Novel Twilight (New Moon), ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada orang
tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight (New Moon) Bab 23 yang dipersembahkan oleh Admin white novel. Semoga
bisa memberi hiburan, insipirasi dan solusi bagi setiap masalah yang kamu
hadapi.
Baca Novel Twilight – TERBANGUN Bab 23
4. TERBANGUN
WAKTU berlalu. Bahkan saat
rasanya mustahil, waktu tetap tenis berjalan. Bahkan di saat setiap detik
pergerakan jarum jam terasa menyakitkan, bagaikan denyut nadi di balik luka
memar. Waktu seakan berlalu di jalan yang tidak rata, bergejolak dan
diseret-seret, namun terus berjalan. Bahkan bagiku.
KEPALAN Charlie meninju meja. "Baiklah, Bella!
Aku akan mengirimmu pulang."
Aku mendongak dari serealku, yang sejak tadi hanya
kupandangi tanpa kumakan, dan menatap Charlie dengan shock. Aku tidak menyimak pembicaraan—sebenarnya, aku malah tidak
sadar kami sedang berbicara—jadi aku tidak mengerti maksud perkataannya.
"Aku kan sudah di rumah," gumamku, bingung.
"Aku akan mengirimmu ke
Renee, ke Jacksonville," Charlie menjelaskan maksudnya.
Charlie memandang putus asa
saat aku lambat laun mencerna maksudnya.
"Apa salahku?"
Kurasakan wajahku mengernyit.
Benar-benar tidak adil.
Kelakuanku selama empat bulan terakhir ini benar-benar tak bercela. Setelah
minggu pertama itu, yang tak pernah kami ungkitungkit lagi, aku tak pernah
bolos sekolah atau kerja satu hari pun. Nilai-nilaiku sempurna.
Aku tak pernah melanggar jam
malam—aku toh tak pernah ke mana-mana sehingga harus melanggar jam malam. Aku
juga sangat jarang menghidangkan masakan sisa untuk makan malam. Charlie
merengut.
"Kau tidak melakukan
apa-apa. Justru itulah masalahnya. Kau tidak pernah melakukan apaapa."
“Dad mau aku bikin ulah?" Aku keheranan, alisku
bertaut saking bingungnya.
Aku berusaha keras memerhatikan. Itu tidak mudah. Aku
sudah sangat terbiasa mengabaikan semuanya sehingga seperanya telingaku
berhenti berfungsi.
"Bikin ulah lebih baik
daripada... daripada bermuram durja setiap saat seperti ini!” Perkataannya
sedikit menyinggung perasaanku. Padahal aku sudah berhati-hati untuk
menghindari segala bentuk kesedihan, termasuk bermuram durja.
"Aku tidak bermuram durja
kok."
"Itu bukan kata yang
tepat," Charlie menyimpulkan dengan enggan.
"Bermuram durja masih
lebih baik—itu berarti melakukan sesuatu. Kau sekarang... tanpa kehidupan,
Bella. Kurasa itulah istilah yang paling tepat." Tuduhan itu tepat
mengenai sasaran.
Aku menghela napas dan berusaha
memperdengarkan nada ceria.
“Maafkan aku, Dad."
Permintaan maafku terdengar agak datar, bahkan di telingaku sendiri.
Kusangka selama ini aku
berhasil menipunya. Menjaga agar Charlie tidak menderita adalah tujuan utama
semua upayaku. Sungguh menyebalkan semua upayaku itu sia-sia belaka.
“Aku tidak ingin kau meminta
maaf." Aku mendesah.
“Kalau begitu, katakan apa yang
Dad ingin kulakukan."
“Bella,” Charlie ragu-ragu,
dengan cermat menelaah reaksiku terhadap kata-katanya selanjutnya. "Sayang
kau bukan orang pertama yang mengalami hal semacam ini, tahu."
"Aku tahu." Cengiran
yang menyertai katakataku tadi lemah dan tak meyakinkan.
"Dengar, Sayang. Menurutku
mungkin— mungkin kau butuh bantuan."
"Bantuan?"
Charlie diam sejenak, kembali
mencari kata-kata yang tepat.
"Ketika ibumu pergi,"
ia memulai, keningnya berkerut,
"dan membawamu
bersamanya." Charlie menghela napas dalamdalam.
"Well, itu masa-masa yang sangat berat bagiku."
"Aku tahu, Dad,"
gumamku.
"Tapi aku bisa
mengatasinya," tegas Charlie.
"Sayang kau tidak
mengatasinya. Aku menunggu, aku berharap keadaan jadi lebih baik" Ia
memandangiku dan aku buru-buru menunduk.
"Kurasa kita sama-sama
tahu keadaan ternyata belum membaik juga."
"Aku baik-baik saja
kok."
Charlie tak menggubris sergahanku.
"Mungkin, Well, mungkin kalau kau bicara dengan
orang lain tentang masalah ini. Seorang profesional."
"Dad mau aku berkonsultasi
ke psikiater?" suaraku terdengar sedikit lebih tajam saat menyadari
maksudnya.
"Mungkin itu bisa
membantu."
"Dan mungkin itu sama
sekali takkan membantu.”
Aku tidak begitu paham soal psikoanalisis, tapi aku
sangat yakin itu tidak bakal efektif kecuali subjeknya relatif jujur. Tentu,
aku bisa
mengatakan hal sebenarnya—kalau
aku ingin menghabiskan sisa hidupku di sel untuk orang gila yang dindingnya
dilapisi busa pengaman. Charlie mengaman ekspresiku yang keras kepala, dan
beralih menggunakan senjata lain. "Ini di luar kemampuanku, Bella. Mungkin
ibumu-"
"Dengar," sergahku
datar.
"Aku akan keluar malam
ini, kalau memang itu yang Dad inginkan. Aku akan menelepon Jess atau
Angela."
"Bukan itu yang
kuinginkan," bantah Charlie, frustrasi.
"Rasanya aku tak sanggup
melihatmu berusaha lebih keras lagi. Belum pernah aku melihat orang berusaha
sekeras itu. Sedih hariku melihatnya."
Aku pura-pura bodoh, menunduk
memandangi meja. "Aku tidak mengerti, Dad. Pertama Dad marah karena aku
tidak melakukan apa-apa, kemudian Dad bilang tidak ingin aku keluar."
"Aku ingin kau
bahagia—tidak, bahkan tidak perlu sedrastis itu. Aku hanya ingin kau tidak
merana lagi. Menurutku kesempatanmu untuk pulih akan lebih besar kalau kau
pergi dari Forks," Mataku berkilat oleh percikan emosi pertama yang sudah
sekian lama kupendam dalam hati.
"Aku tidak mau
pindah," tolakku.
"Kenapa tidak?" tuntut Charlie.
"Sekarang semester terakhirku di sekolah— pindah
hanya akan mengacaukan semuanya."
“Kau kan pintar—kau pasti bisa
mengejar pelajaran."
"Aku tidak mau mengganggu
Mom dan Phil."
“Ibumu sudah lama ingin kau
tinggal bersamanya lagi." “Florida terlalu panas."
Kepalan tangan Charlie kembali
menghantam meja. "Kita sama-sama tahu apa yang sebenarnya terjadi di sini,
Bella, dan itu tidak baik untukmu.” Ia menghela napas dalam-dalam.
"Ini sudah berlalu beberapa
bulan. Tidak ada telepon, tidak ada surat, tidak ada kontak. Kau tidak bisa
terus-terusan menunggunya."
Kutatap Charlie dengan garang.
Kemarahan itu nyaris, meski tidak sampai, mencapai wajahku. Sudah lama sekali
wajahku tak pernah lagi membara oleh emosi apa pun.
Topik ini benar-benar
terlarang, seperti yang disadari benar oleh Charlie.
"Aku tidak menunggu
apa-apa. Aku tidak mengharapkan apa-apa," bantahku dengan nada monoton
yang rendah.
"Bella—" Charlie memulai, suaranya berat.
"Aku harus berangkat sekolah," selaku,
berdiri dan merenggut sarapanku yang belum disentuh dari meja. Kujatuhkan
mangkukku di bak cuci tanpa merasa perlu mencucinya dulu. Aku tak sanggup
meneruskan pembicaraan lagi.
Penutup Novel Twilight (New Moon) – TERBANGUN Bab 23
Gimana Novel twilight (New Moon) – Port TERBANGUN Bab
23 ? keren kan ceritanya. Tentunya kamu penasaran apa yang akan terjadi di bab
berikutnya. Jangan khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan baca bab
berikutnya dengan mengklik tombol navigasi bab di bawah ini.
0 comments: