Novel Twilight (New Moon), ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada orang
tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight (New Moon) Bab 20 yang dipersembahkan oleh Admin white novel. Semoga
bisa memberi hiburan, insipirasi dan solusi bagi setiap masalah yang kamu
hadapi.
Baca Novel Twilight – TAMAT Bab 20
Edward mundur selangkah
menjauhiku. "Aku sudah mengatakan semuanya, kurasa. Kami tidak akan mengganggumu
lagi." Kata "kami" yang ia ucapkan menggugah perhatianku. Itu
membuatku terkejut; kusangka aku sudah tak bisa menyadari apa pun lagi.
"Alice tidak akan kembali," aku tersadar.
Entah bagaimana Edward bisa
mendengarku—mulutku tidak mengeluarkan suara—tapi sepertinya ia mengerti.
Ia menggeleng pelan, matanya
tak pernah lepas dari wajahku.
“Tidak. Mereka semua sudah
pergi. Aku tetap tinggal untuk berpamitan denganmu."
"Alice sudah pergi?"
Suaraku hampa oleh rasa tak percaya.
"Sebenarnya dia ingin berpamitan,
tapi aku meyakinkan dia, perpisahan seketika justru lebih baik bagimu."
Kepalaku pusing; sulit rasanya berkonsentrasi. Kata-kata Edward berputar-putar dalam pikiranku, dan aku seperti mendengar dokter di rumah sakit di Phoenix, musim semi lalu, saat menunjukkan hasil foto rontgen padaku. Kelihatan kan kalau patahnya tiba-tiba, jarinya menelusuri foto tulangku yang patah. Itu bagus. Dengan begitu bisa sembuh lebih mudah, lebih cepat. Aku berusaha bernapas normal. Aku perlu berkonsentrasi, mencari jalan keluar dari mimpi buruk ini.
"Selamat tinggal,
Bella," kata Edward, suaranya tetap tenang dan damai.
"Tunggu!" aku
tersedak oleh kata itu, menggapainya, memerintahkan kakiku yang terasa berat
untuk membawaku maju. Kusangka Edward juga mengulurkan tangan untuk
menggapaiku.
Tapi tangannya yang dingin
mencengkeram pergelangan tanganku dan merapatkannya ke sisi kiri dan kanan
tubuhku. Ia membungkuk, dan menempelkan bibirnya sekilas ke dahiku, sangat
sebentar. Mataku terpejam.
"Jaga dirimu
baik-baik," desahnya, rasa dingin menerpa kulitku.
Terasa tiupan angin sekilas
yang tidak wajar. Mataku terbuka. Daun-daun pohon maple bergetar oleh embusan
angin pelan yang menandai kepergiannya. Ia sudah pergi.
Dengan kaki gemetar, mengabaikan fakta bahwa
tindakanku itu tak ada gunanya, aku berjalan mengikutinya memasuki hutan. Bukti
kepergiannya langsung lenyap. Tak ada jejak kaki, daun-daun diam kembali, tapi
aku terus berjalan tanpa berpikir. Aku tak sanggup melakukan hal
lain. Aku harus terus bergerak.
Kalau aku berhenti mencarinya, semua berakhir. Cinta, hidup, makna... berakhir.
Aku berjalan dan berjalan. Waktu tak ada artinya lagi bagiku sementara aku
berjalan pelan menembus semak belukar.
Berjam-jam telah berlalu, tapi
rasanya baru beberapa detik. Mungkin waktu terasa membeku karena hutan tampak
sama tak pedulinya betapapun jauhnya aku melangkah. Aku mulai khawatir aku
hanya berputar-putar dalam lingkaran, lingkaran yang sangat kecil, tapi aku
terus berjalan. Sering kali aku tersandung, dan, setelah hari makin gelap, aku
juga sering terjatuh.
Akhirnya aku tersandung
sesuatu—karena
sekarang sudah gelap gulita,
aku tak tahu benda apa yang membuatku tersandung—dan tak bisa bangkit lagi. Aku
berguling ke samping, supaya bisa bernapas, dan bergelung di rerumputan yang
basah.
Sementara aku berbaring di
sana, aku merasa waktu terus berjalan tanpa aku menyadarinya. Aku tak ingat
berapa lama waktu telah berlalu semenjak malam turun.
Apakah di sini selalu segelap
ini di malam hari? Padahal seharusnya ada sedikit cahaya bulan yang menerobos
gumpalan awan, bersinar menembus kanopi pepohonan, dan menerpa tanah.
Tapi malam ini tidak. Malam ini langit hitam pekat.
Mungkin tak ada bulan malam ini— mungkin ada gerhana bulan, bulan baru.
Bulan baru. Aku gemetaran,
meski tidak kedinginan.
Hitam pekat untuk waktu yang
sangat lama sebelum aku mendengar mereka memanggilmanggil. Seseorang
meneriakkan namaku. Sayup-sayup dan teredam tetumbuhan basah yang
mengelilingiku, tapi itu jelas namaku.
Aku tidak mengenali suara itu.
Terpikir olehku untuk menjawab, tapi aku linglung, dan butuh waktu lama untuk
menyimpulkan aku sebaiknya menjawab. Saat itu. teriakan itu sudah berhenti.
Beberapa saat kemudian hujan membangunkanku.
Kurasa aku tidak benar-benar
tertidur; aku hanya terhanyut dalam kondisi tak sadar dan tak bisa berpikir,
bertahan dengan segenap kekuatan ke perasaan kebas yang membuatku tak bisa
menyadari apa yang tak ingin kuketahui.
Hujan sedikit membuatku gelisah.
Aku menggigil. Kubuka belitan tanganku yang melingkari lutut untuk menutupi
wajah. Saat itulah aku mendengar teriakan itu lagi. Kali ini lebih jauh, dan
kadang-kadang terdengar seperti beberapa suara berteriak bersama-sama. Aku
mencoba menghela napas dalam-dalam. Aku ingat seharusnya aku menyahut, tapi
kukira mereka takkan bisa mendengarku. Sanggupkah aku berteriak cukup lantang?
Tiba-tiba terdengar suara lain, mengagetkanku karena
cukup dekat. Seperti mendengus-dengus,
suara binatang. Kedengarannya
binatang besar. Dalam hati aku bertanya-tanya apakah seharusnya aku merasa takut.
Aku tidak takut—cuma mati rasa. Itu bukan masalah. Dengusan itu pergi. Hujan
terus turun, dan bisa kurasakan air menggenang di pipiku.
Saat sedang berusaha
mengumpulkan kekuatan untuk memalingkan kepala, kulihat seberkas cahaya.
Awalnya hanya kilau samar yang memantul di semak-semak di kejauhan. Cahaya itu
semakin lama semakin terang, menyinari bidang besar, tidak seperti lampu senter
yang menyorot lurus. Cahaya itu menembus semak terdekat, dan ternyata cahaya
itu berasal dari lentera propane, tapi hanya itu yang bisa kulihat—
kecemerlangannya sesaat membutakanku.
"Bella."
Suara itu berat dan tidak
kukenal, tapi bernada mengenali. Ia tidak memanggil namaku untuk mencari, tapi
memberi tahu bahwa aku sudah ditemukan.
Aku menengadah—tinggi sekali
rasanya—ke seraut wajah gelap yang kini bisa kulihat menjulang tinggi di
atasku. Samar-samar aku sadar orang asing itu mungkin hanya terlihat sangat
tinggi karena kepalaku masih tergeletak di tanah.
"Kau dilukai?"
Aku tahu kata-kata itu berarti sesuatu, tapi aku hanya
bisa memandanginya, bingung. Apa artinya pengertian pada saat seperti ini?
Penutup Novel Twilight (New Moon) – TAMAT Bab 20
Gimana Novel twilight (New Moon) – Port TAMAT Bab
20 ? keren kan ceritanya. Tentunya kamu penasaran apa yang akan terjadi di bab
berikutnya. Jangan khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan baca bab
berikutnya dengan mengklik tombol navigasi bab di bawah ini.
0 comments: