Novel Twilight (New Moon), ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini
terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking
Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada orang
tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight (New Moon) Bab 2 yang dipersembahkan oleh Admin white novel. Semoga
bisa memberi hiburan, insipirasi dan solusi bagi setiap masalah yang kamu
hadapi.
Baca Novel Twilight – PESTA Bab 2
Aku terbangun kaget—kelopak
mataku terbuka lebar—dan terkesiap. Cahaya kelabu muram, cahaya matahari yang
seperti biasa selalu tersaput mendung, menggantikan cahaya matahari yang terang
benderang dalam mimpiku. Hanya mimpi,
kataku dalam hati. Itu tadi hanya mimpi.
Aku menarik napas dalam-dalam, kemudian terlonjak lagi waktu alarmku berbunyi.
Kalender kecil di sudut permukaan jam menginformasikan padaku hari ini tanggal
tiga belas September.
Hanya mimpi, tapi di satu sisi
setidaknya mimpi itu cukup meramalkan apa yang bakal terjadi di masa mendatang.
Hari ini hari ulang tahunku. Aku genap delapan belas tahun. Berbulan-bulan
lamanya aku sangat takut menantikan datangnya hari ini.
Sepanjang musim panas yang
sempurna— musim panas paling membahagiakan yang pernah kualami, musim panas
paling membahagiakan yang pernah dialami siapa pun di mana pun, sekaligus juga
musim panas paling berhujan sepanjang sejarah kawasan Semenanjung
Olympic—tanggal muram ini bergentayangan dalam diam, menunggu saat yang tepat
untuk menyerang.
Dan kini setelah itu terjadi, ternyata jauh lebih buruk
daripada yang kutakutkan bakal terjadi. Aku bisa merasakannya—aku lebih tua.
Setiap hari aku bertambah tua, tapi ini lain, lebih parah, pertambahan usiaku
diukur sekarang. Aku sudah delapan belas tahun.
Sementara Edward tidak akan
pernah jadi delapan belas tahun.
Ketika sedang menggosok gigi,
aku nyaris terkejut karena wajah yang terpantul di cermin tidak berubah.
Kupandangi diriku, mencari tandatanda bakal munculnya keriput di kulitku yang
seputih gading.
Tapi satu-satunya kerutan yang
ada hanya di dahi, dan aku tahu kalau aku bisa rileks, kerutan itu akan hilang.
Tapi aku tidak bisa. Alisku tetap terpatri membentuk garis khawatir di atas
mata cokelatku yang waswas. Itu hanya
mimpi, aku mengingatkan diriku lagi. Hanya mimpi... tapi juga mimpi burukku
yang terburuk.
Aku melewatkan sarapan, terburu-buru
ingin meninggalkan rumah secepat mungkin. Tapi aku tak sepenuhnya bisa
menghindari ayahku, jadi terpaksalah aku meluangkan beberapa menit berlagak
riang.
Aku benar-benar berusaha
menunjukkan kegembiraan mendapat kado-kado yang sudah kuminta untuk tidak usah
dibelikan, tapi setiap kali tersenyum, rasanya seakan-akan tangisku hendak
pecah.
Aku bersusah-payah menahan diri saat mengendarai truk
menuju sekolah. Sosok Gran tadi–aku tidak mau berpikir itu aku–sulit dienyahkan
dari kepalaku. Aku tak bisa merasakan perasaan lain selain putus asa saat
berbelok memasuki lapangan parkir di belakang gedung Forks High School dan
melihat Edward bersandar tanpa bergerak di Volvo-nya yang mengkilat, bagaikan
patung marmer dewa berhala keindahan
yang telah lama dilupakan
orang. Ia bahkan lebih tampan daripada dalam mimpiku tadi. Dan ia di sana
menungguku, seperti biasa setiap hari. Perasaan putus asa itu sesaat lenyap;
digantikan rasa takjub. Bahkan setelah setengah tahun pacaran dengannya, aku
masih belum percaya aku pantas memperoleh keberuntungan sebesar ini. Saudara
perempuannya, Alice, berdiri di sebelahnya, menungguku juga.
Tentu saja Edward dan Alice
bukan saudara kandung (di Forks ceritanya adalah, semua anak keluarga Cullen
diadopsi dr. Carlisle Cullen dan istrinya, Esme, karena keduanya jelas terlalu
muda untuk mempunyai anak remaja), tapi mereka sama-sama berkulit putih pucat,
mata mereka juga sama-sama memiliki secercah warna keemasan yang aneh, dengan
bayangan gelap menyerupai memar di bawahnya.
Wajah Alice sama seperti
Edward, juga sangat indah. Bagi orang yang tahu— seperti aku—kemiripan itu
menunjukkan siapa mereka sesungguhnya.
Melihat Alice menunggu di
sana—mata cokelatnya bersinat-sinar girang, tangannya menggenggam benda segi
empat kecil terbungkus kertas warna perak—membuat keningku berkerut. Aku sudah
memberi tahu Alice aku tidak menginginkan apa-apa, apa pun, baik itu kado
maupun perhatian, untuk hari ulang tahunku.
Jelas, keinginanku ternyata diabaikan. Kubanting pintu
Chevy '53 milikku—kepingan kecil karat beterbangan mengotori baju hitamku yang
basah—dan berjalan lambat-lambat
menghampiri mereka. Alice
berlari cepat menghampiriku, wajah mungilnya berseri-seri di bawah rambut
hitamnya yang jabrik.
"Selamat ulang tahun,
Bella!"
"Ssstt!" desisku,
memandang berkeliling untuk memastikan tak ada yang mendengar perkataannya
barusan. Hal terakhir yang kuinginkan adalah perayaan dalam bentuk apa pun
untuk memperingati hari muram ini. Alice tak menggubrisku. "Kau mau
membuka kadonya sekarang atau nanti saja?" tanyanya penuh semangat
sementara kami menghampiri Edward yang masih menunggu.
"Tidak ada
kado-kadoan," protesku. Sepertinya Alice akhirnya bisa mencerna suasana
hatiku yang buruk. "Oke... nanti saja, kalau begitu. Kau suka album
kiriman ibumu? Dan kamera dari Charlie?"
Aku mendesah. Tentu saja ia
tahu aku dapat kado apa saja. Bukan hanya Edward satu-satunya anggota keluarga
mereka yang memiliki kemampuan istimewa. Alice pasti bisa "melihat"
apa yang ingin diberikan kedua orangtuaku begitu mereka memutuskannya sendiri.
"Yeah. Kadonya
bagus-bagus."
"Menurutku idenya bagus sekali. Kau kan hanya
satu kali jadi murid senior seumur hidupmu. Jadi ada baiknya pengalaman itu
didokumentasikan " "Kau sendiri, sudah berapa kali jadi murid
senior?"
"Itu lain."
Saat itu kami sudah sampai di
tempat Edward, dan ia mengulurkan tangan padaku. Aku menyambutnya dengan penuh
semangat, sejenak melupakan suasana hariku yang muram.
Kulit Edwatd, seperti biasa.
licin, keras, dan sangat dingin.
Dengan lembut diremasnya
jarijariku. Kutatap mata topaz-nya yang berkilauan, dan hatiku bagai diremas
keras-keras. Mendengar detak jantungku yang kencang, Edward tersenyum lagi.
Ia mengangkat tangannya yang
bebas dan menelusuri bagian luar bibirku dengan ujung jarinya yang dingin
sambil bicara
"Jadi, sesuai hasil
pembicaraan, aku tak boleh mengucapkan selamat ulang tahun padamu, benar
begitu?"
"Ya. Itu benar," Aku
tidak pernah bisa menirukan cara bicaranya yang mengalun serta artikulasinya
yang sempurna dan formal. Kemampuan yang hanya bisa dipelajari pada abad lalu.
Penutup Novel Twilight (New Moon) – PESTA Bab 2
Gimana Novel twilight (New Moon) – Port PESTA Bab 2 ? keren kan ceritanya. Tentunya kamu penasaran apa yang akan
terjadi di bab berikutnya. Jangan khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan
baca bab berikutnya dengan mengklik tombol
navigasi bab di bawah ini.
0 comments: