda, tapi adegannya
kurang-lebih sama.
Salah seorang di antara mereka bahkan pendek dan
berambut gelap. Saat aku berhenti dan berpaling ke arah mereka, cowok itu
mendongak dengan sikap tertarik.
Aku balas menatapnya, membeku
di trotoar.
"Bella?" Jess
berbisik.
"Apa yang
kaulakukan?" Aku menggeleng, aku sendiri tidak tahu.
"Kurasa aku kenal
mereka...," gumamku.
Apa yang kulakukan? Seharusnya
aku lari dari kenangan ini secepat aku bisa, menghalau bayangan empat cowok
yang berdiri itu dari pikiranku, melindungi diriku dengan perasaan kebas yang
membuatku bisa berfungsi selama ini. Kenapa aku malah melangkah, dengan
linglung, ke jalan?
Rasanya terlalu kebetulan aku bisa berada di Port
Angeles bersama Jessica, bahkan dijalan yang gelap. Mataku tertuju pada si
cowok pendek, berusaha mencocokkannya dengan ingatanku tentang cowok yang
mengancamku malam itu hampir satu tahun yang lalu.
Aku penasaran apakah aku bisa mengenali cowok itu,
bila itu benar-benar dia. Bagian tertentu dari malam tertentu itu kabur bagiku.
Tubuhku lebih bisa mengingatnya daripada pikiranku; kakiku mengejang saat aku
mencoba memutuskan akan lari atau tetap berdiri tegak, tenggorokanku kering
saat aku berusaha menjerit keras-keras, kulitku menegang di bagian buku-buku
jari saat aku mengepalkan tinju, bulu kudukku meremang saat si cowok berambut
gelap memanggilku "Manis..." Ada semacam kesan mengancam yang
ditunjukkan cowok-cowok itu, yang tidak ada hubungannya dengan peristiwa malam
itu.
Kesan itu muncul dari fakta bahwa mereka orang asing,
bahwa suasana di sini gelap, dan jumlah mereka lebih banyak daripada kami—tidak
ada yang lebih spesifik daripada itu. Tapi cukup membuat suara Jessica
terdengar panik saat ia berseru memanggilku.
Penutup Novel Twilight (New Moon) – TERBANGUN Bab 26
Gimana Novel twilight (New Moon) – Port TERBANGUN Bab
26 ? keren kan ceritanya. Tentunya kamu penasaran apa yang akan terjadi di bab
berikutnya. Jangan khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan baca bab
berikutnya dengan mengklik tombol navigasi bab di bawah ini.
0 comments: